Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Tiga Tahun LaluRaja melangkah meninggalkan Cahaya yang kembali menolaknya, menolak uluran cinta yang ditawarkannya. Entah apa yang salah dengannya, hingga Cahaya seakan enggan terikat padanya. Dia sangat mencintai gadis itu, mencintai dengan setulusnya. Namun, dia harus berlapang dada menerima penolakan untuk kedua kalinya. Cahaya terdiam sendiri. Tempat dia berada sekarang adalah salah satu tempat hiburan terbaik di Korea. Akan tetapi, keramaian dan keindahan tempat itu tidak dapat membuatnya merasakan bahagia. Lagi, dia bersikap angkuh menolak Raja. Merasa jumawa dengan rasa cinta lelaki itu, dia berkata tidak dengan mudahnya walaupun hatinya juga mendamba. Munafikkah dia? Tidak. Semua dilakukan untuk kebaikan Raja. Dia layak mendapat perempuan lebih baik dari Cahaya. Sudah cukup dia melukai perasaan Raja beberapa bulan yang lalu, dan mungkin juga barusan atas penolakannya. Akan tetapi, di masa depan, lelaki itu akan bersyukur karena dia tidak menjalin hubungan dengan Caha
Alya berjalan cepat meninggalkan kantin. Sambil memegang tempat minum, dia mempercepat langkah ingin segera sampai di tempat kerjanya. Sayangnya, perutnya yang semakin membuncit, mengurangi gerak langkahnya. Ditambah lagi, teriakan beberapa orang yang mengingatkannya untuk berhati-hati, mulai terdengar. Dia terpaksa menghentikan langkah saat Andri menghampirinya. "Hati-hati, Sayang! Aku ngeri lihat kamu jalan seperti barusan. Ingat, ada anak kita dalam perutmu!" tegur Andri dengan tatapan penuh kekhawatiran. Alya yang mendapat protes dari suaminya hanya tersenyum polos. "Iya, Sayang. Maaf!" "Jangan hanya minta maaf. Lain kali, jangan diulangi lagi!" Andri mengusap kepala Alya sayang. Kemudian, dia memberikan usapan pada perut Alya yang kini tengah mengandung anaknya kemudian."Anak Ayah, kalau Bundanya nakal jangan diam saja, ya?!" Perkataan Andri seolah didengar oleh bayi mereka yang kini menendang perut Alya. Keduanya pun tertawa."Dia nurut." "Iyalah. Anak aku!" Alya menceb
"Honey?!" panggil Kim dengan suarasedikit bergetar. Rasa rindu setelah satu bulan tidak bertemu, membuatnya inginsekali merengkuh Cahaya dalam hangat peluknya. Hembusan angin di penghujungmusim semi, menerbangkan surai hitam panjang Cahaya.Cahaya mencoba tersenyum, tak mengingkari dirikalau dia juga merindukan sosok yang ada di hadapan sekarang. Laki-laki yangpernah begitu gigih hatinya inginkan. Laki-laki yang sudah membuatnya tak setiapada Raja. "Oppa!""Aku rindu!" jujur Kimsetengah berbisik antara malu dan tak kuasa menahan beban rindu. Tapi, diasudah bertekad. Semua harus diakhiri sekarang. Apa punkeputusan Cahaya, dia akan terima dengan lapang dada. Cukup sudah semuaketidakpastian di antara mereka. Cahaya sendiri sedang meraba hatinya. Dia mencari tahu getaranperasaan yang mungkin masih berdesir saat dia bertemu dengan Kim, dan ... ternyata memang masih ada! "Aku juga!" jawab Cahaya jujur. Cukupsudah dia berbohong pada dirinya. Dulu, dia tidak mau jujur akan pe
"Duluan, Pak!" Adrian yang sudahmenyelesaikan makannya berdiri dan meninggalkan tempat itu. Raja melihat Adrian yang sudah berdiri. Dia masih memproses segala hal yang sedang terjadi."Ngobrol dulu, Yan!" Raja mencobamenahan niat Adrian. "Kalau gitu, pindah tempat duduk biarBapak sama Cahaya bisa ngobrol dengan tenang," kata Adrian penuhpengertian. Mengingat bagaimana kisah pelik cinta mereka dulu, Adrian yakin adabanyak hal yang pasti ingin Raja dan Cahaya bicarakan. Menatap dalam tanpa peduli sekitar, Rajamemindai penampilan Cahaya sekarang. Walau tidak bisa dengan jelas melihatwajah cantik Cahaya, Raja yakin Cahaya tetap memukau seperti pertama diamelihatnya. "Disapa dong, Aa! Jangan diliatin saja. Emang nggak kangen?" celetuk Alya santai sambil menyuapkan suapan terakhir makansiangnya. Raja menoleh sekilas pada Alya, hatinyabersorak gembira bisa bertemu dengan Cahaya kembali walau sambutan gadis itutak sehangat yang dia sangka. Cahaya seakan enggan menatapnya dan