Misyel dan Sonya melangkah menuju ruang tamu, namun sesampainya ia di ruang tamu, Margaretha justru menatap Misyel dengan tajam. Terlihat jelas raut wajah penuh amarah, Sedangkan Misyel tertunduk karena merasa takut.
"Jadi gadis kurang ajar ini adalah anakmu?" pekik Margaretha.
"I-iya Nyonya. Apa ada yang salah."
"Heh, dia gadis yang tadi siang menabrakku dan berani melawanku, sekarang berharap menjadi menantuku. Cihhh! Sonya aku harap kamu tidak melupakan perkataan ku tadi siang?"
"Sa-saya tidak akan melupakan apa yang Anda katakan Nyonya," ucap Sonya gelagapan. Ia menatap Misyel. "Apa yang sebenarnya terjadi? apa yang kamu lakukan Misyel?"
"Mah, ma-maafkan Misyel. Misyel tidak tahu jika dia adalah Nyonya Margaretha."
Rudi yang sedari tadi diam pun ikut bicara. "Maaf Nyonya Margaretha, mungkin ada kesalahpahaman. Jika putri saya melakukannya kesalahan, mungkin karena dia tidak tahu siapa anda."
"Apa kamu pikir aku peduli alasan sampahmu dan semudah itu aku memaafkan?"
Rudi pun terdiam, ia tahu Margaretha tidak akan memaafkan kesalahan Misyel, dia tidak akan peduli kesalahan itu dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja.
Sonya yang sadar akan akibat dari semua ini pun langsung bersimpuh dan memohon di kaki Margaretha. "Nyonya Margaretha, saya mohon maafkan anak saya yang bodoh itu. Saya tidak mempermasalahkan jika Nyonya membatalkan niat Anda memilih Misyel. Tapi tolong jangan membuat saya berhenti dari pekerjaan saya."
Plakk!
"Beraninya kamu mengaturku. Seharusnya kamu tahu, jika aku sudah mengatakan sesuatu maka hal tersebut tidak akan pernah bisa berubah."
"Nyonya saya mohon maafkan saya," ucap Sonya memohon, kali ini dia memeluk erat kaki Margaretha. Namun Margaretha justru menarik rambut.
"Beraninya kau menyentuhku," ucap Margaretha sambil mendorong Sonya dengan kakinya hingga ia tersungkur di lantai. Rudi dan Misyel langsung menghampiri Sonya.
"Nyonya tolong maafkan ibu saya, ini salah saya."
Margaretha berdiri dan hendak menampar Misyel, namun dengan sigap tangannya di cegat Rudi. Melihat ada yang berani melawan majikannya, Haris pun maju. Ia menarik tangan Rudi menjauh dari Margaretha.
Bugg!
Sebuah pukulan melayang di wajah Rudi hingga tersungkur, dan cairan berbau anyir keluar dari hidungnya.
"Papah!" teriak Cindy yang baru saja tiba di rumah. Ia berlari ke arah ayahnya dan langsung memeluknya. "Pah, apa yang terjadi? Siapa mereka?" ucap Cindy.
"Siapa gadis ini?" hardik Margaretha.
"Dia, dia anak tiri saya Nonya," jawab Sonya.
Haris menyeringai. "Heh, bukankah waktu itu kamu bilang dia pembantumu?"
Sonya hanya tertunduk tanpa bisa menjawab apa-apa. Margaretha menatap ke arah Cindy yang tengah menyeka darah dari hidung ayahnya. Ia memperhatikan Cindy secara teliti.
"Aku akan membawanya," ucap Margaretha. Rudi yang mendengar pun langsung terbelalak kaget.
"Maaf Nyonya, tapi saya tidak bersedia jika Nyonya membawa Cindy," ucap Rudi.
"Aku tidak meminta keputusanmu. Dan jika kalian berani melawanku, maka bersiaplah kalian untuk hancur bahkan aku akan membuat kalian kehilangan segalanya. Haris! bawa gadis itu ke dalam mobil."
"Baik Nyonya."
"Tunggu, apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Cindy penuh kebingungan.
