Share

Kemajuan

Penulis: Navira Sema
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-07 21:48:11

Pulang kerja, Satria langsung masuk kamar. Ada lagi yang harus dia hadapi. Menurutnya, bersama Filza merupakan masalah besar. Beberapa hari lagi adalah hari pertunangan adiknya, Santi. Tentu saja Filza harus ikut.

"Mas, bisa tolong bukain pintu sebentar?" Suara Filza di balik pintu.

Malasnya Satria membuka pintu. Bahkan raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia bahagia. Sekarang di hadapannya ada Filza dengan dua pakaian indah lengkap dengan pasmina yang digantung di kedua pundaknya.

"Apa?"

"Aku pakai yang mana di pertunangan Santi?" Tanya Filza sambil menjajarkan dua pakaian itu di samping kanan dan kiri badannya.

"Terserah." Lalu menutup pintu.

Filza tak mengira dirinya mendapat jawaban seperti itu. Hanya bisa menghembuskan napas gusar lalu pergi ke kamarnya sendiri.

Di sinilah Filza, di balkon kamar dengan suasana minimalis. Termenung menatap langit. Perlahan matanya basah. Dia menangis.

***

Hari yang ditunggu tiba. Filza terlihat cantik dengan pakaian yang dia kenakan. Satria memanggilnya. Girang, Filza menghampirinya.

"Ayo berangkat! Jangan sampai orang lain tau kalau kita gak akur." Ucapnya dingin.

"Iya, Mas."

Filza berjalan di belakang Satria. Lalu masuk ke mobil suaminya.

Sampai di sana, banyak yang menyambut Filza dan Satria. Tapi sebenarnya mereka hanya bermaksud menyambut Satria. Keberadaan tamu yang membuat mereka, keluarga Satria terpaksa menyapa Filza juga. Ada kedua orang tua Filza juga di sini. Nisa dan Dimantoro.

"Assalamu'alaikum, Ma, Yah." Filza mencium punggung tangan keduanya.

"Wa'alaikumsalam. Gimana keadaanmu?" Tanya Nisa.

"Alhamdulillah. Baik, Ma." Bohongnya Filza.

"Ih! Pengantin baru, nih." Ucap salah satu tamu yang datang.

"Iya, sayangnya yang cewek bukan idaman." Santi mengatakan itu tanpa rasa bersalah.

Jadilah Filza sangat menciut nyalinya. Perih semakin melebar. Santi menaburkan garam di atasnya. Dia harus ekstra sabar. Karena ucapan Santi, semua tamu membicarakan Filza dan Satria sebagai pengantin baru. Lebih tepatnya membicarakan Filza. Bahkan di antaranya tengah berbisik-bisik di sekeliling Filza. Menyakitkan, bukan?

"Permisi, Tan. Aku mau ke toilet."

Filza berlari memasuki toilet. Menangis di sana. Cinta yang ada di antara dirinya dan Satria sudah runtuh. Begitu pula perhatian dan kasih sayang dari keluarga Satria untuk Filza juga runtuh. Seakan tak pernah ada kasih sayang dan cinta di antara mereka. Lenyap tak tersisa.

***

Malam ini, seperti biasa Filza sendiri di kamar tamu yang sekarang menjadi kamarnya. Muka nanarnya masih terlihat jelas. Memeluk bantalnya. Membuat bantal itu basah karena air mata. Sampai kapan dia akan begini?

Satria menyadari ponselnya tak kelihatan sejak tadi. Mencarinya ke mana-mana sampai ke sudut-sudut kamar, tapi belum juga ditemukan. Menepuk jidat saat mengingat dia sendiri yang menitipkan ponselnya pada Filza. "Ah! Harus ketemu wanita pembunuh itu lagi." Geramnya dalam hati.

Filza menemukan sesuatu di dalam tas selempangnya. Sedikit gugup menyadari itu ponsel suaminya.

"Gimana caranya aku kembalikan ini, ya? Mas Satria gak mau ketemu aku. Ah, masa bodoh. Aku pergi ke kamarnya aja."

Membuka pintu kamarnya. Tersentak, teryata di hadapannya sudah ada Satria.

"Eh, Mas. Ini ponsel Mas."

Langsung dirampas itu ponsel. Filza saja sampai kaget. Kasar sekali cara merebut ponsel itu. Lalu pergi tanpa sepatah katapun. Lupa sudah keberapa kalinya, Filza hanya bisa memejamkan mata, menahan getaran di dada.

Dia belum tidur. Padahal jarum jam menunjuk angka dua belas. Sambil memeluk guling kesayangannya, Filza berusaha tidur. Tapi tetap saja tidak bisa. Diraihnya ponsel yang berada di meja di samping ranjangnya. Membuka kumpulan foto. Memandang foto-foto bersama Satria. Foto-foto di mana mimik wajah Satria masih menyiratkan cinta. Mata Filza kembali basah. Mengingat sikap Satria yang sudah berbeda.

