Bab 2
Wanita berparas cantik tertutup kain hitam yang menutupi kepala serta mulut dan hidungnya itu segera menghapus jejak air matanya. Ia menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Aisyah lantas melihat pantulan dirinya di cermin seraya tersenyum menyemangati diri sendiri.
“Semangat, Aisyah!” ucapnya.
Aisyah lantas keluar dari kamar dan kembali membantu Rahma menjamu para tamu. Suasana yang tidak mengenakkan tadi kini berkurang secara berangsur-angsur berkat senyuman dan keramahan Aisyah. Dalam benak wanita bercadar itu bersyukur bahwa mereka semua tidak mengungkit lagi mengenai masalah tadi hingga waktu pengajian dimulai.
Waktu demi waktu berlalu, matahari yang awalnya menyinari tepat di atas atap rumah kini menurun menghiasi langit cakrawala di sore hari itu. Acara pengajian yang diadakan oleh Rahma pun sudah selesai. Hingga akhirnya tugas Aisyah membereskan ruang tamu.
Aisyah mengumpulkan piring dan gelas kotor, kemudian membawanya ke wastafel untuk dicuci olehnya. Dengan telaten ia meraih busa yang sudah dicelupkan ke air yang sudah dicampur dengan sabun cuci piring, sementara di tangan lainnya ia memegang piring kotor. Setidaknya semua kesibukan itu sedikit mengalihkan rasa sakit hatinya.
“Assalamualaikum,” ucap seorang pria dari arah pintu.
Aisyah dan Rahma yang mendengarnya pun menyahuti salam dari pria tersebut. Zalimar, nama kakak ipar Aisyah yang baru pulang kerja itu segera menyalami ibunya. Namun ketika dirinya melangkah, telapak kaki Zalimar menginjak sesuatu yang tajam. Ia merintih sembari melihat telapak kakinya.
“Kenapa, Zalimar?” tanya Rahma mendengar anak perempuannya itu.
“Ada benda tajam nusuk kaki Zalimar, Umi.” Zalimar menunjukkan kakinya yang terluka.
Kedua bola mata Rahma hampir terlepas dari tempatnya saat melihat benda tersebut. “Hadeuh ... itu pasti gara-gara Aisyah. Tadi dia pecahin gelas, dan minumannya tumpah di depan banyak orang.”
Indera pendengaran Aisyah menangkap percakapan mereka dan segera menghentikan aktivitasnya. Ia bergegas pergi ke ruang tamu dengan tisu dan kotak P3K ditangannya. Ia lantas memberikan tisu itu pada Zalimar, agar darahnya tidak berceceran.
“Maaf, padahal tadi Aisyah sudah memastikan tidak ada lagi beling yang tertinggal.” Aisyah menunduk seraya melihat Zalimar mencabut beling kecil dari telapak kakinya.
“Kenapa nggak sampai bersih? Akibat kecerobohan kamu Zalimar menginjak sisa beling yang kamu tinggalin! Punya otak, kok, gak dipake. Mau dijadiin pajangan doang otak kamu, hah?” hardik Rahma dengan tatapan penuh emosi.
Aisyah terdiam. Ia tak mau menjawab ucapan mertuanya. Tentunya ia tahu jika dijawab akan memperpanjang masalah.
Wanita itu lantas mencari kepingan-kepingan kaca yang mungkin saja masih tersisa. Ia berusaha untuk menghindari masalah yang akan berakhir menyakiti hatinya sendiri. Ada rasa sesal, kenapa ia begitu ceroboh? Padahal, Aisyah yakin sudah membersihkan pecahan belingnya dengan baik.
“Lain kali kalau bertindak jangan ceroboh, Aisyah! Sudah menumpang tapi malah nyusahin!” cecar Zalimar.
Bukan keinginan Aisyah untuk menumpang hidup di rumah yang tengah ia tinggali. Namun, sebagai kewajiban menuruti apa kata sang suami, Aisyah terpaksa harus dicap sebagai penumpang rumah itu. Tentu mendengar ucapan seperti itu akan membuatnya sakit hati, terlebih lagi hampir setiap harinya ia mendapatkan pertanyaan dan sindiran dari para tetangga karena tidak kunjung hamil.
Setelah memastikan luka Zalimar ditutup dengan plester, Aisyah lantas kembali mengerjakan aktivitasnya yang tertunda. Suara pancuran air dari kran wastafel seperti menggambarkan perasaan Aisyah saat ini. Air yang mengalir tampak seperti suasana hatinya yang ingin meluapkan segala rasa sedihnya.
Tak membutuhkan waktu yang lama, selesai mencuci semua peralatan makan yang kotor termasuk wajan-wajan. Dirasa semua pekerjaannya sudah selesai, ia melenggang masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di pinggir ranjang dan termenung mengingat kembali kejadian siang tadi.Larut dalam lamunannya, Aisyah sampai tidak sadar bahwa Wahid, suaminya sudah pulang.
“Ngelamunin apa, Dek?” tanya Wahid sembari duduk di samping istrinya.
Aisyah menggeleng pelan seraya tersenyum. Walau ia tersenyum, Wahid tahu bahwa istrinya itu sedang menyembunyikan kesedihannya yang tersirat. Aisyah pun tahu dirinya tak pandai berbohong.
Sadar bahwa suaminya cepat menyadari hal itu. Ia lantas mengikuti tatapan suaminya yang berselancar ke setiap penjuru kamarnya. Mulut Aisyah langsung mengatup, menyadari tatapan suaminya tertuju pada bungkus pembalut yang terlihat di balik lemari kaca dekat pintu.
“Kamu pasti sedih karena haid, ya?” tanya Wahid seraya merangkul istrinya dan membawanya dalam pelukannya.
Aisyah mengangguk. Ya, alasan itu paling tepat untuk menutupi rasa kesalnya dan sedihnya pada ucapan mertua dan kakak iparnya. Wahid makin memeluknya erat dan membelai kepala istrinya lembut.
“Sabar ya, Dek!” ucap Wahid lembut dan halus dan langsung dijawab anggukan Aisyah yang masih dalam pelukan suaminya.
Perlahan ia menanggalkan hijab yang sedari tadi menutup rambut istrinya. Aisyah tahu apa yang sedang dilakukan suaminya, ia memilih pasrah dengan perlakuan lembut suaminya tanpa berniat menolaknya. Mengikuti permainan sang suami, dan berusaha untuk memuaskannya.
Padahal Wahid tahu bahwa istrinya tengah berada di fase menstruasi. Namun, Aisyah tetap mengizinkan suaminya mencumbunya lembut di atas ranjang megahnya. Ia hanya perlu membantu suaminya melepaskan penat saja.
Aisyah tersenyum tipis mengiringi langkah suaminya menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Indera penglihatannya tertuju pada ceceran basah di atas seprai kasurnya. Itulah alasan Aisyah tak menolak permintaan suaminya walaupun ia tengah haid.
Benar, ceceran basah pada seprainya itu adalah cairan yang seharusnya menembus rahimnya dan membentuk gumpalan darah lalu menjadi janin. Aisyah menahan rasa sesak di dadanya. Ingin rasanya ia mengungkapkan kalau suaminya yang bermasalah jika ditanya tentang kehamilan, tetapi ia sadar mungkin itu adalah aib.
Selama lima tahun menikah dengan Wahid, kesuciannya belum tersentuh oleh suaminya. Cairan itu tak pernah sekalipun melewati dinding kewanitaannya, dan akan berakhir di luar jangkauannya.