"Menurutlah jika kamu ingin keluargamu selamat," ucap Margaretha yang langsung berlalu keluar rumah.
Haris menghampiri Cindy dan menggenggam tangannya. "Apa yang kamu lakukan, lepaskan aku."
"Tuan, tolong jangan bawa Putri saya."
"Apa kamu tidak mendengar ucapan Nyonya Margaretha tadi!" hardik Haris. Ia mendorong tubuh Rudi dengan kakinya hingga tersungkur ke lantai kembali.
Haris berusaha menarik kembali tangan Cindy, namun Rudi memegangi kaki Haris untuk menghentikannya. "Kurang ajar!" pekik Haris. Ia langsung memukul Rudi tepat di bagian pelipis hingga tak sadarkan diri.
"Papah. Tolong jangan sakiti ayah saya."
"Diam dan menurut lah." Bentakan Haris tidak membuat Cindy merasa takut. Dia justru berusaha memberontak agar bisa menolong ayahnya.
"Lepaskan aku,"
Haris melepaskan tangan Cindy, seketika Cindy langsung berlari memeluk ayahnya. "Pah, sadarlah," ucapnya sambil berlinang air mata.
"Aahhh," pekik Misyel saat Haris menarik rambutnya. Sambil menatap Cindy dengan tajam, Haris pun mengucapkan sebuah ancaman. "Aku tidak bisa menyakitimu karena Nonya Margaretha menginginkanmu. Tapi jika kamu tidak menurut, maka aku akan menyakiti anggota keluargamu satu persatu bahkan aku bisa menghilangkan nyawa ayahmu dengan mudah."
"Cindy lakukan sesuatu," ucap Misyel yang menahan sakit. Cindy terdiam sambil memeluk tubuh sang ayah yang tak sadarkan diri. Karena merasa geram melihat Cindy yang masih diam, Sonya pun langsung berdiri menghampiri Cindy.
"Anak sialan, cepat bangun dan segera ikut Nyonya Margaretha," ucapnya. Ia menarik tangan Cindy hingga dengan terpaksa Cindy melepas pelukannya pada sang ayah.
"Mah, aku tidak bisa meninggalkan papah."
"Diam anak sialan. Apa kamu ingin kita berada dalam masalah." Terlihat jelas kini Sonya berada dalam keadaan takut dan marah, Haris hanya menatap mereka tanpa melepaskan rambut Misyel.
"Tuan, tolong lepaskan Putri saya, Cindy akan menurut dan ikut Anda bersama Nyonya Margaretha," ucap Sonya. Haris menyeringai dan melepaskan rambut Misyel sambil mendorong kepalanya. Sonya segera bergegas menghampiri Misyel yang merintih kesakitan.
Haris mendekati Cindy. "Ayahmu akan mati jika kamu membantah," ucapnya. Sekarang untuk menyelamatkan keluarganya, mau tidak mau Cindy harus mengikuti mereka. Setelah melihat anggukan Cindy, Haris menyuruhnya untuk segera ikut keluar dari rumah tersebut. Dengan air mata mengalir Cindy melangkahkan kakinya, ia menatap ayahnya yang mulai sadarkan diri di samping Sonya dan misyel, ia melihat sang ayah yang menangis melihat kepergiannya. Rudi pun hanya bisa melihat Cindy di bawa paksa tanpa bisa menghentikan semuanya. Apa yang bisa dia lakukan untuk melawan orang yang lebih kuat, usahanya Han akan sia-sia dan jika dia tetap melawan yang ada hanya akan menyiksa semua anggota keluarga. Dia tahu betul bagaimana keluarga Adam.
"Tuan, saya akan di bawa kemana?"
"Diamlah dan segera masuk ke dalam mobil."
Haris membuka pintu mobil dan menyuruh Cindy untuk masuk kedalamnya. Cindy duduk di kursi depan sementara Margaretha berada di kursi belakang. Tanpa menoleh kebelakang Cindy terus menunduk sambil berlinang air mata. Entah kemana mereka akan membawanya dan entah apa yang akan terjadi padanya, saat ini rasa takut menyelimuti hati Cindy, ia benar-benar tidak mengenal siapa orang yang bersamanya saat ini, tapi apa yang ia lihat tadi di rumahnya membuatnya merasa amat takut.
