Mata Aira terfokus ke sebuah pigura besar yang berada di dinding belakang tempat tidur. Potret kebersamaan Xabiru dan ibu kandungnya Jingga terlihat di sana. Sebuah foto pernikahan. Di sana keduanya tampak mesra dan bahagia. Senyum lebar Xabiru menjelaskan semua itu. Tidak seperti sekarang saat bersamanya. Aira mengingat saat mereka melakukan sesi foto prewedding. Xabiru tidak bisa senyum. Meskipun diminta beberapa kali dia seperti kesulitan untuk menarik kedua bibirnya keatas. Hingga fotografer pasrah dan membiarkan saja.
Tidak hanya satu foto tersebut. Masih ada beberapa foto keduanya terpampang di dinding dalam kamar Xabiru. Aira mengamati dengan hati berdenyut nyeri. Entah apa yang dirasakannya sekarang ini, cemburu? Etiskah jika dia cemburu pada sosok yang telah tiada?"Bun, kok diam. Ayo masuk!" Jingga menarik lagi tangan Aira memintanya melangkah kembali."I–iya." Aira terpaksa menuruti ajakan Jingga. Aira memperhatikan Xabiru yang mengambil satu bantal dari kasur dan meletakkannya ke sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Pak, kasur ini masih muat kok kalau ditiduri bertiga. Kenapa harus memilih tidur di sofa?" tanya Aira yakin melihat suaminya memindahkan bantal ke sana."Iya Yah. Kita tidur bertiga saja. Sambil peluk-pelukan, kayaknya seru." Jingga menimpali dengan polosnya. Baginya akan terasa menyenangkan kalau bisa tidur bersama ayah dan bundanya. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan."Nggak. Sesak. Ayah tidurnya nggak bisa diam. Takutnya malah ninju kamu atau nendang-nendang. Makanya Ayah pilih tidur sendiri. Sudah, kalian saja yang tidur di sana, biarkan Ayah di sini." Xabiru menolak dengan segera merebahkan badannya ke atas sofa dan meletakkan satu tangannya ke atas dahi untuk menutupi sebagian matanya yang sudah tertutup rapat. Ia mencoba tidur meskipun tidak bisa. Rasanya janggal tidur sekamar dengan wanita lain karena sudah terbiasa tidur sendiri. Itu yang saat ini dirasakannya. Bahkan ia sendiri tidak pernah tidur sekamar dengan anaknya. Ada Jingga saja sudah terasa berbeda apalagi dengan adanya Aira.Aira dan Jingga saling lirik sebentar dan terlihat perubahan seketika raut wajah Jingga mendengar pernyataan ayahnya barusan."Nggak papa Ayah nggak tidur disini, yang penting tidur di kamar Ayah kan?" bisik Aira pelan yang memahami perubahan wajah anaknya.Jingga mengangguk lemah. Meski tak mampu menghilangkan kesedihannya saat ini."Lagipula kan ada Bunda. Sini tidurnya Bunda peluk," bujuk Aira lagi menenangkan Jingga yang masih bermuram durja. Jingga tersenyum tipis dan lantas segera merangsek ke dalam pelukan Aira. Tangan Aira mengusap lembut punggung belakang Jingga hingga gadis kecil berumur lima tahun tersebut tertidur.Merasa Jingga telah terlelap ke dunia mimpi, Aira beringsut turun dari tempat tidur dan berjalan pelan menghampiri Xabiru."Tidurlah di sana, Pak. Biar Saya yang di sini," bisik Aira sudah mendudukkan bokongnya di atas sofa, tepat di sebelah badan Xabiru. Lelaki tersebut tampak terkejut melihat Aira berada di sampingnya. Seketika ia bangun dengan posisi duduk."Jingga sudah tidur?" Netranya menatap ke arah tempat tidur. Di sana tampak Jingga sudah tertidur sendirian.Tak ada jawaban dari Aira karena Xabiru bisa melihat sendiri bagaimana kondisi Jingga saat ini."Tidak. Kalian saja di sana. Aku di sini." Xabiru bersikukuh, ia menggeser badannya