Bukannya tidak pernah ia mengajak suaminya menjalani pengobatan ataupun pemeriksaan. Wahid merasa itu adalah aib, hingga ia selalu menolak ajakan ataupun nasehat istrinya. Aisyah harus menerima dirinya jadi bahan ledekan dan sindiran karena suaminya. Ingatannya menerawang mundur saat terakhir kalinya membujuk suaminya untuk memeriksakan kesuburannya.
“Mas, bukankah Allah menyuruh hamba-Nya untuk berusaha dan berdoa? Allah meridai usaha kita asalkan di jalan yang benar, dan ke dokter itu sangat disarankan,” bujuk Aisyah lembut.
“Aku sudah berusaha, Dek! Aku menjaga kesehatanku, aku tidak merokok, dan rutin berolah raga,” tolak Wahid berpegang teguh pada pendiriannya. “Lagipula, apa kata dokter nanti? Yang ada, aku dipandang hina lagi.” Wahid menghembus napasnya kesal.
“Ya Allah, Mas. Aku yakin dokter tidak akan begitu. Mereka sudah disumpah sebelum mendapatkan gelar dokter. Tugas mereka mengobati, bukan menghina. Kamu jangan suuzon, Mas!” tegas Aisyah.
Penjelasan Aisyah membuat Wahid menatapnya kecewa. Sungguh, ia tidak berniat menyinggung perasaan suaminya. Ia hanya ingin mengajaknya berusaha untuk mendapatkan sang buah hati, dan menurutnya ajakannya itu adalah bentuk dukungan pada suaminya. Bukan maksud Aisyah untuk mementingkan dirinya sendiri agar menghindari segala bentuk cercaan dari para masyarakat, melainkan sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan keturunan.
“Apakah harus? Bukankan Rasulullah menerima Aisyah yang tidak bisa memiliki anak? Apakah kamu tidak mau menerima aku dengan kekuranganku?” Wahid menatapnya dengan tatapan kecewa.
Aisyah melemah dan tak berdaya. Akhirnya ia tak lagi meminta suaminya untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Setidaknya ia bersyukur tak perlu bersusah payah untuk memuaskan birahi suaminya.
Hanya saja, keputusannya membuat dirinya harus menerima semua cibiran dan hinaan perihal keturunan. Bahkan hari ini ia harus menahan rasa sakit hati dari cibiran mertuanya. Aisyah ikhlas menahan semuanya dan ia hanya berserah diri, semoga Allah memberi imbalan yang setimpal atas kesabarannya.
“Ya Allah, jika memang ini adalah jalanku, maka kuatkanlah hati hamba,” ucapnya masih memandangi cairan yang membasahi kasurnya.
Bab 3Suara percikan air dari arah kamar mandi terdengar pada indera pendengaran Aisyah. Ia menatap gelapnya langit yang ditutupi oleh awan dari jendela kamarnya. Wanita itu terdiam, mencoba untuk mencari satu bintang yang terlihat. Namun, tak satu pun bintang yang menghiasi langit malam itu.“Seperti menggambarkan suasana hatiku,” ucapnya pelan.Masih memerhatikan langit, Aisyah tersentak mendengar suara pintu kamarnya diketuk diiringi dengan suara Rahma yang memanggil Wahid. Mendengar hal itu, ia segera membuka pintunya. Senyuman ramah Aisyah mengembang untuk mertuanya, walaupun tahu tak akan terbalas.“Di mana suamimu?” tanya Rahma singkat.“Mas Wahid lagi di kamar mandi. Ada apa, ya, Umi? Nanti Aisyah sampaikan pesan Umi ke Mas Wahid,” jawab Aisyah santun.“Kyai Reza dan anaknya datang bertamu. Mereka berdua ingin bertemu dengan Wahid. Sampaikan pada suamimu, ya!” Rahma melenggang pergi setelah menyampaikan kedatangan tamu di rumah mereka.Setelah mertuanya tak terlihat, Aisyah se
“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang. “Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri. “Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya. “Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza. Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam. Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas. “Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantu
“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya. “Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri. Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul. “Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!” “Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis. Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar p
Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak