“Aku membayarmu cuma buat teman bicara, bukan bercumbu, Aryo.” Sang primadona ruangan malam ini memprotesku. Dia memilih tetap berdiri menghadap dinding kaca, melihat luar ruangan, dibanding duduk di hadapanku.
Lucu, sih. Biasanya wanita yang membayarku akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pelayanan, terutama karena sentuhanku dianggap sangat melenakan hingga mereka ketagihan. Namun, Anin hanya menekankan teman bicara dalam kontraknya yang baru saja kutandatangani.
“Apa bedanya? Harganya sama saja, Sayang. Atau kamu ingin dipanggil dengan kata lain?” Aku menertawakan pilihan Anin setelah menghabiskan kudapan manis. Mungkin cokelat atau kopi, yang jelas seperti ada biskuit lumer di dalam mulutku.
“Ini apa namanya?” Aku mengacungkan potongan di atas garpu kecil dalam pegangan yang sekejap berpindah ke mulut.
“Tiramisu,” kata Anin. Dia bahkan tidak menoleh padaku ketika melangkah menghadapi pintu kaca menuju balkon.
"Ya, itu namanya." Aku beranjak, menelisik kaca pembatas dengan ujung-ujung jemari setelah menandaskan isi piring datar di hadapan. Sesekali kufoto sudut-sudut menarik ruangan dengan kamera ponsel.
Ruang luas yang menjadi tempat pertemuan kami berpusat pada meja besar yang terlihat privat. Interior kayu, kertas dinding emboss sederhana. Pahatan alam yang menjadi tema utama ruangan benar-benar halus dalam sentuhan. Terlihat romantis dengan keberadaan lilin-lilin di antara hidangan.
Salah satu yang kusukai dari pekerjaan menghibur adalah mampu datang ke tempat-tempat mahal, bisa sekalian mempelajari konsep ruangan, sebagai permintaan yang kuajukan jika Anin ingin bertemu di luar ‘kamar’. Sebenarnya bisa aja urusan interior ini kupelajari dengan mengambil perkuliahan di bidang arsitektur, tetapi akan sangat mencurigakan kalau seseorang sepertiku mengambil jurusan mahal.
Restoran hotel di ujung tebing ini memiliki ketinggian menyeramkan jika dilihat dari tempatku berdiri. Meski tertutup kaca transparan, tetap saja mengerikan. Enggak tahu apa yang ada di bawah sana. Semua tampak terlalu gelap. Hanya balkon-balkon yang dihiasi cahaya remang.
“Kamu berniat membunuhku dengan bertemu di ketinggian?” Aku menghela napas, seolah takut, lalu tertawa miris ketika berpindah ke samping Anin hanya untuk memecah kesepian yang tercipta di antara kami karena dia terlalu lama membisu.
Kedua tanganku memegangi gagang pintu menuju balkon yang sedikit terbuka dan rasakan dinginnya angin yang menerpa. Enggak salah emang memilih sweter untuk melengkapi tampilan malam ini.
“Bicara apa kamu, Yo?” Ganti Anin yang menertawakan pendapatku. “Aku suka view-nya. Tenang.”
Untuk satu itu, aku setuju. Tenang. Jauh dari keramaian. Apalagi melihat laut menyatu dengan sudut cakrawala di ujung nabastala. Tunggu. Itu namaku. Nabastala. Artinya langit, seperti impian Ibu, menjadikan aku orang yang berpikiran luas. Cuma ..., semua ini membuatku merinding.
“Siapa tahu? Tempatnya tepat. Kamu bisa menyalurkan amarah terhadap lelaki dengan mendorong seseorang dari ketinggian.” Aku membuka pintu kaca dalam pegangan dan mengambil botol dari ember es batu yang dibawa pelayan.
Angin malam langsung menerpa wajah, dingin. Refleks kedua tanganku bersilangan, mengusap lengan atas beberapa kali. Sweter yang dikenakan rasanya masih kurang hangat. Nilai tambah dari view yang ditawarkan adalah cahaya lampu perkotaan seperti bintang berkelip dari ketinggian. Sedangkan di bawah balkon, lebih serupa hutan belantara yang begitu dalam.
Kulirik Anin. Dia masih berkutat dengan gelas anggur yang diberikan pelayan. Mungkin menyesap cairan kemerahan di dalamnya beberapa kali, lalu merenung lagi.
