"Kemana perginya?" Aira celingukan mencari Xabiru, tapi sosok laki-laki tersebut tidak terlihat di sepanjang dia berjalan menuju ke arah dapur. "Aira.""Eh, Ibu. Kirain siapa?" Aira terkejut ada yang menepuk pundaknya dari belakang dan ternyata itu ibu mertuanya. "Ngapain sepagi ini celingukan gitu? Cari siapa?" Bu Laila menatap tajam ke arah Aira. "Eh, nggak kok, Bu. Anu … nggak ada." Aira tak berani jujur kalau dia sedang mencari Xabiru. Tatapan mertuanya membuatnya sedikit takut. "Ayo ikut Ibu ke dapur. Kita masak. Di kulkas ada apa saja. Kamu ada belanja?" Sambil jalan menuju arah dapur, Bu Laila membuka obrolan ringan sebelum ia bertanya ke arah yang serius. Ia sangat penasaran apa saja yang dilakukan kedua anak dan menantunya itu semalam. Sampai-sampai pesannya tidak dibalas satu pun dari mereka. "Ada macamnya Bu. Mas Xabiru yang sempatin belanja. Kalau Aira kan belum kenal daerah sini, Bu," jawab Aira menerangkan. Bu Laila hanya manggut-manggut mendengarkan. Tangannya me
Dengan perasaan gugup Aira keluar dari kamar mandi. Perlahan ia mendongakkan kepalanya mencari sosok Xabiru, laki-laki dingin yang baru saja masuk ke dalam kamar tidur. Perlahan tapi pasti dilepaskannya kimono luaran yang membungkus lingerie merah menyala yang dikenakannya. Lalu berjalan menghampiri laki-laki yang terpaku menatapnya tanpa berkedip. Kedua pasang manik mata berbeda warna itu saling terpaut pandang dalam hitungan detik. Hingga akhirnya sang laki-laki memalingkan muka lebih dulu. Dadanya berdegup kencang karena penampilan tak biasa yang baru saja ditunjukkan Aira padanya. Xabiru beranjak dari duduknya dan mengabaikan Aira yang berdiri di hadapannya. Hati wanita yang bersusah payah menahan malu mengenakan pakaian kurang bahan itu mencelos seketika. Kecewa. Ternyata penampilan yang menurutnya sudah sangat sempurna itu tetap diabaikan oleh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. "Pakailah! Aku belum siap untuk menjamahmu," ucap Xabiru sambil memasangkan kembali kim
"Mau kemana?" tanya Bu Laila dengan mata awas mencuri celah ke dalam kamar dari pintu yang baru saja dibuka Xabiru."Ke dapur, haus," jawab Xabiru dengan cepat menutup rapat pintu kamarnya. "Memang habis makan apa?"Kening Xabiru berkerut mendengar pertanyaan ibunya. "Makan?" Kepala Xabiru refleks menggeleng setelahnya. "Tidak ada.""Terus ngapain haus? Tuh kenapa keringatan? AC di kamarmu mati?" Bu Laila bertanya menyelidik. Ia penasaran apakah sepasang suami-istri tersebut telah melakukan ritual malam pertama mereka. "Ehm, ini ee … I–iya, ada masalah sama AC-nya. Nanti besok Xabiru panggil orang buat benerin. AC di kamar Ibu, aman kan? Ada masalah? Biar sekalian nanti barengan minta dibenerin." Xabiru mencoba mengelak seraya menyapu tengkuk lehernya yang ternyata memang basah karena keringat. Ia baru sadar ucapan ibunya benar. Ia berkeringat di dalam kamar yang sebenarnya AC-nya baik-baik saja. "Aman, dingin kok. Aira mana? Apa dia kepanasan di sana? Kalau bisa dicek sekarang s
"Ru, besok Ibu balik. Ada pekerjaan yang harus Ibu urus. Danar nggak bisa tangani, katanya harus Ibu." Bu Laila membuka percakapan kembali setelah suasana sempat dilanda hening sesaat. Ia baru saja menyesap kopi hitamnya di ruang makan. Sisi hati Xabiru lega mendengarnya. Artinya ia tidak harus berlama-lama dalam satu kamar apalagi berbagi tempat tidur bersama Aira. "Oh, iya Bu. Nggak papa. Ibu bisa berkunjung dan mampir menginap saja sudah senang.""Masa? Ibu tahu kok kamu kurang suka kalau Ibu mampir apalagi nginap. Iya kan? Ibu juga tahu rahasiamu." Sudut bibir Bu Laila tertarik ke atas. "Hah? Rahasia? Memangnya Biru ada rahasia apa?" pancing Xabiru mencari tahu. Xabiru juga bingung rahasia mana yang telah diketahui ibunya? Tentang hubungannya yang belum berakhir dengan Jasmin? Tentang perjanjian kontrak nikah bersama Aira atau tentang …."Nah, bengong! Iya kan? Pasti mikirin rahasia tersebut. Sudah, Ru, aku ini ibumu pasti tahu kapan anaknya berbohong dan kapan jujur." Bu Lail
