“Tumpah di luar atau sudah masuk langsung keluar lagi?” Haidar mencoba memastikan.“Selalu tumpah di luar, bahkan sebelum saya melihat seperti apa isi dari istri, akan selalu keluar lebih dulu tanpa bisa saya tahan,” jawab Wahid seraya menundukkan wajahnya. “Saya sudah mengikuti beberapa saran untuk menjaga kualitas stamina saya, tetapi tak ada hasilnya. Saya juga tidak merokok dan rutin olah raga pagi.”Haidar menghela napas panjang dan berat. “Kapan Bapak menyadarinya?” tanyanya hati-hati.“Sebenarnya sejak saya masih remaja. Saya pikir bertambahnya usia akan membaik, tetapi tetap sama sampai sekarang.” Suara Wahid makin pelan.“Maafkan saya, Pak. Tapi, saya perlu kejujuran pasien agar bisa memberi diagnosa yang tepat,” terang Haidar makin hati-hati. “Bapak tak perlu sungkan! Atau Bapak bisa anggap saya sebagai seorang teman jadi bisa lebih rileks dalam sesi konsultasi ini!” sarannya.Wahid menaikkan wajahnya. Ia memberikan senyuman memaksa, lalu mengangguk ber
“Jangan ganggu hidupku, bisa nggak sih! Aku nggak mau terlibat masalah lebih jauh denganmu!” desis Nurul menahan kesal dengan suara yang sangat pelan.Wanita itu berbicara dengan seseorang di balik telepon dalam ruang tamu yang gelap. Sesekali Nurul memutar tubuhnya menghadap ruangan dalam, berjaga-jaga jika ada seseorang yang muncul atau memergokinya. Ya, wanita itu sedang sembunyi-sembunyi berbicara dengan telepon.“Kita sudah tidak punya hubungan apa pun dan aku sudah menikah!” tegas Nurul lagi. Tetap dengan suara seperti tadi, pelan dan menahan kesal.“Nurul, aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku tahu kamu sudah menikah, tetapi aku begitu mencintaimu ... aku mohon temui aku sekali saja! Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!” ucap suara di balik telepon dengan nada memelas. Suara seorang lelaki dengan nada berat.Wanita itu tampak berpikir seraya berkacak pinggang. Ia kembali menatap ke arah belakang dengan tatapan waspada.
“Si—siapa? Aisyah, suaminya ustaz Wahid dan madunya Nurul?” Haidar terkejut. Ia mencoba mengulangi ucapan si ibu tadi. Haidar perlu memastikan apa yang ditangkap indera pendengarannya.“Heueh, Dokter Tampan kayaknya kenal? Wajahnya tampak terkejut gitu,” selidik ibu itu.Para ibu-ibu yang lainnya pun saling mengangguk setuju. Haidar terlihat jelas menunjukkan wajah terkejutnya. Ia tahu ini bukanlah hal baik. Mereka pasti akan mencecarnya dan menahannya lebih lama.“Bukan begitu, Bu. Saya hanya terkejut saja sama nama-nama mereka. Itu ‘kan artinya bagus-bagus semua, apalagi namanya yang anak kyai itu. Rasanya nggak percaya kalau dia berani hamil di luar nikah, bukannya itu merusak nama baik pondok pesantren pak kyainya?” ucap Haidar pura-pura menyatu dengan mereka.Ibu-ibu itu saling menyahut, “ooh ....”Haidar pantas untuk lega. Tak ada lagi tatapan curiga dari mereka semua. “Astaghfirullah, maaf Bu, saya harus segera pergi. Ada jadwal operasi pagi,” ucapnya sopan.Serentak para ibu-
Nurul berhasil meyakinkan Wahid dan mertuanya. Tentu saja Aisyah tak keberatan. Ia terlalu penasaran akan kebusukan madunya.“Kamu kalau lelah istirahat saja di pos dekat parkiran, tukang parkir dan pedagang gorengan itu kenal baik dengan aku. Jadi, mereka pasti akan menjagamu kalau aku menitipkan kamu di sana,” saran Aisyah saat mereka baru saja turun dari motor.Wajah Nurul sedikit terkejut. Aisyah yakin madunya tengah mencari keberadaan orang yang akan ditemuinya. Terlihat wajah Nurul sedari tadi gelisah sejak keluar dari rumah menuju pasar. Aisyah dapat melihatnya dari kaca spion motor.Bahkan sesekali wanita hamil itu memeriksa ponselnya yang selalu dalam genggamannya. Beberapa kali pula Nurul terlihat memainkan ponselnya, mungkin berbalas pesan. Bertanya di mana tempat mereka bertemu.“Ponselnya simpan saja, Nurul! Rawan copet kalau di pasar,” ucap Aisyah memberi nasehat. “Mari ke pos itu, biar aku titipkan kamu sama bu Ina, pedagang gorengan itu, mungpung belum rame,” ajaknya.“
“Mb—mbak Aisyah?”Nurul gagap. Wajahnya panik dan ketakutan seraya menaikkan tubuhnya dari Aisyah. Ia langsung menguasai tubuhnya, berdiri dengan baik, lalu melirik pada lelaki yang tadi bersamanya.“Mbak Aisyah, ngapain di sini?” tanya Nurul sedikit ragu.“Seharusnya aku yang bertanya, ngapain kamu di sini,” jawab Aisyah tegas dan tatapannya yangvtajam. “Lalu siapa lelaki itu? Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu berpamitan padaku untuk beristirahat di pos, kenapa bisa berada di tempat ini yang bau lagi?” cecarnya langsung seraya menunjuk lelaki di belakang Nurul.Wajah Nurul makin panik. Ia menoleh pada lelaki yang tampak sebaya dengannya, seolah minta bantuan. Namun, lelaki itu hanya menaikkan kedua bahunya malas.Terlihat jelas wajah wanita itu tengah memaksa akal dan pikirannya bekerja keras mencari alasan yang tepat. Tentunya Nurul yakin, Aisyah pasti berpikiran buruk. Apalagi terlihat jelas ia seperti tertangkap basah. Tidak! Nurul tak bisa membiarkan kakak madunya menariknya
Asiyah panik dan bingung. Ia tak bisa menemukan keberadaan Nurul. Kemudian ia mencoba menghubungi suaminya, mencoba meminta bantuan dari Wahid.“Halo, Mas. Mas, aku minta maaf dan aku bisa minta bantuanmu,, nggak?” seru Aisyah panik setelah sambungan telepon terhubung dan mengucapkan salam.“Bantuan apa, Dek?” sahut Wahid langsung dengan nada cemas. “Kamu tenang dulu, Dek! Ceritakan ada apa?” Wanita bercadar itu menuruti saran suaminya. Aisyah menarik napas dalam dan panjang, agar ia bisa lebih tenang. Kemudian ia menceritakan keadaan dirinya.“Kok bisa kamu kehilangan Nurul, Dek? Nurul itu sedang hamil, loh. Bisa-bisanya kamu ceroboh begitu, kalau umi tahu bisa marah besar,” sembur Wahid setelah Aisyah menceritakannya.“Aku hanya menegur Nurul, Mas. Aku nggak bermaksud apa-apa, Mas. Tiba-tiba Nurul langsung marah dan pergi dari pasar,” jelas Aisyah dengan derai air mata. “Aku minta maaf, Mas. Aku bener-bener bingung.”“Ya sudah, kami diam dan tenangkan diri dulu! Mas akan mencoba me
“Apa-apaan ini?” pekik Rahma kesal.Wanita paruh baya itu langsung menoleh pada Aisyah dengan tatapan nanar. “Berani sekali kamu meninggalkan menantu kesayangan umi di pasar seorang diri! Umi mengizinkan Nurul ikut denganmu agar kamu menjaganya! Nurul itu sedang hamil, kalau terjadi sesuatu sama menantu umi, kamu mau tanggung jawab, hah!” hardiknya seraya menunjuk wajah Aisyah dengan jari telunjuknya.“Astaghfirullah, itu tidak benar, Umi! Ais tak meninggalkan Nurul, justru Nurul yang tiba-tiba pergi meninggalkan Ais. Lalu Ais meminta bantuan Mas Wahid untuk mencarinya,” jelas Aisyah mencoba menerangkan.“Jangan banyak alasan kamu, Aisyah! Kalau benar Nurul pergi meninggalkan kamu, kenapa kamu pulang sendirian dan saat umi tanya kamu berkata Nurul dijemput Wahid ... pintar sekali kamu bersandiwara.” Rahma makin meninggikan suaranya.Wajah Aisyah lemas tak berdaya. Ia lalu menoleh pada madunya yang langsung membuang wajah darinya. Jelas sekali, Nurul sedang mengadu domba dirinya dan me
“Benar kamu hamil, Dek?” tanya Wahid memastikan.“Tidak, Mas, magh-ku kambuh,” jawab Aisyah dengan suara lemas.Benar. Penyakit Aisyah kambuh dan tampaknya semakin parah. Ia tak bisa lagi menahan rasa mual dalam perutnya. Wanita itu langsung memutar tubuhnya dan memuntahkan isi perutnya yang kosong ke dalam kloset. Kepalanya terasa berputar, tubuhnya semakin lemas, tetapi rasa mual dalam perutnya tak segera usai.“Sudah jelas istrimu hamil, Wahid! Lihatlah, sejak tadi nggak masih mual muntah terus! Wajahnya juga sudah pucat, sebaiknya kamu buatkan teh hangat untuknya biar tubuhnya tak terlalu lemas!” titah Rahma pada anak lelakinya.Akan tetapi, Wahid tak menurut. Lelaki itu langsung meraih tubuh Aisyah yang tampaknya sudah selesai memuntahkan isi perutnya. Wahid memutar tubuh istrinya dan menghadapkan pada dirinya.“Siapa yang melakukannya, Aisyah!” pekik Wahid keras dengan tatapan murka. Panggilan sayangnya Wahid untuk Aisyah, tampaknya sudah tak berlaku. Lelaki itu menatap penuh a