menjauhi Aira yang duduk di sebelahnya."Pak, bisakah malam ini saja Bapak tidur di sana menemani Jingga? Dia butuh ayahnya malam ini. Jangan pedulikan Saya jika itu penyebabnya, Saya yang akan tidur di sini." Sedikit berbisik lebih dekat, Aira meminta hal tersebut pada Xabiru. Ia sampai mencengkram tangan Xabiru guna mencegah laki-laki itu yang ingin rebahan kembali."Saya mampu tidur di manapun bahkan di lantai, Saya tak masalah," tambah Aira memelas sangat pada Xabiru. Ia hanya ingin menepati janjinya untuk membuat anak sambungnya tersebut tidur sekamar dengan ayahnya. Berharap satu ranjang. Tanpa menjawab, Xabiru melepaskan cengkraman tangan Aira dan pergi menuju kasur berukuran king tersebut. Melihat hal tersebut, Aira tersenyum lega. Ia yakin besok Jingga akan bangun dengan wajah ceria melihat ayahnya tidur di sampingnya."Tidurlah di sini, masih muat!"Deg! Aira terkejut bukan main mendengar perkataan pelan Xabiru. Ia yang ingin rebahan, urung dan segera menoleh ke asal suara, memastikan suara itu memang berasal dari orang yang barusan sah menjadi suaminya.Mata Xabiru melirik ke arah bantal kosong bawaan Aira dari kamarnya. Seolah menunjukkan kalau perkataannya barusan serius."Iya!" Dengan cepat Aira menjawab dan berjalan segera menuju tempat tidur. Ia pikir bukan saatnya untuk menolak. Siapa tahu ini awal baik untuk hubungan mereka kedepannya.Satu kamar satu tempat tidur.Gugup, itu yang dirasakan Aira tidur ditempat yang sama bersama Xabiru. Meski dibatasi Jingga yang berada di tengah diantara keduanya, tetap saja rasa itu tidak lenyap dari dadanya. Aira sampai membolak-balikkan badannya miring ke kanan dan ke kiri beberapa kali, atau menghadap ke arah depan seraya menatap langit-langit kamar, tapi tetap saja matanya tak mampu terpejam sungguhan. Xabiru pun merasakan hal yang sama, tapi laki-laki itu lebih mampu mengontrol badannya untuk tetap diam dan konsisten menghadap ke arah sebaliknya dari Aira. Itu salah satu caranya menghindari saling tatap dengan Aira.*** Aira mengerjapkan matanya pelan saat merasakan ada beban berat yang menindih atas badannya. Lalu matanya membola seketika saat melihat apa yang ada di hadapannya sekarang ini."Astaghfirullah!" jeritnya tertahan saat tahu apa penyebab yang menjadi beban berat di badannya.Tangan Xabiru. Laki-laki dingin itu sekarang sedang memeluknya erat. Wajah mereka sangat dekat hingga Aira memaksakan diri untuk tidak bernapas. Ia takut hembusan napas hangatnya membangunkan laki-laki tersebut. Beberapa kali ia menelan ludah saking gugupnya."Ya Allah, ternyata suamiku ganteng banget ya? Mimpi apa aku bisa jadi istrinya dan sekarang sedang dipeluknya seperti saat ini. Hangat." Aira bergumam senang dalam hati memuji dalam diam wajah tampan suaminya.'Astagfirullah, sadar Ra. Bukan waktunya mengagumi suami sendiri. Sekarang yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya lolos dari pelukannya dan menjauh segera darinya. Bisa-bisa nanti dia salah paham'. Aira tersadar dan tak ingin dituduh laki-laki tersebut cari kesempatan dan bersikap ganjen dengan tiba-tiba berbaring di sampingnya dan bertukar posisi dengan Jingga. Ia tak habis pikir bagaimana bisa berada di posisi tengah? Bukankah Jingga yang tidur di sini? Bagaimana caranya ia melewati badan Jingga?"Apa aku terbangun dan memindahkan badan Jingga ke sana, terus memilih berbaring di tengah?" pikir Aira dengan wajah kebingungan.'Masa sih? Kok aku tidak bisa mengingatnya?' Aira masih berusaha keras mengingatnya, tapi tak ada bayangan apapun tentang hal tersebut di benaknya.Tiba-tiba terasa pergerakan badan Xabiru. Hal tersebut makin membuat degupan tak beraturan jantung Aira. Ia bingung. Pelukan Xabiru sangat erat. Ia kesulitan melepaskan secara pelan. Jika dipaksa kasar maka Xabiru bisa terbangun. Namun kalau didiamkan saja, ia takut Xabiru marah padanya karena dianggap mencari kesempatan dalam kesempitan. Ia juga tidak mau dianggap wanita genit."Huaaa!" Xabiru menguap dan membuka matanya perlahan. Aira segera menutup matanya dalam mode pasrah berpura masih tidur. Tak ada pilihan lain. Ia rasa itu sudah pilihan terbaik."Eh," gumam Xabiru terkejut, refleks menjauhkan badan saat terbangun mendapati Aira berada disampingnya, dan bukan Jingga. Apalagi posisi keduanya yang sangat dekat. Ditambah tangannya yang memeluk Aira tanpa sadar. Ia kira itu adalah Jingga.Xabiru segera menarik tangannya dari badan Aira dan mengambil posisi duduk."Kenapa wanita ini bisa ada di tengah?" pikirnya kembali. Netranya menatap jam digital di atas nakas. Jam tersebut menunjukan pukul 04.10. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang."Ekhem. Ekhem." Xabiru berdeham keras berharap Aira terbangun. Rasanya enggan membangunkan wanita di sampingnya ini dengan sentuhan. Mendengar hal tersebut, Aira memutuskan berpura-pura baru saja terbangun dari tidurnya. Menggeliatkan badannya biar terkesan meyakinkan dan lalu …."Hah? Kok aku disini? Kok Jingga di sana?" akting Aira berharap Xabiru percaya. Laki-laki itu sedang menatapnya lekat. Aira tak tahu apakah laki-laki itu percaya atau sedang meragukan ucapannya barusan karena tak ada respon darinya. Datar saja."Sudah subuh, bangunlah. Aku mau mandi dulu." Tanpa menggubris kebohongan Aira, Xabiru malah memilih pergi menuju kamar mandi yang berada di kamarnya."Eh, gitu aja ya?" gumam Aira bingung. Ternyata tidak seperti dalam bayangannya barusan."Dasar laki-laki es kutub utara, nyebelin!"Kenapa harus Aira, Bu?" Xabiru bertanya saat Bu Laila memintanya untuk segera menikah dan orang yang dipilihkan 'tuk menjadi pasangannya, yaitu Aira, bukan Jasmin. Padahal saat ini ibunya tahu kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Jasmin. Anehnya malah menjodohkannya dengan Aira–babysitter anaknya yang bahkan asal usulnya saja tidak jelas. "Kamu sendiri tahu kan Jingga? Dia tidak bisa dekat dengan Jasmin. Malah dekatnya ke Aira."Xabiru tersenyum kecut. "Tentu saja Jingga dekat dengan Aira, dia pengasuhnya sejak kecil. Wajar, Bu. Sedang Jasmin baru lagi mencoba pendekatan dan Ibu sendiri tahu kalau Jingga itu susah dekat sama orang lain selain kita." Xabiru mencoba membela Jasmin, wanita yang sudah dipacarinya sejak setahun silam. "Nah, itu dia poinnya. Dekat sama Jingga. Kalau setahun saja dia susah mendekati Jingga, mau sampai kapan menunggunya? Ibu lihat juga tidak ada peningkatan. Lagi pula wajahnya tidak keibuan. Tidak seperti Aira yang masih sangat muda, tapi jiwa keibu
