'Revan? benarkah itu dia?' batin Cindy. Ia menatap kearah teman SMA-nya dulu.
"Sayang, ayo duduklah," ucap Brian lembut. Ia menuntun Cindy kearah kursi yang sudah di sediakan. Cindy pun tersenyum dan menuruti perkataan Brian.
Cindy duduk di antara Brian dan Margaretha. Ia merasa gugup, karena ini adalah pertama kalinya ia berada di depan banyak kamera yang mengarah kepadanya.
"Baiklah, sekarang silahkan kalian mulai bertanya, Brian dan menantuku Cindy akan menjawab setiap pertanyaan dari kalian," ucap Margaretha pada wartawan.
Seorang wartawan pun mulai bertanya. "Nyonya Margaretha, saya ingin bertanya pada Anda," ucapnya.
"Silahkan."
"Menurut berita, menantu Anda ini berasal dari keluarga yang jauh berbeda dari keluarga Adam yang kita kenal selama ini. Tapi kenapa Anda memilihnya sebagai menantu Anda?"
"Itu karena mereka saling mencintai, dan aku tidak mempedulikan hal semacam itu," jawabnya sambil tersenyum ke arah wartawan te
"Iya Nyonya, tapi saya sudah lama tidak berhubungan dengannya, dan ini kali pertamanya saya bertemu dia kembali setelah lebih dari empat tahun," jawab Cindy."Bagaimana dia bisa berada di sana dan mengetahui semuanya?""Saya tidak tahu.""Benarkah kamu tidak mengetahuinya?" ucap Margaretha. Ia melangkah mendekati Cindy. "Itu berarti ini adalah ulah keluargamu."Cindy langsung mendongakkan wajahnya dan menatap kearah Margaretha. "Tidak mungkin Nyonya, mereka tidak mungkin melakukan hal yang membahayakan mereka sendiri," ucapan."Lalu katakan bagaimana dia bisa ada di sana."Cindy tidak bisa me
Cindy mengambil ponselnya yang ia simpan dalam lemari dekat ranjangnya. Ia mencoba menghubungi ayahnya, namun berulang kali panggilan yang ia lakukan tetap tidak bisa menghubungi ayahnya."Kenapa nomornya tidak aktif terus?" gumamnya. Ia lalu mencoba menghubungi adik tirinya. Beberapa kali nada panggilan akhirnya Misyel mengangkatnya."Ada apa kamu meneleponku?" ucap Misyel dari dalam sambungan."Aku ingin tahu keadaan papah.""Apa kamu sudah tidak bisa menelponnya sendiri?""Nomornya tidak aktif terus. Aku mengkhawatirkan karena pak Haris sedang pergi untuk menemuinya.""Pak Haris? Hmm, bukankah d
Cindy berdiri, ia melangkah menghampiri Brian. "Bukankah aku sudah memintamu, untuk membujuk ibumu agar tidak menyakiti ayahku?" ucapnya."Ya, aku sudah melakukannya.""Tapi kenapa ibumu masih menyakiti ayahku?""Aku sudah membujuknya. Tentang dia melakukan atau tidak, itu adalah keputusannya. Sekarang aku akan menagih ucapanmu tadi siang," ucap Brian. Ia membelai wajah Cindy, namun dengan cepat Cindy menampiknya. Brian mengerutkan dahinya dengan mata yang menyipit."Apa itu arti dari penolakan?" ucap Brian.Cindy menatap berani ke arah Brian. "Ya. Aku tidak mau lagi melayanimu. Selama ini aku melakukan semuanya karena terpaksa dan demi ayahku. Tapi s
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" ucap Cindy."Maaf Nona," jawab Haris. Ia sedikit membungkukkan badannya, lalu melangkah hendak menuju keruang kerja."Tunggu," ucap Cindy membuat Haris menghentikan langkahnya. "Surat kabar itu mau dibawa kemana?""Keruang kerja Nyonya besar, Nona.""Bisakah aku melihatnya?"Haris terdiam, perasaan yang bercampur membuatnya mematung, ada rasa bingung dengan perilaku Cindy yang berubah sebegitu cepatnya, dan bingung dengan permintaannya. Memang hanya sebuah surat kabar, tapi itu hal yang tidak biasa jika ia meletakkannya, bukan di tempat kerja Margaretha seperti biasanya.
"Aku rasa dia mulai memiliki keberanian," ucap Margaretha sambil menatap pintu ruang kerja yang sudah tertutup.Saat Cindy keluar dari ruang kerja, dalam waktu yang sama, Brian pun tengah menuruni anak tangga. Brian menatap kearah Cindy penuh keterkejutan. "Kamu terlihat berbeda pagi ini?" ucap Brian.Cindy menghentikan langkah kakinya, ia menatap kearah Brian yang masih berdiri di tangga menatapnya. "Benarkah?" ucap Cindy balik bertanya.Brian melanjutkan langkahnya, lalu ia menghampiri Cindy. Matanya menatap Cindy dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. "Kamu terlihat cantik dan menggoda pagi ini," ucap Brian sambil mengelus dagu Cindy."Bukankah aku memang selalu terlihat cantik," ucap Cindy sambil menyingk
"Jalan-jalan menghilangkan bosan," jawab Cindy."Hanya itu?""Tidak.""Lalu?""Aku ingin kamu membelikan sebuah ponsel baru untukku." Brian menyipitkan matanya. Cindy mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pada Brian. "Lihatlah. Apa pantas, seorang istri Brian Adam yang terkenal dengan kekayaannya, hanya memiliki ponsel butut seperti ini?""Jangan jadikan itu sebagai alasan. Katakan saja apa sebenarnya maumu.""Mauku hanya keluar mencari sedikit kesenangan dan sebuah ponsel baru, yang bisa aku pakai untuk menghilangkan bosan saat ada di rumah ini. Cukup jelas bukan?"
Brag! Brian menutup pintu mobil secara keras, membuat Cindy kaget.Akhirnya Cindy pun ikut turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi sambil bergumam. "Dasar aneh, di tanya bukannya jawab malah emosi." Cindy menghampiri Brian yang tengah kesal sambil menendang roda mobilnya yang ternyata bocor."Untuk apa kamu ikut turun?" tanya Brian jutek."Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi.""Sekarang kamu sudah tahu, apa kamu akan membantu?""Aku bukan tukang ban bocor.""Terus untuk apa kamu ikut keluar?"Cindy menatap Brian. "Karena saat aku
Brian membawa mobilnya dengan laju yang membuat Cindy ketakutan."Bisakah kamu pelankan mobilnya?" ucap Cindy yang mulai mengeluarkan keringat dingin. "Kita bisa mati," ucapnya kembali. Brian tidak mempedulikan ucapan Cindy, dan terus mengemudi dengan cepat menantang bahaya.Tin tin tinBrian membunyikan klakson mobil saat gerbang terbuka dengan pelan. Para pengawal segera membuka dengan cepat, belum sempat pintu Gery terbuka sepenuhnya, Brian langsung menggerakkan mobilnya hingga hampir menyerempet salah satu penjaga."Apa kamu tidak bisa berhati-hati? Kamu hampir saja membunuhnya," ucap Cindy. Brian masih tidak memperdulikan ucapan Cindy. Setelah mobil berhenti, Brian segera turun.