Mobil melaju kencang menembus keramaian kota. Debaran jantung karena takut seakan menyiksa. Beribu pertanyaan memenuhi pikiran. Namun ketakutan memaksa untuk diam.
Cindy menatap rumah megah bagaikan istana, matanya tak berhenti memandang saat mobil mulai memasuki pintu gerbang. Ini adalah pertama kalinya ia melihat kemegahan sebuah rumah. "Kenapa mereka membawaku ke sini?" batinnya.
"Turunlah," ucap Haris. Ia keluar terlebih dahulu membukakan pintu untuk Margaretha. Sementara Cindy dengan tubuh yang masih sedikit gemetar berusaha turun dari mobil. Ia mengikuti langkah Margaretha dan Haris memasuki rumah tersebut.
"Mom, kalian sudah kembali?" ucap seorang pria dengan tubuh yang terlihat sempurna. Cindy menoleh ke arah suara, namun perasaan takut semakin menjadi saat ia melihat tatapan tajam yang mengarah kepadanya.
Cindy langsung menundukkan kepalanya dan hanya bisa bergumam dalam hati. "Siapa dia? mengapa tatapannya sangat menakutkan?"
"Apa pak Haris yakin?" tanya Brian menyelidik."Kita bisa melihatnya langsung tuan."Brian nampak berfikir sejenak. "Kita pergi sekarang," ucapnya sambil berdiri lalu melangkah diikuti Haris. Langkah Brian terhenti kembali lalu menoleh ke arah Cindy yang saat ini bibirnya bisa di ikat. Brian menyunggingkan senyum dan kembali menghampiri Cindy.Cup…Kecupan di pipi mengagetkan Cindy. "Tunggu aku di rumah sayang," ucap Brian sambil mengacak rambut Cindy dan kembali melangkah meninggalkannya.Cindy melirik kepergian Brian sambil menggerutu. "Menyebalkan. Apa mungkin aku harus selamanya seperti ini? Menjadi istri tapi tidak di hargai." Cindy menarik nafasnya lalai membuangnya. "Ah, Cindy. Apa yang kamu harapan dalam pernikahan yang hanya terjadi karena maksud tertentu? Jika kamu di sepelwkan dan suamimu ingin menikah lagi, itu adalah hal yang sangat wajar. Karena kamu memang bukan orang yang di inginkan," gerutunya pada diri sendiri.Cind
Tanpa banyak pikir, cindy mencari bi Atik dan mengatakan apa yang Brian katakan. Ia naik ke kamar menemui Brian."Sudah kamu katakan sama bi Atik?" tanya Brian saat Cindy masuk kedalam kamar. Cindy hanya mengangguk, ia duduk di kursi depan meja riasnya sambil menatap ke arah Brian, yang tengah mengotak-atik ponselnya di tepi ranjang. "Jangan terus menatapku." Ia menoleh ke arah Cindy. "Jika ingin menciumku, datanglah mendekat," ucap Brian sambil mengangkat alisnya.Seketika Cindy membuang mukanya saat mendengar ucapan Brian. "Aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk hal itu."Brian menyeringai lalu ia duduk menghadap Cindy. "Cindy, apa kamu masih menganggapku sama seperti dulu?" tanyanya."Bukankah memang kamu masih sama seperti dulu?" Jawab Cindy.Brian mengerutkan dahinya. Ia melipat kedua tangannya sambil menatap Cindy. "Kamu benar-benar gadis yang tidak peka."Cindy melirik ke arah Brian. "Apa maksudmu?"Brian mendorong jidat Cindy.