Aira, dan Xabiru sarapan pagi bersama dengan suasana yang kaku. Tidak ada pembicaraan diantara mereka kecuali Jingga yang sesekali berceloteh tentang kegembiraannya karena telah tidur sekamar dengan ayah dan bundanya. Ia juga mengaku berpindah posisi karena merasa sesak dipeluk ayahnya saat tidur. Mendengar hal tersebut Aira menoleh ke Xabiru, menatapnya lekat seolah menyatakan kalau bukan dia yang sengaja bertukar posisi jadi berada di tengah, tapi anaknya sendiri. Xabiru yang ditatap bersikap datar saja seakan membalas pernyataan Aira kalau dia tidak tertarik dengan fakta yang terjadi. Ia sudah menganggap angin lalu hal tersebut, seolah bukan hal yang penting. "Ini, tanda tanganilah!" pinta Xabiru setelah mereka selesai makan pagi dan hanya menyisakan keduanya di ruang makan. Jingga sudah berlalu pergi ke ruang tengah menonton tivi, tayangan kartun kesukaannya. Aira mendongak ke arah Xabiru sebentar lalu kembali fokus ke lembaran kertas di atas meja makan. Ada tiga lembar yang d
Aira tampak serius menuliskan poin-poin yang ingin ditambahkannya ke dalam surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Xabiru. Laki-laki yang duduk di seberangnya mengamati dengan lekat. "Tidak jelek. Dia cantik, dia juga baik, tapi … aku sungguh tidak mencintainya. Tidak ada perasaan itu untuknya. Bagaimana mungkin bisa menjalani pernikahan ini kalau tanpa cinta di hatiku? Maaf jika ini menyakitimu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Aku ingin kamu bahagia dan aku yakin itu bukan denganku." Xabiru mengungkapkan perasaan hanya dalam hati. Egonya terlalu tinggi untuk langsung mengucapkan hal tersebut pada wanita polos di depannya saat ini. "Maaf, poin satu saya coret. Saya rela disentuh Bapak karena status kita adalah suami-istri. Dosa jadinya kalau istri menolak hasrat suami. Terserah Bapak ingin menyentuh atau tidak, jika ingin, lakukanlah, saya takkan keberatan. Lagipula saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai seorang istri." Xabiru tercengang dengan pernyataan Aira
Seminggu sudah Xabiru dan Aira tinggal serumah setelah resmi menikah. Tidak ada perubahan dari hubungan keduanya selama tujuh hari tersebut karena perjanjian pernikahan baru dimulai tepat di hari ke delapan. "Bismillah, semangat Aira! Ayo kita mulai pertempuran ini!" Aira bicara sendiri di depan cermin di dalam kamarnya dengan penuh semangat. "Jangan sampai kalah," lanjutnya lagi menambahkan. Hari ini akan dimulai hubungan suami-istri sesuai isi perjanjian pernikahan yang telah disepakati Aira dan Xabiru. Tak ada pilihan karena itu keinginan suaminya. Banyak rencana yang sudah dipersiapkan oleh Aira dan ia berharap semua berjalan sesuai dengan rencananya. Pagi-pagi Aira bangun seperti biasanya. Beraktivitas subuh menjalankan ibadah, baru keluar kamar membersihkan rumah. Tidak ada asisten rumah tangga yang akan membantunya di rumah ini seperti di rumah ibu mertuanya karena dia sendiri yang menolak hal tersebut. "Kamu bisa membereskan rumah ini sendirian? Apa perlu asisten rumah
[Kamarku jangan diotak-atik. Biarkan saja begitu adanya.]Pesan dari Xabiru mengerutkan kening Aira. Awalnya Aira senang mendapatkan pesan pertamanya di ponsel baru yang telah diberikan Xabiru, dan itu dari suaminya, tapi bibirnya seketika manyun kecewa dengan pernyataan yang tertulis pada pesan tersebut. "Suamiku itu cenayang, ya? Dukun atau anak indigo? Kok dia tahu aku mau ke kamarnya?" Aira bergumam sendiri. Langkahnya yang mengarah ke kamar Xabiru terhenti sejenak. Lalu Aira berbalik arah menuju lantai bawah dengan langkah gontai. Semua sudut ruangan dan kamar di rumah ini sudah dibersihkan Aira, tinggal satu kamar saja yang belum dan itu kamarnya Xabiru. Kamar yang tampak suram karena dinding kamarnya berwarna monokrom hitam-putih. Seperti kamar laki-laki bujang yang belum menikah. Pikir Aira. Teng! Terdengar kembali dering pesan masuk di ponselnya. Aira yang duduk di sofa ruang tengah segera merogoh ponsel di saku celana. [Kenapa tidak dibalas?] Dari 'suamiku', nama yan
