Share

Upik Abu

Cindy langsung menundukkan kepalanya dan hanya bisa bergumam dalam hati. "Siapa dia? mengapa tatapannya sangat menakutkan?"

Dialah Brian Adam, sang Casanova yang arogan anak satu-satunya keluarga Adam kesayangan Margaretha. Pria yang akan menikah dengan Cindy hanya untuk menutupi berita buruk tentangnya di media.

"Jadi ini wanita pilihan Mommy," ucapnya sembari mendekati Cindy. Sedangkan Cindy masih tertunduk takut.

"Ya. Mamah rasa hanya dia yang pantas."

Brian menyeringai. "Apa tidak ada wanita yang lebih cantik darinya? lihatlah gadis jelek ini, dia hanya seorang Upik abu. Mana pantas dia berdampingan denganku," ucap Brian dengan tatapan mengejek.

"Yang kita butuhkan saat ini adalah gadis penurut, bukan wanita cantik. Bukankah kita membutuhkannya hanya untuk memperbaiki imej kamu yang sudah tercemar itu? jika kamu menginginkan wanita cantik, pergi cari dan dapatkan sebelum perjanjian jumpa pers tiba. Dan ingat acara pernikahan akan dilakukan sebelum acara itu terjadi."

"Baiklah Mom. Jika mom menyuruhk mencari, lebih baik aku akan menikah dengan si Upik abu ini."

Cindy yang masih tertunduk merasa teramat kaget mendengar pembicaraan mereka, ia pun hanya bisa bergumam dalam hatinya, ''apa? menikah. Apa yang sebetulnya terjadi, kenapa aku harus menikah dengan pria yang terlihat mengerikan ini?"

Margaretha menarik dagu Cindy kasar. "Apa kamu hanya bisa diam dan menundukkan wajahmu terus?"

"Maaf Nyonya," jawab Cindy lirih. Margaretha menghempaskan dagu Cindy.

"Kamu lihat Brian. Kita akan lebih mudah mengendalikannya."

"Ok. Terserah Mom saja mau bagaimana mengaturnya. Aku akan pergi dulu. Bye mom."

Margaretha hanya menatap Brian yang sudah berlalu. Ia lalu duduk di sofa menyilangkan kedua kakinya.

"Apa kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Margaretha yang langsung di jawab gelengan kepala oleh Cindy. "Kamu akan menikah dengan Brian. Tapi ada beberapa peraturan yang harus kamu patuhi."

"Tapi saya belum bersedia menikah Nyonya."

"Apa menurutmu aku memberikan pilihan untukmu?" Cindy diam dan takut untuk berbicara. "Kamu harus menikah dengannya untuk memulihkan imejnya yang buruk karena gosip publik. Selama menjadi istrinya kamu harus mengikuti peraturan yang akan aku sediakan. Dan jika kamu melakukan kesalahan maka keluargamu lah yang akan menanggung akibatnya. Apa kamu mengerti?"

Cindy masih diam karena dipenuhi kebingungan, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Hatinya penuh tanda tanya, entah mengapa ia bisa tiba-tiba harus menikah dengan Brian. Seorang pria dari keluarga kaya yang terkenal dengan sifat playboy dan kejamnya.

"Ahhh," rintih Cindy. Ia merasa kaget dan kesakitan karena tiba-tiba Margaretha sudah berada di dekatnya dan langsung menarik rambutnya.

"Aku tidak suka dengan orang yang pura-pura tuli. Apa kamu mendengar semua yang aku ucapkan tadi?" Seketika Cindy menganggukkan kepalanya. "Bagus." Margaretha melepaskan rambut Cindy sambil menghempaskan kepalanya.

"Aku tidak suka ditentang. Jadi, apa yang sudah menjadi keputusanku maka semua harus menurutinya. Termasuk kamu dan keluargamu."

"Baik Nyonya," jawab Cindy.

"Atik!" teriak Margaretha memanggil pelayanannya. Sang pelayan yang bernama Atik dengan langkah tergesa-gesa menghampiri Margaretha. "Tunjukan kamar untuk gadis ini dan siapkan keperluannya."

"Baik Nyonya," jawab Atik sambil membungkukkan badannya. Margaretha pun berbalik badan dan meninggalkan mereka. Setelah yakin majikannya telah berlalu, Atik menatap gadis yang ada di sampingnya. "Nama Nona siapa?"

"Jangan panggil nona, cukup panggil Cindy saja Bu," jawab Cindy sopan pada wanita paruh baya di hadapannya.

"Nona Cindy jangan panggil saya dengan sebutan Ibu, saya cuma pembantu di sini, jadi panggil nama saya saja Atik. Mari Nona Cindy saya tunjukkan kamar Anda."

