“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.
“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.
Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.
“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.
Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis dalam pelukannya. “Maafkan aku, Mbak! Aku sungguh terpaksa melakukannya,” isak Nurul pelan sekali.
Mungkin hanya Aisyah saja yang dapat mendengarnya. Tubuhnya terasa kaku, hingga wajahnya dan sorot matanya terlihat bingung. Ucapan Nurul seolah mengandung banyak arti dalam pikirannya.
Bahkan Aisyah dapat merasakan tangannya tak bisa digerakkan saat mencoba mengartikan kalimat dari madunya. Hingga Rahma yang berada di sebelahnya menarik tubuh Nurul. Wanita itu benar-benar menangis dengan berlinang air mata, tetapi Aisyah tahu bukan tangisan penyesalan sudah merebut suaminya.
“Sudah, Nurul! Jangan merasa bersalah pada Aisyah, dia sudah merestui pernikahan kalian,” ucap Rahma lembut seraya membelai hijab putih yang menutupi rambutnya. Kemudian ia menoleh pada Aisyah yang masih terdiam. “Benarkan, Aisyah? Kamu sudah meridhai Nurul dan Wahid?”
Aisyah langsung tersadar mendengar pertanyaan mertuanya. “Ah, iya Umi. Jangan merasa bersalah dan sungkan Nurul! Anggap saja aku adalah kakak ataupun temanmu untuk tempat berbagi,” jawab Aisyah ditambah basa basinya.
Tentu saja, Aisyah memilih menambahkan kalimat yang menurutnya berlebihan dan tak mungkin terjadi. Setidaknya ia harus merubah tatapan semua orang yang ada di sana agar tak menganggapnya seorang yang jahat. Mungkin karena ia berada di lingkungan tempat tinggal Nurul, sehingga tak ada seorang pun yang memberikan tatapan sedih atau kasihan pada dirinya.
“Kyai, hidangan sudah siap!”
Untunglah salah satu keluarga kyai Reza bersuara dan mengajak mereka untuk berpindah ke halaman samping masjid pesantren untuk menikmati makanan yang disiapkan untuk acara tersebut. Tentu saja Aisyah tak selera makan, tetapi setidaknya ia bisa punya alasan menjauh dari mereka dan memilih berdiam diri di teras masjid. Berkali-kali ia menghela napas berat.
“Ya Allah, kuatkanlah hatiku, jika memang ini jalanku! Ampuni aku yang merasa ragu dan merasa tak adil,” ungkapnya dalam hati.
Hari yang berat untuknya. Aisyah masih berharap semua yang terjadi adalah mimpi. Ia hanya bisa menatap kosong kemeriahan mereka yang ada di sana, tengah menikmati hidangan yang disediakan keluarga kyai Reza. Hingga Aisyah tak menyadari Wahid menghampirinya dengan membawa sepiring nasi dan lauk.
“Dek, makanlah dulu! Kamu dari pagi belum makan,” pinta Wahid lembut seraya duduk di sampingnya.
Aisyah melirik sebentar pada suaminya. “Kenapa kamu malah ke sini, Mas? Seharusnya kamu di sana,” sahutnya datar.
“Dek, kamu masih belum bisa memaafkan aku?” tanya Wahid langsung.
“Maaf untuk apa, Mas?” tanya Aisyah malas. Ia lalu menoleh pada suaminya yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Mas, saat Nurul terisak dalam pelukanku tadi dia juga minta maaf padaku. Kenapa kalian bisa kompak?” celetuknya.
Wahid hanya bisa membuka mulutnya sedikit. Ia mendadak bingung ingin berkata apa. Tentu saja ia sadar istrinya sedang terluka. Aisyah lalu menghela napas panjang.
“Mas, setelah ini aku mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku ingin menenangkan hati dan pikiranku,” ucap Aisyah tanpa menatap ke arah Wahid. “Tiba-tiba aku rindu pada mereka berdua. Sudah lama juga aku tidak mengunjungi orang tuaku,”
Kemudian Aisyah langsung menoleh pada suaminya yang makin memasang wajah bersalah dan nelangsa. “Kamu nggak usah khawatir! Aku hanya melepas rindu, bukan menghindarimu,”
“Tapi, kamu harus memaafkan mas dulu, Dek! Mas nggak akan tenang jika kamu belum mendapatkan maaf darimu, Dek.”
***
“Mas anterin kamu pulang, ya.” Wahid meraih tas selempang Aisyah dari pundak istrinya.
“Nggak usah, Mas! Aku udah pesan taksi online dan driver-nya juga perempuan, sebentar lagi datang,” ucap Aisyah seraya menarik kembali tas selempangnya. “Kamu juga harus menjaga Nurul, istrimu!”
Wahid menundukkan wajahnya. Garis penyesalan masih tergambar jelas di wajah lelaki itu. Sayangnya, ia ragu untuk mengucapkan kata maaf, tahu jika kalimat itu akan membuat Aisyah makin terluka.
Tak ingin membuang banyak waktu, Aisyah langsung keluar dari rumah suaminya sebelum madu dan mertuanya keluar kamar. Wahid hanya bisa mengekorinya hingga pagar rumah. Ucapan Aisyah benar, driver taksi online-nya adalah seorang wanita, hingga ia sedikit lega melepas kepergian istrinya.
Namun, Aisyah tak memilih langsung ke rumah orang tuanya. Mobil yang membawanya berhenti di depan rumah sakit. Wanita bercadar itu langsung memasuki rumah sakit dan menuju poli obgyn atau spesialis kandungan. Terbesit dalam pikiran wanita itu untuk memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya.
Setelah mendaftarkan diri dan menunggu antrian, namanya pun dipanggil masuk ruangan dokter. Detak jantungnya tak karuan. Cemas dan takut hingga ia merasakan tangannya bergetar. Tiba-tiba kedua bola matanya membulat sempurna saat ia memasuki ruangan dokter dan menatap wajah si dokter.
“Ha—haidar?” ucap Aisyah gagap, seolah mengenali dokter tersebut.
Si dokter melongo. Tampaknya ia juga mengenali pasiennya, tetapi ia lantas menatap lembaran di hadapannya dan membaca informasinya. Tentu saja, ia tak bisa langsung menyimpulkan mengenal pasiennya dari bola matanya saja.
Ya, wajah cantik Aisyah tertutup cadar, jadi sulit untuk dikenali. Namun, Aisyah tak perlu malu, dokter itu tersenyum padanya. Dugaannya benar, dokter itu bernama Haidar, terlihat dari kartu identitas yang menggantung pada jas putihnya.
“Aisyah Khumairah? Masyaallah, ini benar kamu?” tanya Haidar, nama dokter tersebut. “Silahkan duduk, Ais!” pintanya sopan hingga dokter itu bangkit dari duduknya.
Hati Aisyah benar-benar terharu dan senang, hingga ia merasa lupa rasa sakit dalam hatinya. Senyumannya terpancar dari balik cadarnya. “Tabarakallah, Haidar. Ternyata cita-citamu menjadi dokter tercapai. Rasanya aku tak menyangka bisa bertemu dengan sahabatku,” ungkapnya haru.
“Astagfirullah, seharusnya aku memanggilmu Dokter, kenapa aku memanggil nama saja. Nggak sopan banget sih,” ucap Aisyah sedikit salah tingkah.
Haidar tertawa kecil. “Jangan seperti itu, Ais! Kamu boleh memanggilku nama saja,” ucapnya.
“Tapi, sekarang aku ‘kan pasienmu, Dokter Haidar,” sela Aisyah mencoba menghilangkan rasa canggungnya.
“Kalau begitu, aku harus memanggilmu Bu Aisyah?” balas Haidar dan langsung ditimpali tawa kecilnya Aisyah.
Keduanya tertawa kecil. Ada tatapan rindu dari sorot mata keduanya. Haidar adalah sahabat yang paling mengerti Aisyah saat mereka masih SMA dulu, tetapi cepat-cepat keduanya mengalihkan tatapan tersebut hingga suasana berubah canggung. Haidar mengalihkannya menatap lembaran kertas di hadapannya.
“Mm, sepertinya aku panggil kamu Aisyah aja biar nggak canggung, ya?” ucap Haidar seraya menatap lembaran di hadapannya yang menampilkan informasi pasien. “Kamu mau memeriksakan kesuburanmu? Usia pernikahan lima tahun? Dan ....”
