"Antar kamu? Kemana?" tanya Raja jelas heran dengan permintaan kekasihnya. "Kalau tidak bisa, tidak apa apa, aku bisa pergi pakai ojeg!" Linda dan Dewi yang mendengarkan percakapan Cahaya dan seseorang yang mereka sangka Raja, saling pandang tak mengerti. Apalagi melihat Cahaya yang tampak memendam amarah pada lawan bicaranya, mereka yakin kalau Cahaya sedang ada masalah dengan Raja. "Jangan! Kamu bilang sekarang posisinya, aku jemput!" pekikan Raja terdengar di telinga Cahaya, yang masih sangat kecewa dengan kenyataan tentang Raja. "Aku di kosan." Cahaya menjawab dengan malas, andai tidak butuh bantuan Raja untuk pulang ke desanya malam ini, dia akan tetap memilih menghindari Raja. "Apa? Tapi aku baru sa--" Cahaya memutuskan panggilan begitu saja, membiarkan Raja menggeram kesal karena terpotong perkataannya. Raja yang memang belum jauh meninggalkan daerah tempat kost Cahaya, langsung berputar arah balik. Dia merasa heran, bagaimana bisa Cahaya ada di tempat kosnya? Sedan
Raja yang mendengar hempasan napas kasar Cahaya menoleh, menatap pada ponsel Cahaya yang kehabisan daya. Mengerti dengan keadaan yang tengah dihadapi Cahaya, Raja mengambil ponselnya, dan menyerahkan pada Cahaya. "Pakai ini!" "Tidak perlu. Nanti saja!" Raja tersenyum tipis, merasa lucu dengan sikap Cahaya yang menurutnya menggemaskan. "Jangan percaya dengan apa yang dilihat mata, sebelum mendengar apa penjelasan di balik itu semua. Pakailah hp-ku ... biar kamu tenang setelah mendengar kondisi ambu." Raja mencoba memberikan penjelasan walau tidak sejelas yang ingin dia sampaikan. Cahaya mendesah pasrah, dia memang butuh informasi tentang keadaan ibunya, dan hanya ponsel Rajalah jawaban dari rasa khawatirnya. Dia menoleh menatap ponsel Raja yang terulur di depannya, dengan malas diambilnya ponsel pintar yang Cahaya tahu harganya jauh lebih mahal dari ponsel miliknya. Raja tersenyum penuh kemenangan, dia merasa gemas melihat Cahaya yang terlihat kesal padanya. Cahaya menatap
Cahaya merasakan hatinya berdesir sakit saat Raja menyebut nama istrinya. Ya, Khadi ... seseorang yang menelepon Raja saat mereka bersama tadi sore--bahkan kata cinta dan kecupan pun Raja berikan tadi pada wanita itu, namanya Khadi. Begitu nama yang disebut Raja. "Oh, selamat!" suara Cahaya terdengar bergetar. Ternyata benar apa kata Alya, mengetahui Raja sudah menikah, sangat membuatnya terluka. Dia ... terluka. Sangat. "Katakan itu langsung pada Khadi, saat kamu melihat bayinya nanti." Raja semakin membuat hati Cahaya meradang. "Tentu." Cahaya menjawab masam. "Ya, itu lebih baik, jadi kalian bisa kenal lebih dekat." Raja semakin semangat menggoda. "Maksudnya?" "Iya, supaya nanti kalian bisa akrab saat harus bertemu dalam satu rumah." "Apa? Apa Aa akan berniat menikah lagi dan menjadikan aku istri kedua? Begitu?" Raja menggeleng, Cahaya semakin jauh berpikir. "Ini kita terus kemana?" tanya Raja saat mereka sampai dipertigaan jalan. "Ambil arah kiri. Aku tidak mau meni
Sementara itu, Hadi dan Binar yang tengah menemani Rosita--ibu Cahaya-- bersama dua orang kerabatnya yang lain berbincang di luar kamar rawat. Membicarakan kronologis kecelakaan, yang menyebabkan Rosita terluka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Beruntung tidak ada yang retak atau patah, padahal motor yang menabraknya cukup telak menghantam tubuh Rosita yang tengah menyeberang jalan. "Untung si Ita cuman luka-luka aja, Di. Kata yang melihat di lokasi kejadian, motornya kenceng banget. Si Ita juga kurang teliti pas mau nyebrang. Sambil ngobrol terus sama ceu Yoyoh yang ada di sebrang jalan," tutur kerabatnya sambil melepaskan kepulan asap dari mulutnya. "Namanya juga kecelakaan, Kang. Pastinya karena kurang waspada. Alhamdulillah cuma luka seperti itu," kata Hadi menerima keadaan yang menimpa istrinya dengan ikhlas, sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang harus dijalani. "Iya, sih. Itu si Aya mau datang? Kenapa nggak besok aja dikasih tahunya? Kasihan malam-malam gini nai