Cindy mengikuti langkah Atik menuju kamar tamu. "Terimakasih Bu, tapi tolong jangan panggil saya dengan sebutan nona, saya merasa tidak nyaman."

Setelah masuk kamar, Atik melihat sekeliling. Setelah ia yakin tidak ada orang Atik langsung menatap Cindy dengan tatapan iba. "Apa kamu yang akan menikah dengan tuan Brian?" Cindy mengangguk mendengar pertanyaan Atik. "Kasihan sekali kamu. Kamu harus kuat menghadapi keluarga ini ya. Dan jika ada mereka ,kamu harus berusaha berbicara sesuai apa yang menjadi aturan mereka. Seperti halnya mereka tidak suka memanggil seorang pembantu dengan sebutan Mba, Bu atau sebagainya, mereka mengharuskan semua anggota keluarga dan kerabat memanggil kami cukup nama saja."

"Tapi kenapa, Anda kan lebih tua dari saya. Sudah seharusnya saya bersikap sopan pada Anda."

"Menurutlah demi kebaikan kita semua Nak. Sekarang beristirahatlah." Atik mengelus pipi Cindy lalu keluar dari kamar tersebut.

Cindy duduk di tepi ranjang sambil berlinang air mata, ia membaringkan tubuhnya di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Ia mengingat ayah dan mengkhawatirkan keadaannya. Tanpa terasa mata lelahnya mulai terpejam.

Brakk!

Suara benda jatuh di luar kamar mengagetkan Cindy, ia bangun dan membuka pintu kamar untuk melihatnya. Ia melihat dari arah pintu seorang pria dengan langkah sempoyongan berjalan ke arahnya. "Tuan Brian?" gumamnya saat melihat jelas wajah Brian.

Brian menatap kearah Cindy dan melangkah ke arahnya dengan sempoyongan. Cindy buru-buru menutup pintu saat Brian menuju kearahnya.

Brakk

Pintu terbuka secara paksa sebelum Cindy sempat menguncinya, ia pun tersungkur ke lantai karena kerasnya dorongan pintu yang di buka paksa oleh Brian.  Cindy berusaha bangun dan mundur, entah mengapa dia merasa takut melihat mata Brian yang tengah menatap tajam ke arahnya.

"Tuan, ini sudah hampir pagi, sebaiknya Anda segera beristirahat," ucap Cindy memberanikan diri.

Brian terus mendekati Cindy, dan tiba-tiba tangan Cindy di tarik ke pelukannya. Nafas yang tercium jelas aroma minuman keras seakan menusuk hidung Cindy, dan keringat dingin mulai mengalir.

"Heh, Upik abu sepertimu akan jadi istriku. Aku penasaran dengan rasanya, tapi apa mungkin aku bisa menikmatinya, sedangkan melihat tubuh menjijikkan seperti ini saja aku sudah mual?" ejek Brian.

Brugg!

Brian mendorong tubuh Cindy hingga terjatuh ke lantai, belum sempat Cindy bangun Brian sudah mensejajarkan tubuhnya dan mencekik leher Cindy. "Uhk, uhk, uhk. Tuan tolong lepaskan saya," rintih Cindy berusaha melepaskan tangan Brian.

"Ahh." Tidak berhasil melepas tangan Brian yang tengah mencekiknya, tapi justru ia harus menahan sakit karena Brian semakin mendorong kepalanya ke lantai.

"Dengarkan aku Upik abu, kamu memiliki sebuah keberuntungan yang langka untuk menyandang status sebagai istriku. Tapi jangan berharap statusmu merubah siapa dan darimana kamu berasal. Cuiiiih." Brian meludah di samping wajah Cindy. Ia melepaskan tangannya dari leher Cindy dan berdiri. "Ingat baik-baik di otakmu apa yang aku katakan tadi Upik abu."

Brian melangkah keluar kamar tamu dimana Cindy beristirahat. Sementara Cindy masih meringkuk di lantai yang dingin sambil berlinang air mata. Rasa sakit dan rindu pada sang ayah membuatnya semakin merasa teramat sedih. Ia Pun terlelap di lantai hingga menjelang pagi.

***

Cindy membuka pintu kamar dan melihat sekeliling, dengan langkah pelan dan hati-hati ia berjalan menuju dapur. Beberapa pelayan tengah memasak dan menyiapkan keperluan di dapur, ia mencari sosok Atik di antara mereka. Cindy berdiri di ambang pintu dapur dengan rasa cemas, ia takut jika tiba-tiba Brian datang tanpa dia ketahui.

Deg

Jantung Cindy seakan copot saat tangan seseorang menggapai pundaknya dari belakang, bahkan untuk menoleh pun ia tidak bisa memberanikan dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status