Selepas pulang dari kafe Syaila dikejutkan dengan semua barang-barangnya yang sudah berserakan di teras depan rumahnya, pun dengan Geino yang sedang memangku tas ransel. Buru-buru ia menghampiri sang putra dengan napas tersenggal.
"Ada apa ini? Kenapa semuanya di luar?" tanya Syaila pada Geino. Anak itu tidak bereaksi apapun, wajahnya masih datar seperti biasanya. "Geino! Jawab mama," sentak Syaila. "Tadi ada banyak orang datang. Terus mereka bilang kita harus segera pergi dari sini karena ini rumah kakek," jelas Geino. Mendengar itu Syaila menunduk dalam. Menatap beberapa bajunya yang sudah kotor di lantai. Dadanya tiba-tiba sesak, ia tidak menyangka sang ayah yang selama ini ia hormati tega melakukan ini padanya. "Kita ke rumah papa aja, Ma. Aku juga mau ketemu papa," usul Geino ditengah keheningan. Dengan amarah yang meluap Syaila menoleh. "Enggak! Mama enggak sudi pulang ke rumah papa kamu. Kita ke rumah Mba Nadira saja. Bereskan semua barang-barang kamu." Geino sampai tersentak mendengar ucapan Syaila. Anak itu bahkan tidak berkata lagi dan langsung menuruti perintah sang mama. Dengan sisa uang seadanya, Syaila menyewa sebuah angkot untuk membawa semua barang-barang nya menuju rumah Nadira. Berharap sahabatnya itu bisa membantu Syaila. Selama menuju perjalanan, baik Syaila maupun Geino tidak ada yang membuka suara. Sepasang ibu dan anak itu sibuk dengan isi kepalanya masing-masing. Sesekali Geino melirik sang mama yang sedang melamun. Tapi untuk bertanya, anak itu enggan. Sampainya di rumah Nadira, Syaila tidak langsung mengetuk pintu. Ia diam beberapa saat, ia takut merepotkan Nadira lagi. Menyewa jasa pengacara saja ia meminta tolong sahabatnya itu. Tapi setelah dipikir lagi, Syaila tidak memiliki siapapun selain Nadira. Diketuklah rumah Nadira. "Iya sebentar." Suara dari dalam terdengar. Tidak lama setelahnya, Nadira muncul dengan pakaian santai. Keningnya berkerut ketika mendapati Syaila yang datang berkunjung. "Tumben, ngapain lo ke rumah gue?" Nada bicara Nadira memang selalu terdengar sinis. Namun Syaila tidak heran jika Nadira bertanya seperti itu. Sebab memang ia tidak pernah berkunjung ke rumah Nadira jika tidak ada acara-acara penting. "Gue mau ngerepotin lo lagi, Nad. Bokap gue ngusir gue dari rumah. Jadi gue mau nginep di sini beberapa hari sebelum gue punya tempat tinggal baru. Itu pun kalau Lo izinin," tutur Syaila tidak enak. Ia bahkan akan memaklumi jika Nadira akan menolaknya. Nadira berdecak tidak habis pikir. "Sya, Lo selama ini anggap gue apa? Gue udah anggep lo kaya ade gue sendiri. Lo enggak usah ngerasa enggak enak. Anggep aja rumah gue rumah lo juga." Ia mengusap-usap punggung Syaila. Syaila dibuat terharu dengan kebaikan Nadira. Ia sampai hampir meneteskan air mata. "Makasih ya, Nad. Gue enggak tahu kalau enggak ada lo." Perempuan itu kemudian menghampiri Geino dan membawa semua barang-barangnya. "Ayo masuk," ajak Nadira menggiring Syaila dan Geino masuk ke dalam rumah nya. "Geino bisa tidur di kamar yang depan, ya," ucap Nadira menunjuk kamar yang paling ujung. Geino lantas beranjak membawa ransel dan laptopnya menuju kamar yang Nadira maksud. Setelah memastikan Geino sudah masuk ke dalam kamar, barulah Nadira menyuarakan keprihatinan terhadap Syaila. "Gue bener-bener enggak habis pikir, Sya sama bokap lo." Syaila mengambil duduk di samping Nadira, menghela napas panjang untuk kemudian bersuara, "Yaudah lah, Nad. Emang nasib gue gini." Mendengar nada bicara Syaila yang putus asa Nadira benar-banar tidak tega. Ia tidak berkata lagi setelah itu, karena perempuan yang enggan menikah sampai saat ini itu mengerti, yang dibutuhkan Syaila sekarang hanya sebuah dukungan. Tok tok Dari luar terdengar suara orang yang mengetuk pintu. Kedua perempuan itu saling adu pandang untuk beberapa saat. "Gue bukain dulu," kata Nadira yang diangguki oleh Syaila. Sementara Nadira membuka pintu, Syaila menyandarkan punggungnya menatap langit-langit rumah dengan tatapan kosong. Namun saat ia menyadari Nadira yang tidak kunjung kembali, ia penasaran siapa kah yang datang. Wanita beranak satu itu lantas menyusul, dan menemukan Nadira hanya berdiri di ambang pintu. "Siapa, Nad—Azka?" ucap Syaila terkejut setelah mengetahui siapa yang datang. "Geino mana?" Tanpa basa-basi Azka menyerukan maksud dari kedatangannya. "Aku denger kamu diusir sama ayah kamu. Geino tinggal sama aku dulu aja. Aku takut dia malah jadi enggak pokus nanti sekolahnya." "Jangan harap ya! Urus aja selingkuhan kamu. Aku bisa jagain Geino tanpa bantuan kamu! Pergi!" Tatapan nyalang Syaila tidak dapat dibohongi, ia benar-banar marah bahkan enggan melihat wajah Azka."Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha." Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya." Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang
Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah,
Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhny
Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya." Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wa
"Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?" "Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini." Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perem
Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya. "Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis. Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat