แชร์

Bab 2

ผู้เขียน: Anana-chan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-11-15 16:50:06

Aku dan Hana tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya harapan adalah, aku harus kabur dari rumah dan memilih menetap di Spanyol. Katanya, lebih baik aku menjadi TKW dari pada harus menjadi istri kedua. 

Aku rasa, rencana Hana cukup baik. Namun bagaimana dengan nasib ibu? Dia pasti akan marah dan mungkin akan bunuh diri. 

“Tidak Han, aku nggak bisa,” jawabku. 

“Lalu gimana dong, Asma? Kamu mau jadi duri di dalam pernikahan Husein. Bagaimana kalo istrinya tidak jadi meninggal. Kamu akan dicap pelakor loh,” seru Hana. 

Aku sudah memikirkan hal itu jauh-jauh hari. 

“Hana, aku harus tidur. Nanti aku telepon lagi yah,” ucapku. Aku menutup sambungan telepon dan berjalan menuju tempat tidur.

“Tidak, tidak, aku dan dia tidak bisa bersama. Bagaimana jika istrinya membenciku nanti?” gumamku di dalam hati. Ketakutan tiba-tiba menghampiriku. 

Pagi harinya, ibu dan para tetangga sibuk membuat kue di dapur. Katanya sebelum pernikahan, ibu akan melangsungkan pengajian sekaligus lamaran secara resmi. 

Itu artinya aku dan lelaki itu akan bertemu malam ini. 

“Kok nggak langsung nikah aja sih, Bu?” tanyaku kesal. 

“Nggak bisa Asma, kamu harus dilamar dulu lah. Malu sama tetangga kalo langsung nikah. Nanti mereka pikir kamu hamil duluan, kan malu!” ucap Ibu. Dia sedang menyusun kue di atas meja. 

“Lebih baik kamu bersiap untuk malam ini. Keluarga Husein akan datang dan melamarmu secara resmi. Oh yah, pacarmu namanya Galih, kalian masih pacaran?” tanya ibu. Dia menatapku dengan serius. 

Aku memiliki kekasih bernama Galih Zunaed. Dia seorang arsitektur hebat. Kami sudah berkenalan selama lima tahun. Galih memilih untuk menyembunyikan hubungan kami karena ayahnya kurang setuju denganku. 

Galih berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pejabat publik. Sekarang Galih berada di Spanyol. Melanjutkan S3nya di sana. 

Saat dia pergi meninggalkanku, Galih tidak berpamitan. Bahkan dia tidak menghubungiku sampai sekarang. Aku menyimpulkan jika hubungan kami sudah berakhir begitu saja.

“Asma? Kamu dengar ibu kan? Hubunganmu dengan Galih gimana?” tanya ibu lagi. 

“Nggak, udah nggak pacaran.”

“Bagus!” ucap ibu dengan cepat. Senyuman mengembang di wajahnya. 

“Kalo begitu, kamu bisa menikah dengan Husein. Apa yang membuat hatimu berat, Asma? Jelas-jelas Husein setia dan ingin bersamamu. Ayo lah, jangan seperti ini. Kalo kamu wajahnya cemberut, ibunya Husein akan sedih juga.”

Aku segera masuk ke dalam kamar lagi. Mendengarkan suara ibu hanya membuatku tambah sakit kepala. 

Aku duduk di meja rias. Menatap wajahku dengan sangat lama dan mencoba merenung sejenak. 

“Asma, jangan lupa yah undang Hana. Besok dia harus datang ke sini bantu ibu!” suara ibu dari luar terdengar jelas. 

“Iya Bu,” jawabku. 

Suasana di rumahku sangat ramai. Tetangga semakin banyak berdatangan. Mereka mengucapkan selamat kepadaku. Sebentar lagi aku akan dibawah ke rumah Husein dan menemaninya. Sekaligus menghibur hatinya. 

Ibu berjanji akan selalu membantuku jika aku mengalami kesulitan di rumah Husein. Dia begitu yakin kalo Maya akan meninggal dan aku tidak akan kesulitan di masa depan. 

Ah, mengapa ibu malah menyumpahi wanita itu agar cepat meninggal? Menjengkelkan! 

Malam harinya, aku duduk di depan rumah dan menunggu keluarga Husein datang melamar. Saat mobil putih itu berhenti di depan gerbang, aku segera masuk ke dalam rumah karena malu. 

ibu menyuruhku duduk masuk ke dalam kamar dan menunggu saja. Prosesi lamaran hanya dilakukan oleh Ibu, paman dan beberapa saudara dari ayah.