“Kamu enggak mau lihat lebih jelas?" Kuanggukkan kepala seolah mengajaknya mendekat dan menunjuk kejauhan yang menampakkan bulan penuh. "Kamu bilang view-nya bagus.”
Anin menyusul. Ujung sepatunya terdengar mengetuk lantai ketika menghampiriku dan berdiri di sisi. Kami lakukan hal yang sama, menumpu siku di pembatas dan menyesap langsung cairan manis dari botol dalam peganganku.
"Kecil ternyata." Spontan ucapanku terlontar begitu saja setelah menyadari gaun lengan panjang yang membungkus tubuh Anin. Warna gelapnya tidak menyamarkan bentuk. Mungkin aku bisa menerka ukuran gumpalan yang masih kencang di depan tubuhnya atau bagian belakang yang seketika membuatku menegang. Sial!
"Siapa?" Anin meneleng padaku. Lebih tepatnya menatap sengit. "Apanya yang kecil?"
Aku tergelak. Pertanyaannya terdengar ambigu di telingaku.
"Ada orang lain di sini? Ya, kamulah." Kusandarkan pinggang pada pagar balkon dan bersedekap. Telunjukku mengarah rendah ke wajah Anin. "Nih ...."
"Ada yang salah?" Anin menyesap isi gelasnya lagi. Kosong.
Kutuangkan isi botol memenuhi dasar gelas Anin. "Aku bisa tergoda. Apalagi cuma berdua gini." Tatapan sendunya ketika membuka mulut terlalu seksi untuk disiakan.
"Penuh!" pekik Anin yang spontan mundur.
"Sorry." Aku mengira pakaiannya terkena cairan, sementara udara yang berembus di balkon semakin dingin. "Aku mau bersihin."
"Enggak kena." Anin menggeleng dan menyesap permukaan gelas. Ditepisnya uluran tanganku dan kembali merenungi langit. "Sudah kubilang--"
"Cuma teman bicara. Oke," potongku, sebatas mengingatkan diri sendiri dengan perjanjian awal.
Cuma, aku enggak yakin kalau Anin baik-baik saja dengan pertemuan kali ini. Caranya menolakku seakan menciptakan batasan, tembok tebal yang sengaja dibangun setinggi mungkin agar tidak bisa ditembus.
Kulirik gaun polos yang dikenakannya. Tanpa corak atau hiasan. Meski panjang, mampu membalut bentuk tubuhnya yang serupa gitar spanyol dengan elegan. Akku sangat ingin menyentuh kepolosan di baliknya tanpa penghalang sedikitpun. “Aku masih enggak ngerti. Kenapa dia enggak bisa ngelakuin itu denganmu? Padahal aku aja belum tentu tahan diam-diam gini.”
Anin menggeleng, lalu menunduk, melihat cairan kemerahan dalam gelas tingginya berputar. “Mungkin aku yang terlalu konservatif? Dia bilang bermain denganku seperti menghadapi patung. Atau boneka seks?” Anin menjelaskan seraya tertawa miris.
Kuberanikan menggerakkan jemari di ritsleting yang membentang sepanjang punggung gaunnya. Bahan mengilap, menegaskan setiap lekuk yang terbentuk. Jemariku berhenti ketika memeluk dirinya, menekan bukti gairah yang menuntut tepat di belakang, seperti bayanganku sebelum mendekat tadi. “Benarkah? Aku penasaran.”
Aku hanya memberi tanda agar dia paham jika lelaki normal sepertiku bereaksi terhadap penampilannya. Ketegangan yang sejak awal kutahan, ternyata bisa membuat Anin terkejut tak bergerak.
“Seperti patung?" Gelas milik Anin berpindah untuk kusesap. Manis. Sedikit pahit berjejak di lidah. "Manusia berbeda. Punya kulit, hangat. Enggak percaya?”
Dia mendelik saat kukembalikan gelas tanpa melepas pegangan. Berharap jemarinya tertahan sesaat. Sedangkan tangan yang bebas mulai bergerak menyentuh tulang selangkanya perlahan.
“Tidak kali ini, Yo.” Anin berbalik. Sekali menatap gelora di mataku, ia langsung menunduk.
“Kenapa tidak?” Aku menuntut jawaban, tapi Anin lebih memilih bisu. Ia menepis tanganku dan meletakkan gelasnya di meja sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Lucu. Apa aku tertawa?
Tidak. Aku tergelak.
Anin juga menegang dalam sentuhan. Rambut halus di sepanjang lengannya yang bergidik, atau pipinya yang sangat merona. Dia seperti gadis perawan yang sulit ditaklukkan. Menantang dan menggoda dalam satu waktu. Gengsi untuk memulai, mungkin.
Ah, aku jadi semakin penasaran.
“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang
Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?“Enggak perlu buka sepatu, ka
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok
Kata orang, move on itu bukan melupakan, tapi menghadapi. Cuma kalau hari-hari ketemu Anin, bagaimana mau move on?Sebenarnya kami beda fakultas, sih. Kebetulan belakangan kami sering berpapasan terus di koridor fakultas. Enggak satu-dua kali dia menemui dosen--yang membimbingku untuk urusan skripsi--dalam kurun waktu seminggu.Masalahnya, beberapa minggu setelah kejadian terakhir, dia memblokir semua kontakku, dari telepon sampai media sosial. Padahal permainan terakhir kali di rumahnya waktu itu sangat menegangkan. Kalau ikut perjanjian, rasanya enggak mungkin menegur Anin langsung di depan umum. Apalagi aku bukan mahasiswa mata kuliah yang diajarkannya. Berbahaya untuk bayaran dalam kontrakku.“Kamu kenal sama ibu tadi?” Pertanyaan Kea menyadarkanku dari lamunan. Padahal cuma karena melihat Anin lewat tanpa menoleh.Terkesan so
“Harusnya Anda yang bisa jaga baik-baik istri Anda!” Aku berusaha membela diri ketika mendapat pukulan dan hujatan berkali-kali dari pria tua di depan umum seperti ini.Hal yang kukhawatirkan terjadi. Suami Anin melabrakku di area parkir kampus. Dulu kukira yang beginian cuma terjadi di sinetron atau cerita fiksi. Atau seenggaknya hanya dilakukan para perempuan yang berebut lelaki kaya. Nyatanya, aku ngalamin.Masalahnya, aku dipukul tepat di depan Kea. Apa yang bakal Kea pikirin kalau mendengar segala tuduhan dari suami Anin?Zaki—suami Anin—hampir melayangkan pukulan lagi jika saja Kea tidak merentangkan tangan di depan, melindungiku. Kepalan tangannya berhenti tepat di depan kening Kea."Brengsek!" Kudengar umpatan meluncur cepat. Tidak hanya mengucilkanku, tetapi juga menjelek-jelekkan Kea dengan kata-kata tidak pantas.
“Apa bedanya aku dengan si bangkot itu kalau menerima ajakanmu?” ucap Anin saat menamparku. Dia menolak tawaran ketika aku berhasil memojokkannya di meja wastafel dalam toilet perempuan.Tidak peduli dengan ancaman pelecehan, aku mengikutinya masuk. Toh, Anin tidak berteriak meski setiap permukaan kulitnya telah kusentuh.Tentu saja kampus sudah sepi ketika kelas malam berakhir dan aku menemukan dia baru keluar dari kelas setelah semua mahasiswa pergi.Aku tergelak. “Jelas saja beda. Bukankah kukatakan jasaku ini tidak gratis? Dia berselingkuh, sedangkan kamu membayarku.” Embus napasku masih membelai sudut telinganya.Susah payah menahan diri lakukan hal lebih dari rengkuhan meski nyatanya tubuh ini butuh, meski kejadian terakhir menyakitkan hati karena dia menginginkan hubungan kami berakhir.Bisa kulihat Anin menutup mata,
"Hei!" Aku menyapa begitu bertemu tatap dengan Anin di koridor dekanat fakultas bahasa. Enggak sengaja ketemu, sih.Meski satu kampus, kami berada pada fakultas berbeda. Jadi sebenarnya susah banget buat ketemu di luar perjanjian. Aku mahasiswa akhir di fakultas keguruan, sedangkan dia dosen di fakultas bahasa. Kadang ketemu di fakultasku karena dia punya kegiatan gabungan, tetapi seminar itu juga sudah berakhir.Makin pupus harapan ketemu Anin semenjak pengakuannya tentang larangan si suami bangkot biar tidak menghubungi siapa pun tanpa izin. Otoriter sekali. Rumah tangga seperti apa yang dijalani wanita moderen seperti Anin?"Kamu ngapain di sini?" Mata lebar Anin tampak menjelajahi kesunyian di sekeliling, lalu melotot lagi ke arahku. Ngapain juga dia menampakkan kekhawatiran berlebihan seperti itu kalau toh kami bisa berlagak seperti mahasiswa-dosen biasa.