"Lepaskan aku…!" teriak Misyel. Ia memberontak saat anak buah Brian menyeretnya."Kamu tidak apa-apa?" tanya Brian pada Cindy.Cindy menggelengkankepalanya, ia benar-benar tidak tahu kenapa ibu dan adik tirinya menjadi seperti itu. Cindy menatap Brian. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Aku hanya menyuruh mereka meninggalkan rumah ini, bukan kah itu yang kamu inginkan?" Jelas Brian."Aku tidak pernah menginginkannya hal itu.""Kamu menginginkannya, hanya saja kamu tidak tega untuk melakukannya sayang," ucap Brian pada Cindy. Itu adalah kenyataannya, tapi mana mungkin Cindy bisa mengusir mereka sedangkan hatinya tidak mungkin tega, meskipun mereka begitu jahat terhadapnya."Tapi kemana mereka akan pergi…?" Cindy menoleh ke arah Misyel yang masih memberontak. "Biarkan mereka tetap di sini.""Tidak. Mereka harus pergi dari rumahmu ini. Dan itu adalah keputusan. Tentang dimana mereka akan tinggal, kamu tidak p
Plaaak…. Plaaak….Tamparan melayang dengan cepat, mendarat di pipi masing-masing."Apa kalian sudah puas menghinanya?" ucap Brian sambil menatap tajam kearah Megi dan Mila."Tu-tuan, maafkan kami.""Haris…, pecat mereka berdua," ucap Brian."Tuan, tolong jangan pecat kami, kami mengaku salah, kami mohon maafkan kami," ucap Megi."Kalian pikir segampang itu aku memaafkan kalian?" ucap Brian sambil menyeringai.Mila mendekati Cindy. "Nona Cindy tolong maafkan kami. Aku sangat membutuh pekerjaan ini untuk biaya perawatan adikku. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini," rengeknya. Ia kemudian bersimpuh di hadapan Cindy dengan tangannya yang tetap mendengarnya tangan Cindy."Bangunlah," ucap Cindy. Ia berusaha melepaskan tangan Mila, namun mila dengan erat masih menggenggamnya."Jauhkan tanganmu darinya atau aku akan menyuruh Haris untuk memotongnya," ucap Brian. Mata Cindy terbelalak mendengarnya, begit
"Aku tidak menghinanya, bagaimanapun juga dia adalah ibu mertuaku, orang yang membuatku merasakan bagaimana bisa hidup dengan kemewahan," ucap Cindy. Ia mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Jangan membuat selera makanku hilang. Hari ini aku sengaja membawamu makan di tempat ini, agar kamu tidak merasa dilupakan.""Kamu melakukannya untukku?""Memang siapa lagi? bukankah di sini hanya ada kamu." Brian menatap cindy yang tengah menggigit bibirnya. "Cepatlah makan sebelum makanannya menjadi dingin," imbuh Brian.Mereka pun akhirnya menikmati makanan tanpa bersuara. Meski dengan rasa kesal, Cindy masih bisa menikmati makanannya."Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Brian."Aku ingin pulang.""Aku tidak bertanya, apa kamu ingin pulang atau tidak. Jika tidak ada tempat yang ingin kamu datangi, maka kita kembali ke kantor" ucap Brian."Aku tidak mau kembali ke kantor.""Kenapa?""
"Apa pedulimu? Bukankah, kamu juga suka menghinaku?" jawab Cindy.Brian menatap cindy. "Kau tahu, tidak ada yang boleh menghinamu selain aku. Jadi katakan saja siapa orangnya.""Lupakan saja, lagipula mereka menghinaku karena tidak tahu jika aku adalah istrimu." Brian melirik saat mendengar jawaban Cindy, lalu ia kembali ke pekerjaannya. "ada apa sebenarnya kamu memintaku datang kemari?" tanya Cindy."Aku sudah menjawabnya tadi." Cindy hanya memutar bola matanya. Brian menoleh ke arah Cindy yang nampak termenung. "Apa yang kamu pikirkan.""Tidak ada."Brian menutup semua berkas di mejanya, ia berdiri lalu melangkah mendekati Cindy. "Ayo," ucapnya."Kemana,""Ini sudah siang, apa kamu tidak lapar?""Sedikit."Brian mengulurkan tangannya, namun Cindy justru mengerutkan dahinya. "Kenapa malah diam? Cepatlah, aku masih banyak pekerjaan."Cindy pun akhirnya menerima uluran tangan Brian. "Kita ak