Aku terus berada di dalam kamar hingga prosesi lamaran selesai. Kata ibu, Husein tidak hadir. Orang tuanya yang mewakili dirinya. 

Aku yakin, dia juga tidak setuju dengan pernikahan ini. Orang gila mana yang ingin menikah lagi saat istrinya sedang sakit. 

Setelah acara lamaran itu, ibu Wati masuk ke dalam kamar dan memelukku. Dia begitu sayang kepadaku. Aneh, mengapa dia begitu sayang kepadaku sedangkan aku hanya orang biasa?

“Husein nggak hadir karena dia lagi kerja, sekarang kamu resmi jadi calon istri Husein,” ucapnya. 

Aku tersenyum namun jujur senyuman ini tidak Ikhlas. 

“Baik Bu,” jawabku. 

***

Hari sepertinya berjalan dengan cepat dan tanpa sadar, aku akan menikah dengan Husein hari ini. Seluruh tamu sudah berdatangan ke rumah.

Ibu bilang jika keluarga Husein tidak akan merayakan pernikahanku dengan meriah karena mereka menghargai keluarga dari Maya. Aku setuju.  

Sekarang di dalam kamar, aku sedang dirias oleh seorang MUA yang dipilih oleh ibu. Senyuman terus mengambang di wajah ibuku. Dia begitu bahagia melihatku akan menikah. 

Kurang dari dua jam lagi, aku resmi menjadi istri dari Husein Sandewa. 

“Uhf!”

“Neng, nggak usah tegang loh.” 

Aku ditegur sejak tadi karena wajahku terlihat tegang. MUA yang disewa ibuku sangat sensitive. Katanya, dia sudah merias puluhan pengantin namun kali ini, dia sangat sulit merias wajahku. Makanya dia marah-marah sejak tadi. 

Setelah dirias, aku disuruh menunggu di dalam kamar hingga ijab kabul selesai. Dari dalam kamar, aku bisa mendengarkan suara ibu Wati. Keluarga Husein sudah datang dan artinya, ijab kabul akan dilaksanakan beberapa menit lagi. 

“Ya ampun, Asma. Aku nggak bisa lihat ini semua. Aku nggak rela!” ucap Hana. Sejak tadi pagi, dia menangis di sampingku. Dia tidak Ikhlas jika aku menjadi istri kedua. 

“Aku nggak bisa berbuat apapun. Han. Ini sudah takdirku,” ucapku. Suaraku bergetar. Aku berusaha menahan air mataku. 

“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."

Suara serak lelaki itu terdengar dengan jelas. Dengan satu tarikan nafas, dia menikahiku. Perlahan, aku menutup mataku dan menunduk ke bawah. Tanpa sadar, air mata terjatuh di pipiku. 

Oh Tuhan, aku sudah menjadi istrinya

Hana terus menangis. Dia tidak bisa menahan air matanya. Selama ijab kabul, dia terus memelukku. Kami menangis bersama. 

MUA yang meriasku tadi kaget. Baru kali ini ada pengantin yang menangis, katanya. 

Setelah ijab kabul terucap, aku dibawah keluar dari dalam kamar. Di sisi kiri ada ibu dan di sisi kanan ada ibu Wati. Mereka menuntunku untuk duduk di samping Husein. 

Dari jauh, aku melihat wajah lelaki itu. Dia menunduk ke bawah dan seakan tidak ingin memandangiku. 

Aku duduk di sampingnya. Ibu Wati memerintahkan kepada Husein untuk mencium keningku. Jantungku berdetak lebih cepat. 

Oh Tuhan.

Tangan lelaki itu mengengam jemariku. Perlahan, mata kami bertemu. Wajahnya sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari Galih. 

“Husein, Asma adalah istrimu. Cium dia!” perintah ibu Wati. 

Perlahan wajah lelaki itu mendekat ke arahku. Dia mencium keningku dalam hitungan detik. Setelah ciuman itu selesai, Husein melepaskan gengaman tangannya. Dia lalu memalingkan wajahnya secepat kilat. 

Semua yang hadir di dalam ruangan tersenyum bahagia. 

Setelah akad selesai, ibu Wati membawahku ke sebuah hotel. Di dalam mobil, Husein sama sekali tidak ingin mengengam jemariku lagi. Dia terus menatap keluar jendela. Sepertinya wajahku sangat buruk sehingga dia tidak sudi melihatku. 

Suasana menjadi hening. Aku ingin berbicara kepadanya namun aku ragu. Sesampai di hotel, aku dan keluarga Husein berpisah. 

Husein membawahku ke sebuah kamar hotel. Ini adalah kamarku untuk beberapa hari ke depan sebelum pindah ke rumah lelaki itu. Kami berdua saja di sini dalam keheningan malam. 

Di dalam kamar itu, aku duduk termenung di bibir ranjang. Menunggu dia untuk berbicara kepadaku. Husein sedang berada di dalam kamar mandi. Sejak tadi, dia sudah berada di sana. 

Aku perlahan melepaskan riasan wajahku sambil menunggunya. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam. Aku dan dia belum sholat Isya. 

“Siapa namamu?” 

Suara itu mengelegar dan membuatku terkejut. Husein keluar dari dalam kamar mandi dan berdiri di hadapanku. 

“Asma, bukankah kamu sudah tahu?” tanyaku. Aku memberanikan diri menatap wajah tampannya itu. 

“Bukan, bukan, aku bertanya siapa nama lengkapmu? Aku bisa memanggilmu dengan sebutan apa?” 

“Asma!” jawabku lagi. 

Mas Husein menghela napas panjang. Tampak dia kesal. 

“Oke!” jawabnya pada akhirnya. Dia kemudian berbalik arah dan berjalan menuju sebuah lemari. 

“Aku ingin sholat di masjid. Di dekat hotel ini ada masjid. Kamu tunggu saja di sini!” ucapnya. Aku menganggukan kepala. 

Dia bersiap untuk sholat Isya. Mas Husein melepaskan baju pengantinnya lalu mengantinya dengan baju koko. Saat aku ingin membantunya, dia meletakan tangan di depanku. 

“Aku bisa sendiri,” jawabnya dengan wajah dingin. 

“Oh yah, hari ini aku harus ke rumah sakit. Kamu bisa menungguku di sini. Satu lagi, maaf karena aku tidak bisa melakukannya denganmu,” ucapnya. 

Ah? Maksudnya apa?

Posisiku masih saja sama. Berdiri di samping tempat tidur dengan gaun pengantin dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. 

“Maksudnya apa?” tanyaku. 

“Aku akan jelaskan nanti!”

Mas Husein bergegas keluar dari dalam kamar hotel. Dia meninggalkanku sendiri. Aku tertunduk lemas. Apa dia membenciku? 

***

 Jangan lupa komentarnya ^^

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 39

    Tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini. Ibuku sama sekali tidak ingin berbicara kepadaku. Dia memblokir nomor teleponku. Dia tidak ingin mendengarkan suaraku. Aku dicap sebagai anak durhaka. Ya, itu lah yang dipikirkan ibuku.Ibuku mengatakan jika setelah kematian Maya, maka aku akan bahagia karena seluruh uang Mas Husein akan berada di sisiku.Aku tidak membutuhkan semua itu. Mas Husein tidak mencintaiku. Dia sama sekali tidak peduli kepadaku. Lalu, apa aku harus menunggu dia?“Asma? Kamu baik-baik saja kan?”Hana tiba-tiba berada di sampingku. Dia membawah secangkir teh hangat. Hari ini, aku dan Hana akan mengadatakn meeting zoom dengan Miss Rebecca. Salah satu supervisor yang akan memberikan aku beasiswa.“Hmm.”“Hmm, maksudnya apa sih?” gumamnya tidak mengerti. Aku bisa melihat kerutan di kedua wajahnya yang cantik itu.“Kamu serius kan, mau ke Turkey? Miss Rebecca mau ajak kita ke sana. Ya, ku pikir kalo ke spanyol, kamu malah ketemu sama Galih. Ah, aku malahan kesal sama laki-

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 38

    “Saya ingin rujuk sama kamu lagi, saya tidak bisa tanpa kamu, Asma,” ucapnya. Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Husein. Aku terdiam seribu bahasa. Saat ini, hatiku pilu. Bahkan ucapannya pun seakan tidak aku pahami.Aku tidak menatap wajah Mas Husein meskipun aku tahu, sejak tadi dia mencoba memandangiku. Mungkin dia berharap aku menatapnya.“Aku tidak akan memaksamu,” ucapnya sekali lagi. Dia menyerah? Apa dia tidak ingin membujukku? Bukankah hatinya tidak siap menerimaku sehingga aku bimbang. Aku ingin dia membujukku, aku ingin dia merasa bersalah dan terus berjuang untuk mendapatkan hatiku lagi.Tapi apa? Apa yang terjadi? Mengapa dia menyerah? Apa hanya seperti itu usahannya?Perlahan bola mataku memanas. Tidak, tidak, aku tidak boleh menangis di hadapannya. Aku tidak lemah.Aku segera meletakan makanan di hadapan mas Husein lalu duduk dan menundukan wajahku. Aku tidak ingin dia melihatku menangis.“Mengapa masih peduli kepadaku?” tanyanya. Kali ini, aku berharap dia tidak menatap