***

"Assalamu'alaikum." Airin tiba di rumah Biha.

"Wa'alaikumsalam. Eh, ada Airin. Ayo masuk!"

Hari ini, Filza sudah ada di depan rumah Biha. Semangat sekali dia masuk. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Bukan suara Biha saja, tapi juga Airin.

Sekarang yang ada di pikiran Filza bermacam-macam. Dia takut Airin merebut suaminya. Tapi dia selalu berusaha mengambil hati suaminya. Apa mungkin Airin bisa?

"Ngapain Kamu di sini?" Pertanyaan ketus dilempar Biha untuk Filza.

"Ini, Tan. Aku bawain makanan. Memang sengaja mau ke sini."

"Nggak perlu. Airin udah bawain makanan buat tante."

Filza langsung diam. Perih semakin terasa saja. Tapi mau dikata apa?

***

Piarrr!

Suara piring jatuh terdengar di telinga Satria. Dia langsung memasuki dapur. Sampai di sana, tampak Filza membersihkan pecahan piring. "Kok bisa?" Tanya Satria.

"Maaf, Mas. Aku gak sengaja. Au!"

Seketika memegang jari tengah kanannya yang ternyata berdarah. Filza mengernyit kesakitan. Tanpa disangka, Satria memegang tangan kanan Filza, bermaksud mengobatinya. Tapi kematian ayahnya membuat dirinya tak mampu mengobati tangan Filza.

"Sana obati!" Ucap Satria ketus.

"Iya, Mas."

Filza mengambil kotak P3K di ujung dapur. Sekejap pipinya memerah karena perlakuan Satria tadi padanya.  Tak kunjung sampai di situ, Satria menghampirinya.

"Bisa gak? Jangan manja! Obati yang bener!"

"Iya, Mas."

Walau dengan perkataan ketus, terapi Filza bahagia. Baginya itu sebuah kemajuan untuk hubungannya dengan Satria. Rasanya ingin setiap saat terluka.

***

Filza memasak makan malam. Dia belum melihat Satria dari satu jam yang lalu. Celingukan mencari Satria. Tapi suaminya tak ada di rumah.

"Oh, mungkin Mas lagi makan di luar. Udah biasa kayak gitu." Ucapnya menyerah.

Filza sengaja memasak sedikit karena dia terbiasa makan sendirian tanpa suaminya. Di kursi yang tepat berada di depannya, Filza membayangkan sosok Satria di hadapannya. Sontak mata Filza nanar.

"Seandainya saja Mas Satria mau duduk di sini sama aku." Gumamnya pelan.

***

"Anak-anak! Ayo masuk! Kok pada di luar?" Filza sedikit kesal dengan tingkah murid-muridnya.

Beberapa detik kemudian, dia terkekeh. Imut sekali wajah seorang anak perempuan di hadapannya. Dia meletakkan lututnya di atas lantai agar tingginya setara dengan anak perempuan itu.

"Hai, Oci." Sapa Filza.

"Ibu Filza yang cantik. Ibu cantik banget, deh. Pasti banyak yang sayang sama Ibu." Ucap anak itu lalu pergi meninggalkan Filza.

Filza termenung mendengar ucapan Oci. "Banyak yang sayang? Alhamdulillah. Tapi tidak untuk suamiku sendiri." Gumamnya dalam hati.

***

"Pak, rapat sebentar lagi akan dimulai."

"Baik, saya akan segera ke sana." Satria melangkah mendekati ruangan lebar.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Ada nama Filza di sana. Tanpa berpikir panjang, Satria langsung mematikan ponsel itu.

"Yah ...." Filza kecewa.

"Padahal aku mau minta jemput Mas. Mungkin Mas sibuk." Gumamnya pelan.

***

"Mas, tadi sibuk, ya?" Tanya Filza sambil duduk di sampingnya.

"Setiap hari juga gitu."

"Maaf, nelpon Mas tiba-tiba. Tadinya aku mau minta jemput."

"Apa gak bawa motor?"

"Enggak, Mas."

"Gimana, sih? Dasar!"

"Maaf, Mas." Filza tahu itu salahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Aku   Soto

    Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t

  • Bukan Aku   Kopi

    Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe

  • Bukan Aku   Datang ke Ulang Tahun Bayu

    Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter

  • Bukan Aku   Bertemu Lagi

    Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal

  • Bukan Aku   Abidah pulang

    “Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d

  • Bukan Aku   Kapan Nikah?

    Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba

  • Bukan Aku   Di Balik Sikapnya

    Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.

  • Bukan Aku   Dia Cukup Merepotkan

    Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me

  • Bukan Aku   Obat Herbal

    Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status