Bibir Haidar langsung terhenti, tak mampu melanjutkan rincian keluhan pasiennya yang tertulis di sana. Ia lantas menatap wajah pasiennya. Aisyah menunduk. Haidar dapat melihat kesedihan pada wajah sahabatnya yang pernah mengisi hatinya saat SMA dulu.
Ya, lima tahun lalu mereka terpisah. Aisyah dijodohkan dengan Wahid saat lulus SMA, sedangkan Haidar ikut orang tuanya ke luar negeri dan kuliah kedokteran di sana. Hati Haidar sakit, melihat wajah sedih Aisyah sekarang.
Susah payah ia melupakan gadis pujaan hatinya saat tahu Aisyah menikah dengan orang lain. Lalu sekarang, seharusnya ia tersenyum melihat wanita itu bahagia, justru Aisyah terlihat murung. Ia kini seorang dokter, tentunya tahu apa yang menimpa pasiennya. Hatinya terpanggil untuk membantu wanita yang kini menjadi pasiennya.
“Tidak usah khawatir, Ais! Kamu datang ke dokter yang tepat, aku pasti bisa membantumu,” ucap Haidar penuh keyakinan dan diakhiri senyuman lebar.
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia
“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh.Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
“Benarkah? Mas Wahid mau menerimaku sebagai seorang istri?”Kedua bola mata Nurul berbinar. Senyumannya mengembang sempurna menatap wajah gagahnya Wahid. Lelaki di hadapannya menurunkan tubuhnya lalu merah kedua lengannya. Wahid membawa tubuh wanita itu bangkit berdiri.“Maafkan aku, jika aku mengabaikanmu,” ucap Wahid lembut seraya menghapus air mata Nurul.“Aku bisa mengerti, Mas. Kamu pasti terkejut dan marah padaku,” sahut Nurul diakhiri senyuman lebarnya.Tanpa izin wanita itu memeluk Wahid yang kini sudah menjadi suaminya. Lelaki itu tampak tersentak, tetapi ia tak melawan. Tangannya menggantung tak berani bergerak atau mengusap kepalanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Aisyah memeluknya mesra.
“Aku dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus, namanya dokter Haidar.”Ucapan Zalimar langsung membuat tenggorokan Aisyah terasa tercekat. Makanan yang tadinya dipaksa masuk melewati tenggorokannya terasa tertahan dan hampir membuatnya tersedak. Aisyah refleks terbatuk dengan suara keras.Sontak semua mata di ruang makan tertuju padanya, tetapi dengan tatapan sinis. Tangan Aisyah langsung menggapai gelas minumnya dan meneguknya hingga tandas. Sayangnya tenggorokannya masih terasa tercekik dan ia terus terbatuk.Wahid segera bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri istrinya. Tampaknya hanya lelaki itu yang mencemaskan Aisyah. Wahid menepuk pundak istrinya beberapa kali, mencoba meringankan rasa tersedaknya.“Hati-hati, Dek!” ucap Wahid lembut dan terus menepuk pundak istrinya.“Makan buru-buru banget sih, makanya tersedak,” celetuk Rahma sinis.“Kualat tuh kayaknya!” timpal Zalimar makin menunjukkan tak sukanya.Sementara Nurul hanya bisa diam m
“Mari, Bu, saya bantu tiduran di ranjang untuk langsung di USG!” Suara Erni, asisten perawatnya Haidar membuyarkan renungannya. Cepat-cepat ia mengalihkan fokusnya pada map di hadapannya yang melampirkan identitas pasiennya. Haidar membaca teliti nama suami dari pasiennya.Saat pernikahan Aisyah dulu, ia memang tak hadir padahal Haidar menerima undangan pernikahannya. Mungkin karena itulah Aisyah mengira dokter tampan itu tak akan mengenali suaminya. Akan tetapi, saat itu Haidar menerima foto-foto pernikahan wanita itu. Tentu saja ia mengenali Wahid dan juga Rahma. Tak banyak yang berubah dari wajah mereka berdua. Haidar terlihat menghela napas panjang, ia diserang banyak tanya dalam pikirannya tentang sahabatnya. Haidar yakin sekali pemeriksaan kemarin, tak ada yang mengkhawatirkan tentang kesehatan rahim Aisyah. Bahkan ia menebak, suaminya lah yang bermasalah. Akan tetapi, hari ini Wahid datang bersama wanita hamil dan tertulis dalam kertas pasiennya bahwa lelaki itu adalah suami