"Ada apa dengan mereka, seperti ada sesuatu yang disembunyikan?" Bu Laila menelisik kedua anak dan menantunya yang sedang makan dalam diam. Sikap keduanya tampak berbeda. Biasanya suasana makan memang diam, tapi tak sesunyi ini. Apalagi sikap Aira yang sangat jauh berbeda. Lebih diam bahkan tak banyak gerak. Pertanyaanku juga dijawab singkat tak banyak kata. Aneh, pikir Bu Laila. "Bunda hari ini cantik sekali. Bunda temani Jingga kan ke sekolah seperti biasa?" Tatapan berharap dilemparkan Jingga pada Aira. Gadis kecil itu memastikan ibu sambungnya tetap mengantarkannya ke sekolah seperti biasanya. Ia takut Aira pergi ke tempat lain karena perubahan penampilan yang ditunjukkan Aira. Bu Laila ikutan tersenyum membenarkan pujian cucunya. Pagi ini menantunya memang berpenampilan lebih cantik. "Iya." Senyum dipaksakan Aira kala menjawab singkat. Kepalanya ikutan mengangguk. "Kamu cantik, Ai. Nah gini dong tiap hari. Biar Biru betah dan pengen cepat-cepat pulang." Bu Laila mencoba menc
"Sepertinya Jasmin marah. Raut wajahnya cemberut sedari tadi," pikir Xabiru saat beberapa kali mencuri pandang ke arah belakang dimana Jasmin duduk, lewat kaca spion di depannya. Xabiru sendiri bingung kenapa dia lebih menurut pada Jingga dan Aira daripada mementingkan perasaan Jasmin. Padahal bisa saja dari awal menolak perkataan Aira dan memilih pergi bersama Jasmin ke kantor. Namun entah kenapa tak dilakukannya. "Aunty, suka make lipstik warna merah ya?" Jingga memulai obrolan untuk mengalihkan perhatian Jasmin. Ia tahu sedari tadi wanita yang merupakan adik ibu kandungnya tersebut memperhatikan ayahnya dan mengabaikannya yang duduk bersebelahan. Ia tak suka melihat tatapan mesra yang ditunjukkan Jasmin pada ayahnya. Meski masih kecil dan kurang mengerti kehidupan orang dewasa, tapi ia tahu kalau dulu ayahnya menjalin hubungan spesial dengan aunty-nya tersebut. Ia tidak menyukainya tapi sulit untuk mengungkapkan hal tersebut pada Xabiru. Apalagi saat Jasmin mengatakan kalau k
Mobil yang membawa kami berempat akhirnya tiba di depan gerbang sekolah Jingga. Aira terpaksa turun karena biasanya memang menemani Jingga berjalan kaki sampai depan pintu masuk gedung sekolahnya. Terpaksa harus meninggalkan suami bersama wanita yang masih berstatus pacarnya itu berduaan di dalam mobil. "Ayo, Sayang. Bunda antar." Aira menyambut Jingga yang keluar dari mobil ayahnya. Gadis kecil dengan rambut dikepang dua tersebut tersenyum semringah sembari menyambut uluran tangan Aira. "Bun, kok ikut turun. Kenapa nggak diam saja temani Ayah di mobil." Jingga bertanya pada Aira disela mereka berjalan bergandengan tangan layaknya anak dan ibu. "Memangnya kenapa? Kan biasanya Bunda antar Jingga sampai depan pintu masuk," jawab Aira dengan raut bingung mendengar Jingga bertanya seperti itu. Namun meskipun begitu, senyumnya tak pudar pada gadis kecil tersebut. "Bunda nggak takut ninggalin Ayah sama Aunty J?" Aunty J adalah nama panggilan yang Jingga sematkan untuk Jasmin, tantenya
Aira mengulum bibir menahan senyum karena telah berhasil menyingkirkan Jasmin duduk di kursi depan bersama Xabiru. Syukurlah ia mempunyai ide dadakan saat melihat Jasmin berada di sana. Ia tahu Xabiru pasti meminta Jasmin pindah setelah mendengar kata ibu, mengira istrinya itu sedang berteleponan dengan ibunya. Mungkin takut diadukan. "Tadi Ibu yang telepon?" Xabiru bertanya setelah menyalakan starter mobil. Dugaan Aira benar, pasti suaminya akan menanyakan hal tersebut. "Iya," sahut Aira. Namun dalam hati ia memohon ampun karena terpaksa berbohong menggunakan nama ibu mertuanya. "Apa kata Ibu?" Xabiru penasaran, takut Aira menyampaikan hal yang tidak-tidak atau menceritakan tentang keberadaan Jasmin saat ini. Pertanyaan Xabiru memaksa Aira mendongak ke arahnya. Ada kemajuan suaminya bertanya lebih dari sekali. Biasanya setelah bertanya, itu adalah pertanyaan pertama dan terakhirnya. Lalu setelahnya diam atau pergi berlalu. "Hm, cuma nanya saja lagi apa, lagi dimana. Ya cuma it