"Ah, iya." Raja melemparkan senyum penuh rasa hormat pada lelaki cinta pertama kekasihnya itu. "Ini? Adiknya Cahaya?" Raja menunjuk Binar dengan tangan terulur. Binar mengangguk, "Iya, Aa. Kenalkan, saya Binar."Raja tersenyum bahagia melihat sambutan keluarga Cahaya padanya, di waktu pertama mereka bertemu. "Cahaya ... mana? Tadi katanya tidur?" Hadi melihat ke arah mobil, Raja yang seakan tersadar memutar kepala."Iya, Pak. Saya tidak tega banguninnya. Lelap banget soalnya." Raja melangkah menuju pintu mobil dan membukanya, hingga aroma harum dari dalam mobil menyeruak keluar. Hadi yang mengikuti Raja melongokkan kepala melihat ke dalam mobil, tampak Cahaya tidur dengan posisi nyaman. "Aduh, nih anak!" Hadi mengusap kepalanya merasa kurang enak pada Raja. "Jadi ngerepotin ya, Nak Raja?" Raja memilih menjauh dan membiarkan Hadi mendekati Cahaya. "Tidak sama sekali, Pak. Saya senang jadi bisa kenal sama Bapak."Hadi sedikit membungkuk sebelum menepuk pipi Cahaya agar terbangun. "
"Iya, Pak. Saya juga merasa senang kita bisa bertemu sekarang, walau waktunya tidak tepat saat Ambu ... kecelakaan," ucap Raja lirih, takut menyingung perasaan Hadi. "Tidak ada waktu yang tidak tepat, Nak Raja. Semua kejadian di dunia ini sudah menjadi ketentuan Sang Pencipta, mungkin menurut nalar manusia buruk, tapi hikmah di balik kejadian itu akan kita mengerti saat semuanya sudah berlalu," jawab Hadi membuat Raja kagum dengan pemikiran lelaki tua itu. "Benar, Pak. Dan mungkin ... saya juga akan membicarakan hal yang penting dengan Bapak. Tapi nanti, setelah keadaan ambu sudah baik tentunya." Hadi tersenyum mendengar Raja tanpa sungkan menyematkan panggilan yang sama dengannya pada Rosita, ternyata lelaki muda itu memang sudah percaya diri kalau dia akan menjadi bagian dari keluarganya. "Bapak tidak keberatan kalau Nak Raja akan membahasnya sekarang. Kalau untuk kebaikan bersama, kita bisa membahasnya kapan saja." angin segar diberikan Hadi, sinyal restu yang ditangkap Raja un
"Aa!" pekik Cahaya tertahan, dia tidak bisa mambantah pernyataan Raja karena ada Hadi dan Rosita. "Wa'alaikumussalam, Aa. Namanya juga bagus sekali. Raja." kesakitan yang dirasa Rosita seakan menghilang tak berbekas, berganti euforia kebahagiaan menyambut kedatangan Raja. "Terima kasih, Ambu. Maaf kita bertemu dalam kondisi Ambu yang sedang tidak sehat," sesal Raja sambil memindai kondisi wanita yang mengantarkan gadis pujaannya ke dunia. "Semua sudah rencana Allah, Aa. Terima kasih sudah mau melihat Ambu, maaf jadi merepotkan harus mengantar si teteh malam-malam pulang." Hilang sudah suara pelan dan lirih Rosita, berganti dengan suara penuh semangat dan bahagia. Raja melihat Cahaya sekilas, yang langsung memalingkan muka kesal. "Sama sekali tidak, Ambu. Saya senang bisa mengantarkan Aya, dan berkenalan dengan Ambu. Karena selama ini, Aya selalu menolak saya." Benarkan yang Raja bilang? "Gimana sih, Teh? Masa si aa pengen ketemu sama Ambu harus menunggu Ambu kena musibah dulu?
"Jangan marah-marah atuh, Teh?! Kasihan si Aa udah jauh-jauh nganterin, malah dimarahin," kata Binar menunjukkan keberpihakkannya pada Raja. Dan Cahaya memukul gemas pundak adiknya melampiaskan kemarahan. "Kamu kok malah belain dia, sih? Yang Kakak kamu itu Teteh, bukan dia!" "Awww! Sakit atuh, Teh!" pekik Binar mengusap pundaknya, yang menjadi sasaran kemarahan Cahaya tadi. "Bodo amat!" dengus Cahaya geram. "Sayang! Kok kasar, sih?" Raja menangkap tangan Cahaya, yang kembali terangkat akan memukul Binar. Namun dengan sigap remaja itu berlari menjauh, dengan tawa kecil terdengar dari bibirnya. "Lepas! Jangan pegang-pegang!" Cahaya menarik tangannya yang ada dalam genggaman Raja. Beberapa orang menoleh melihat interaksi mereka. "Malu! Lepas!" "Jangan marah terus, Sayang. Kamu itu salah paham.""Aku nggak mau dengar!""Bagaimana kamu akan tahu kebenarannya, kalau nggak mau dengerin penjelasan aku?" Raja menghentikan langkah, hingga Cahaya yang tangannya ada dalam genggamannya tur