“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya.
Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya.“Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak.“Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar.Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu ketahui, Aisyah, di dalam dunia medis tidak ada istilah mandul!” tegas Haidar.Aisyah tersenyum di balik cadarnya. Penjelasan Haidar benar-benar melegakan hatinya. Tiba-tiba saja air matanya menetes. Wajah Haidar terlihat panik.“Maafkan aku, Haidar. Aku bukan menangis karena sedih dengan penjelasanmu, tapi aku merasa terharu. Ucapanmu benar-benar membuatku senang,” ujar Aisyah cepat menyadari ekspresi Haidar yang menatapnya cemas. “Kamu benar, selama ini aku selalu mendapatkan cibiran mandul hanya karena sampai saat ini aku belum hamil,” akunya.Haidar menghela napas pendek saat melihat Aisyah menyeka air matanya. Ingin rasanya ia menggenggam tangannya memberi dukungan, tetapi itu tidak mungkin. Haidar lantas memberikan senyuman dukungan.“Itulah alasannya kenapa aku selalu meminta setiap pasangan yang sudah menikah dan ingin program hamil untuk datang bersama pasangannya. Tujuannya agar tahu siapa yang bermasalah dan kita sama-sama mendukungnya. Seberat apa pun masalah yang kita hadapi, dukungan dari orang yang kita cintai itu adalah motivasi paling besar agar kita tetap kuat,” tutur Haidar lembut.Kedua bola mata Aisyah berbinar. Sungguh, ia bersyukur ucapan Haidar mampu membuatnya hatinya terbuka. “Kamu benar, Haidar. Dukungan dari pasangan adalah motivasi paling besar hingga aku bisa bertahan sampai sekarang. Akan tetapi ...,” ucapan Aisyah menjeda.Air mata wanita itu kembali menetes. Pilu dan sakit hatinya kembali terasa. Selama ini ia selalu mendukung suaminya dan mendampinginya tanpa pernah menyinggung tentang anak. Hingga Aisyah memilih menanggung hinaan atas aib suaminya, tetapi justru pengkhianatan yang diterimanya.Naasnya, air mata Aisyah tak mau berhenti saat mengingat semua itu. Haidar langsung bangkit dari duduknya. Ia tak bisa menahan dirinya untuk tak menghampiri sahabatnya itu.“Kuatkan dirimu, Aisyah! Aku tahu kamu adalah wanita hebat!” hibur Haidar membelai pelan pundak pasiennya yang tertutup hijab lebarnya.Klek! Pintu ruangan terbuka. Keduanya tersentak dan langsung salah tingkah, tetapi berhasil menghentikan air mata Aisyah. Asisten perawatnya Haidar yang muncul, tampaknya ia juga tersentak seperti keduanya. Kemudian perawat itu menunduk hormat pada Haidar.“Maaf, Dok, Bu Aisyah adalah pasien terakhir. Saya boleh izin pulang duluan, nggak? Saya mendapatkan telepon kalau anak saya di rumah sakit,” ucap perawat itu sungkan.“Tentu saja!” sahut Haidar cepat seraya menghilangkan salah tingkahnya. “Mm ... Erni, bisa tolong ambilkan air untuk pasien saya?” pintanya saat melihat wanita bercadar di hadapannya.Perawat itu langsung keluar setelah menjawab permintaan Haidar. Sepeninggalan Erni, perawat Haidar, keduanya terlihat canggung. Dokter itu lantas merogoh saku celananya mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Aisyah.“Pakai ini!” ucap Haidar diikuti senyuman tipis nan manis.Aisyah canggung. Namun, ia lebih memilih menerima sapu tangan tersebut. Aisyah sadar, lelaki itu hanya mencoba menghiburnya.Kemudian Haidar berpindah pada tempat duduknya. Lelaki itu mengambil pena dan sebuah kertas catatan resep. Ia menuliskan beberapa obat dan vitamin di sana.“Aku resepkan vitamin untuk menjaga kesehatan tubuhmu dan juga rahimmu. Aku juga akan meresepkan vitamin untuk suami—““Tidak perlu!” potong Aisyah cepat, hingga gerakan tangan Haidar terhenti.Lelaki itu cepat menaikkan pandangannya. Aisyah kembali menunduk. Ya, untuk apa Aisyah memberikan vitamin untuk suaminya.“Ini hanya untuk daya tahan tubuh saja. Aku harus tahu dulu penyebab kalian kesulitan hamil. Apa darimu atau suamimu, Aisyah,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. “Akan tetapi, jika aku melihat dari semua keluhanmu di sini, seharusnya tak ada masalah padamu,” imbuhnya.Tentu saja buka pada Aisyah masalahnya. Andai saja ia punya keberanian mengatakannya pada Haidar. Namun, hatinya menahannya karena masih menyadari dirinya adalah seorang istri yang tetap harus menjaga aib suaminya.Untunglah pintu ruangan Haidar diketuk dan tak lama langsung terbuka, hingga bisa mengalihkan pembahasan tersebut. Erni membawa nampan berisi dua botol mineral dan sedotan. Tampaknya ia menyadari Aisyah akan kesulitan meneguk air tersebut di hadapan dokternya.“Silahkan, Bu, Dok,” ucap Erni saat memindahkan botolnya pada hadapan dokter dan pasiennya.“Terima kasih, Erni ... kamu boleh pulang!” sahut Haidar cepat.“Terima kasih kembali, Dok,” balas Erni cepat disusul senyuman tulusnya.Haidar mempersilahkan Aisyah meminum air mineral pemberian Erni, setelah perawatnya keluar meninggalkan mereka berdua. Wanita bercadar itu mengangguk dan langsung meraih botol mineral beserta sedotannya. Ya, Aisyah perlu menenangkan dirinya agar ia tak terbawa emosi yang akhirnya mengungkap aib suaminya.Sejujurnya ia ingin menceritakannya pada Haidar sebagai seorang pasien dan dokter. Akan tetapi ia takut jika itu memang aib dan justru akan membuat suaminya malu. Lagi pula, apa Wahid mau bertemu dengan Haidar dan menjalani pemeriksaan, lalu sama-sama berjuang menjalani program hamil.“Itu tidak mungkin,” guman Aisyah pilu dan pelan.“Iya? Ada apa Aisyah?” tanya Haidar membuat Aisyah tersentak dan kembali salah tingkah.Wanita bercadar itu refleks menatap Haidar yang menatapnya penasaran. Kedua pipinya memerah di balik cadarnya. Ternyata ia terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari gumanannya.“Ah, tidak ada apa-apa, Haidar. Terima kasih untuk air minumnya ... sepertinya sesi konsultasi sudah cukup,” jawab Aisyah sedikit sungkan. “Kamu juga pasti akan segera pulang, ‘kan?” pungkasnya.“Bagaimana kamu tahu?” tanya Haidar cepat dengan tatapan bingung.Aisyah mengerutkan dahinya. “Bukankah perawat tadi bilang kalau aku adalah pasien terakhirmu,” jawabnya.Haidar beristighfar dan tertawa kecil. Ia tak menyadarinya karena terlalu penasaran dengan kehidupan Aisyah. Apalagi saat wanita itu menolak resep untuk suaminya. Haidar yakin sekali kalau suami Aisyah lah yang bermasalah.Apakah ia perlu mendesak wanita itu agar Aisyah mau menceritakan masalahnya? Sama seperti yang sering ia lakukan saat SMA dulu. Haidar selalu bisa membuat Aisyah mencurahkan semua rasa suka dan dukanya hanya pada dirinya. Haidar merindukan masa itu.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Layar ponselnya yang berada di dekat tangannya menampilkan nama pemanggilnya. Kedua bola mata Aisyah langsung tertuju ke sana.“Sebentar, aku jawab telepon dulu!” ucap Haidar dengan senyuman ceria seraya meraih ponselnya dan menggulir layarnya, lalu menempelkannya pada daun telinganya.“Halo, Nak,” sapa Haidar setelah sambungan teleponnya tersambung.Aisyah langsung tertunduk. Ia yakin penelpon itu adalah anaknya Haidar. Kenapa hatinya terasa sedih. Haidar sudah punya anak?“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia
“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh.Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
“Benarkah? Mas Wahid mau menerimaku sebagai seorang istri?”Kedua bola mata Nurul berbinar. Senyumannya mengembang sempurna menatap wajah gagahnya Wahid. Lelaki di hadapannya menurunkan tubuhnya lalu merah kedua lengannya. Wahid membawa tubuh wanita itu bangkit berdiri.“Maafkan aku, jika aku mengabaikanmu,” ucap Wahid lembut seraya menghapus air mata Nurul.“Aku bisa mengerti, Mas. Kamu pasti terkejut dan marah padaku,” sahut Nurul diakhiri senyuman lebarnya.Tanpa izin wanita itu memeluk Wahid yang kini sudah menjadi suaminya. Lelaki itu tampak tersentak, tetapi ia tak melawan. Tangannya menggantung tak berani bergerak atau mengusap kepalanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Aisyah memeluknya mesra.