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 37

    Sudah seminggu ini aku memutuskan untuk menginap di kediaman Hana. Mas Aldo menyarankan kepadaku untuk fokus mengurus pendidikanku. Aku sudah mengirimkan proposalku kepada Madam Rebecca dan berharap dia ingin menerimaku sebagai salah satu mahasiswanya.Madam Rebecca sampai sekarang belum membalas pesanku. Aku sedikit cemas, takut jika dia tidak peduli lagi karena aku lama membalas pesannya.Aku tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah. Ibu mengusirku dan menganggapku sebagai anak yang durhaka. Dia terus membujukku untuk kembali kepada Mas Husein.Sudah seminggu ini, Mas Husein tidak menghubungiku. Sekedar mengirimkan pesan pun, dia sepertinya tidak ingin.Entahlah, apa secepat itu dia melupakanku.“Nggak mau bertemu Galih?”Hana tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku dengan lembut. Aku spontan menoleh dan menatapnya.“Gimana? Kalo kamu mau, Mas Aldo akan mengantarmu ke sana.”Aku menggeleng.“Nggak usah!” jawabku.Aku duduk di depan jendela. Kepalaku masih dipenuh

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 36

    Husein Sandewa Pov“Mas Husein, Mbak Asma nggak ada di kampus. Saya sudah nunggu di depan parkiran, eh nggak muncul, biasanya dia ke kampus karena saya dengar, Mbak Asma ada urusan di sana,” ucap Pak Soni.Aku menghela napas panjang. Sudah beberapa hari Asma tidak membalas pesanku. Biasanya dia cepat membalas pesanku. Ada apa? Apa dia sangat marah kepadaku?“Kalo ruangan Mas Aldo, kamu sudah lihat?” tanyaku sambil memandangi Pak Soni. Pak Soni tampak bingung.“Mas Husein, sebenarnya ada yang ingin saya katakan sama Mas Husein, tapi saya sedikit ragu. Saya takut Mas kalo ini ….,”“Apa?” potongku dengan cepat. Aku tidak suka basa-basi. Aku ingin Pak Soni berbicara dengan cepat kepadaku. Lelaki paruh baya itu sesekali menghela napas panjang. Wajahnya tampak cemas dan membuatku semakin penasaran.“Apa? Apa yang kamu mau katakan?” tanyaku lagi.“Katanya, Mas Aldo dan Mbak Asma itu pernah ada hubungan Mas. Saya juga kurang tahu, tapi sepertinya Mas Aldo suka sama Mbak Asma,” ucap Pak Soni.

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 36

    POV Husein SandewaAku sangat mencintai Maya Anjani dan tidak ada satu pun yang bisa membuatku berpaling darinya. Dia istriku yang sangat cantik. Cinta pertamaku dan belahan jiwaku. Lalu Tuhan menguji cinta kami berdua. Malam itu, ibu menangis di hadapanku. Dia memohon agar aku mau menikah lagi. Rencana gila yang dua bulan lalu sudah disusunnya dengan rapih. Kata ibu, dia mengenal seorang gadis yang rajin bernama Asma Hanifa. Ibu sangat menyukainya. Pernah sekali ibu melihatnya di rumah sakit sebagai tenaga kesehatan di bidang farmasi. Karena itu lah ibu menginginkannya.Alasan tepatnya adalah, ibu melihat Asma sebagai wanita yang sabar dan penurut dan tentu saja dia ingin menjadi istri keduaku.Aku menolak perjodohan gila ini namun ibu terus memaksaku. Maya Anjani, perempuan yang aku cintai kecelakaan. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, dia mengatakan bahwa aku harus memikirkan dengan baik rencana ibu. Dia tidak menolak, dia juga tidak menerima. Namun di hatiku yang paling dal

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 35

    Kami memutuskan untuk berpisah. Malam itu juga, Mas Husein mengantarku ke rumah. Sejujurnya dia tidak ingin membawahku pulang ke rumah malam-malam. Namun aku memaksanya. Mas Husein belum mengucapkan kata talak kepadaku karena dia menyuruhku untuk menimbang setiap keputusan ini. Selama di perjalanan, kami saling diam. Sesekali dia menatapku dari balik kaca spion dan menghela napas panjang. “Jangan menangis, takutnya ibumu berpikir buruk sama saya.”“Nggak, aku nggak nangis kok, Mas,” jawabku. Aku menyeka air mataku dengan cepat. Aku tidak ingin dia melihatku. Demi Allah, aku tidak ingin Mas Husein beranggapan jika aku lemah. Tidak ada yang boleh menganggapku lemah. Sesampai di rumah ibu, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Ibu yang berdiri di depan pintu terkejut menatapku. “Asma, Asma!” panggilnya. Dia mengikuti dari belakang. “Asma, apa yang terjadi? Kamu dan Husein beneran pisah? Gila yah kamu!” Aku tidak mengubris ucapan ibu. Aku dengan cepat menutup pintu. Mas Husein sepert

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 34

    Seminggu setelah kematian Mbak Maya, kelakuan Mas Husein masih saja sama. Dia sering kali ditemukan terlelap tidur di samping makam Mbak Maya. Ibu Wati yang melihat hal itu segera menghubungi psikolog untuk membantu putranya. Berkali-kali Mas Husein marah. Dia tidak ingin dianggap gila. “Nggak apa-apa Mas, siapa tahu dengan bantuan psikiater, Mas lebih baik,” ucapku. Ini kali pertama aku berbicara kepada Mas Husein. Dia spontan menatapku dengan pandangan tajam. “Jadi, kamu juga berpikir kalo aku gila, begitu?” teriaknya. Aku menggeleng dengan cepat. Aku takut jika Mas Husein marah seperti ini. “Nggak Mas!” jawabku. Mas Husein segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku terperanjak kaget. “Asma!” panggil Ibu Wati. Aku segera berjalan cepat masuk ke dapur. Di sana, Ibu Wati menatapku dengan wajah sedih. Dia mengelus pungungku dan menuntunku untuk duduk di meja makan. Wajahnya terlihat serius memandangiku. “Asma, aku tahu ini nggak mudah bagi kamu. Husein sulit melupakan Maya d

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 33

    Setelah kepergian Mbak Maya, suasana di rumah sangat berbeda. Malam ini, orang-orang berdatangan untuk melaksanakan takziah. Ibu Wati berada di depan pintu menyambut para tamu. Saat ibu-ibu masuk ke dalam rumah, mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi saat aku duduk berdampingan dengan Mas Husein, mereka mencibir.“Pasti dia senang, jadi istri satu-satunya, siapa sih nggak bahagia?”“Pelakor naik pangkat, keren banget dia.”Aku menunduk saat melewati ibu-ibu pengajian yang memandangiku dengan tatapan menjijikan. Mereka kerap kali bertanya apakah aku sudah hamil atau tidak. Entahlah, sepertinya kehidupanku adalah hal yang menarik bagi mereka. “Mas mau minum?” seruku kepada Mas Husein. Sejak tadi, dia duduk dan diam saja. Bahkan untuk berbicara pun sepertinya dia tidak sanggup.Mas Husein tidak bersuara saat aku menawarkan secangkir teh hangat. “Mas makan dulu yah.”Mas Husein menggeleng. “Mbak Maya bakalan sedih kalo Mas Husein seperti ini. Mas belum makan da

  • Bukan Aku yang Diinginkan   Bab 32

    Malam harinya, aku menemani Mas Husein untuk menjaga Mbak Maya. Sampai sekarang kondisi Mbak Maya sama sekali tidak ada perubahan.“Mas, tangannya gerak Mas!” ucapku kepada Mas Husein yang terlelap tidur di sampingku. Dia segera bangun dan mencoba menatap Mbak Maya.“Tadi gerak!” ucapku lagi. Aku takut dia mengatakan aku bohong kepadanya.“Tangan Mbak Maya dingin banget Mas,” seruku.Jemarinya sangat dingin dan aku tidak enak hati untuk menjelaskan hal ini kepada Mas Husein sejak tadi.“Mas panggil dokter dulu yah. Kamu di sini!”Mas Husein berdiri lalu berjalan menuju pintu. Namun aku segera memanggilnya saat jemari Mbak Maya bergerak sekali lagi.“Mas, mas, gerak lagi Mas!”Mas Husein kembali. Dia menyentuh kening Mbak Maya dan berbisik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, suaranya sangat pelan.“Nggak ada waktu lagi, Mas harus panggil dokter!”Mas Husein berlari menuju pintu. Jemariku bergetar saat Mas Husein mengatakan itu. Apa yang terjadi? Aku sangat takut.“Mbak Maya, mbak ban

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status