"Ibu?" Aira dengan cepat menghampiri wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat cantik di usia senjanya. Senyum merekah dilemparkannya ke arah wanita tua tersebut setelah berhasil menetralkan gemuruh keterkejutan dalam hatinya. Aira meraih tangan mertuanya dan mencium takzim punggung tangan yang mulai berkeriput tersebut. "Ibu kok datang mendadak? Pagi tadi nggak bilang bakal mau ke sini. Ibu sudah makan? Kalau belum biar Aira siapkan. Kebetulan kami baru saja selesai makan malam, Bu." Aira mencoba mengajak bicara Bu Laila. Menyambut dengan ramah dan hormat. "Tidak usah. Ibu sudah kenyang. Syukurlah kalau kalian sudah makan malam. Ibu mau ke kamar saja, capek di jalan menempuh waktu dua jam. Eh, tapi Ai, kamu kalau di rumah dasteran gini?" Tiba-tiba Bu Laila memindai penampilan menantu barunya. "Hah?" Ekspresi terkejut Aira keluar lagi. Belum apa-apa sudah dikomentari ibu mertua cara berpakaiannya. "Iya, Bu? Kenapa?" Refleks, Aira bertanya. Aira sempat memindai sebentar pe
"Kenapa jadi berantakan begini? Terus mau ditaruh dimana semua barangmu ini?" Xabiru berdecak kesal melihat barang Aira tersusun berantakan di kamarnya. Ia tak mengira kalau Aira asal letak saja barangnya tanpa menyusun dengan rapi seperti dalam benaknya. Mereka berdua telah berada di kamar Xabiru. Aira yang masih berdiri di depan pintu kamar, hanya menatap bingung pada barangnya. Sembari menggaruk kepala yang tentu saja tak gatal. "Mas kan cuma bilang taruh di kamar, nggak bilang disusun rapi. Lagi pula aku nggak tahu harus meletakkannya dimana. Ini kan kamar Mas, maksudnya menunggu Mas lihat dulu biar ngasih tahu aku harus meletakkannya dimana. Nanti kalau asal taruh, salah lagi." Aira membela diri. Ia tak mau disalahkan. Lagipula mana sempat meletakkannya dengan baik. Bukankah ia didesak untuk gerak cepat. Ada ibu mertua yang sedang menunggunya di bawah. "Ya sudah. Kopermu taruh di sana dulu. Peralatan tak jelas itu taruh saja di meja kerjaku." Xabiru menunjuk tas kecil berisi
Aira menggaruk kepalanya karena bingung apakah harus menuruti keinginan mertuanya atau abaikan saja. Toh, mau dikenakan atau tidak, Ibu mertuanya tidak bakalan tahu. Namun kalau tidak dituruti, lagi-lagi dia harus berbohong. Rasanya berat kalau membohongi orang tua, apalagi mertua. Bagaimanapun juga Aira sudah menganggap Ibu mertuanya sebagai orang tua sendiri. Ini juga yang menyebabkan Aira bersedia menikah dengan Xabiru. Bukan hidup nyaman yang jadi alasan utama Aira, tapi lebih kepada ingin mempunyai ibu mertua seperti Bu Laila. Dulu, selama kerja di rumah Bu Laila, ia diperlakukan dengan sangat baik oleh wanita paruh baya tersebut, meskipun Bu Laila bersikap sangat tegas tapi tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar. Tidak terlihat jenjang status sosial keduanya karena Bu Laila memang memperlakukan pekerjanya sebagai manusia. Bu Laila bukan tipe majikan yang asal memerintah dan gila hormat. Apa yang dimakan keluarga Bu Laila maka para pekerja disana ikutan merasakan. Sering