“Aku dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus, namanya dokter Haidar.”Ucapan Zalimar langsung membuat tenggorokan Aisyah terasa tercekat. Makanan yang tadinya dipaksa masuk melewati tenggorokannya terasa tertahan dan hampir membuatnya tersedak. Aisyah refleks terbatuk dengan suara keras.Sontak semua mata di ruang makan tertuju padanya, tetapi dengan tatapan sinis. Tangan Aisyah langsung menggapai gelas minumnya dan meneguknya hingga tandas. Sayangnya tenggorokannya masih terasa tercekik dan ia terus terbatuk.Wahid segera bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri istrinya. Tampaknya hanya lelaki itu yang mencemaskan Aisyah. Wahid menepuk pundak istrinya beberapa kali, mencoba meringankan rasa tersedaknya.“Hati-hati, Dek!” ucap Wahid lembut dan terus menepuk pundak istrinya.“Makan buru-buru banget sih, makanya tersedak,” celetuk Rahma sinis.“Kualat tuh kayaknya!” timpal Zalimar makin menunjukkan tak sukanya.Sementara Nurul hanya bisa diam m
“Mari, Bu, saya bantu tiduran di ranjang untuk langsung di USG!” Suara Erni, asisten perawatnya Haidar membuyarkan renungannya. Cepat-cepat ia mengalihkan fokusnya pada map di hadapannya yang melampirkan identitas pasiennya. Haidar membaca teliti nama suami dari pasiennya.Saat pernikahan Aisyah dulu, ia memang tak hadir padahal Haidar menerima undangan pernikahannya. Mungkin karena itulah Aisyah mengira dokter tampan itu tak akan mengenali suaminya. Akan tetapi, saat itu Haidar menerima foto-foto pernikahan wanita itu. Tentu saja ia mengenali Wahid dan juga Rahma. Tak banyak yang berubah dari wajah mereka berdua. Haidar terlihat menghela napas panjang, ia diserang banyak tanya dalam pikirannya tentang sahabatnya. Haidar yakin sekali pemeriksaan kemarin, tak ada yang mengkhawatirkan tentang kesehatan rahim Aisyah. Bahkan ia menebak, suaminya lah yang bermasalah. Akan tetapi, hari ini Wahid datang bersama wanita hamil dan tertulis dalam kertas pasiennya bahwa lelaki itu adalah suami
“Tumpah di luar atau sudah masuk langsung keluar lagi?” Haidar mencoba memastikan.“Selalu tumpah di luar, bahkan sebelum saya melihat seperti apa isi dari istri, akan selalu keluar lebih dulu tanpa bisa saya tahan,” jawab Wahid seraya menundukkan wajahnya. “Saya sudah mengikuti beberapa saran untuk menjaga kualitas stamina saya, tetapi tak ada hasilnya. Saya juga tidak merokok dan rutin olah raga pagi.”Haidar menghela napas panjang dan berat. “Kapan Bapak menyadarinya?” tanyanya hati-hati.“Sebenarnya sejak saya masih remaja. Saya pikir bertambahnya usia akan membaik, tetapi tetap sama sampai sekarang.” Suara Wahid makin pelan.“Maafkan saya, Pak. Tapi, saya perlu kejujuran pasien agar bisa memberi diagnosa yang tepat,” terang Haidar makin hati-hati. “Bapak tak perlu sungkan! Atau Bapak bisa anggap saya sebagai seorang teman jadi bisa lebih rileks dalam sesi konsultasi ini!” sarannya.Wahid menaikkan wajahnya. Ia memberikan senyuman memaksa, lalu mengangguk ber