Brag! Brian menutup pintu mobil secara keras, membuat Cindy kaget.
Akhirnya Cindy pun ikut turun dari mobil untuk melihat apa yang terjadi sambil bergumam. "Dasar aneh, di tanya bukannya jawab malah emosi." Cindy menghampiri Brian yang tengah kesal sambil menendang roda mobilnya yang ternyata bocor.
"Untuk apa kamu ikut turun?" tanya Brian jutek.
"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi."
"Sekarang kamu sudah tahu, apa kamu akan membantu?"
"Aku bukan tukang ban bocor."
"Terus untuk apa kamu ikut keluar?"
Cindy menatap Brian. "Karena saat aku
Brian membawa mobilnya dengan laju yang membuat Cindy ketakutan."Bisakah kamu pelankan mobilnya?" ucap Cindy yang mulai mengeluarkan keringat dingin. "Kita bisa mati," ucapnya kembali. Brian tidak mempedulikan ucapan Cindy, dan terus mengemudi dengan cepat menantang bahaya.Tin tin tinBrian membunyikan klakson mobil saat gerbang terbuka dengan pelan. Para pengawal segera membuka dengan cepat, belum sempat pintu Gery terbuka sepenuhnya, Brian langsung menggerakkan mobilnya hingga hampir menyerempet salah satu penjaga."Apa kamu tidak bisa berhati-hati? Kamu hampir saja membunuhnya," ucap Cindy. Brian masih tidak memperdulikan ucapan Cindy. Setelah mobil berhenti, Brian segera turun.
Cindy berusaha mencari di saku celananya dan di paper bag. "Tidak ada?" Cindy berfikir sejenak, ia mencoba mengingat dimana terakhir kalinya ia melihat ponsel lamanya. "Aku rasa ponselku ada di saku celana sejak dari taman, dan aku tidak mengeluarkannya. Bagaimana bisa tidak ada? apa mungkin terjatuh di mobil monster itu?" gumamnya.Cindy menatap ponsel barunya. "Bahkan aku tidak tau bagaimana cara menggunakan ponsel baru ini. Huft." Cindy mendengus kesal. Ponsel lamanya memang lebih mudah digunakan, karena hanya memiliki fitur untuk telepon dan sms saja, sedangkan camera pun tidak sejernih ponsel barunya. Tentu saja dia bisa memiliki ponsel pun, karena ayahnya yang masih peduli."Bagaimana caranya aku mencari informasi dengan ponsel ini. Cindy, kenapa kamu sebodoh ini? seharusnya kamu bisa lebih cerdas sedikit," Cindy menyalahkan di
Atik masih terdiam dalam kebingungannya. Sebenarnya, hatinya ada rasa ingin bercerita pada Cindy, tentang Marsya dan tentang pernikahannya yang hanya untuk menutupi aib buruk keluarga ini. Tapi hatinya juga memiliki rasa takut, jika apa yang akan dia lakukan justru menaruhnya dalam bahaya."Aku tidak akan memaksa jika Bu Atik tidak berkenan untuk bercerita.""Maafkan saya Nona Cindy.""Tidak masalah, akupun mengerti alasannya," Cindy tersenyum kearah Atik. Ia lalu berdiri dari duduknya."Nona Cindy, apa tuan Brian menyakiti Anda lagi?" tanya Atik dengan mata yang mengarah ke lengan Cindy, dimana ada bekas luka yang terlihat sangat jelas."Ya. Dan mungkin la
"Apa yang sedang Anda lakukan Nona?" Suara Rini membuatnya Cindy menoleh ke arahnya. Rini membawa baju bersih untuk di bawa ke lantai atas, ia menatap Cindy yang berdiri di tengah jalan. "Jika Anda tidak tau tujuan anda, tolong biarkan saya lewat," ucap Rini kembali.Cindy melihat Rini terlalu berani, dan sedikitpun tidak menghargainya. Cara bicara Rini terdengar sinis, dan terkadang ia meremehkan Cindy. Memang Cindy hanya istri Brian, yang posisinya hanya sementara. Tapi bukan berarti dia bisa bertindak tidak sopan pada Cindy.Cindy menghadap kearah Rini, ia melipat kedua tangannya sambil menatap pelayan di hadapannya. "Jika kamu mau ke atas silahkan. Aku rasa jalan ini cukup luas untuk kamu lalui," ucap Cindy.Rini hanya menyunggingkan senyumannya, lalu melangkah hendak me
Margaretha mendengus kesal. "Marsya mengundur kepulangannya." Brian pun seketika terkejut saat mendengar jawaban ibunya."Kenapa.""Entahlah. Kalau begini caranya, kita yang akan kerepotan," ucap Margaretha. Ia duduk sambil bersandar dan melipat kedua tangannya.Brian menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan ibunya. "Kenapa mamah harus secemas itu, jika hanya karena dia mengundurkan kepulangannya?"Margaretha menatap Brian. "Apa mamah tidak salah dengar, kami bertanya tentang hal itu?""Lalu apa yang harus kita lakukan? memaksanya untuk segera pulang? itu tidak mungkin kan?" Margaretha terdiam, karena memang benar apa yang dikatakan Brian. "Sudahlah mah,
Meski merasa ragu dan bimbang, Cindy akhirnya memutuskan untuk naik ke kamar Brian. Ia menaiki tangga penuh dengan rasa ragu, melangkah perlahan menghampiri pintu kamar Brian.Tok tok tokCindy mengetuk pintu secara perlahan. Ia kembali mengetuk namun tetap tidak ada jawaban. "Apa aku turun saja?" batin Cindy. Ia pun mulai melangkah meninggalkan kamar Brian.Bug BugTerdengar suara tembok yang dipukul secara keras, Cindy menghentikan langkahnya saat mendengar suara tersebut, ia kembali melangkah menghampiri pintu dan mencoba mengetuknya kembali.Tok tok tokKali ini tidak perlu menunggu lama, pintu
Cindy kembali berbaring di samping Brian, dan membiarkan Brian memeluknya. Ia kembali memejamkan matanya dan melanjutkannya tidurnya.Brian membuka matanya, ia sedikit merasa kaget saat mendapati tangannya yang memeluk Cindy, ia menatap wajah Cindy yang masih terlelap."Gadis ini membuat aku merasa nyaman," batinnya. Ia menyunggingkan senyumnya lalu kembali memejamkan matanya.Tak lama kemudian Cindy menggeliat dan membuka matanya, ia tidak merasa kaget saat tubuhnya ada dalam pelukan Brian, dia masih ingat apa yang terjadi semalam. Cindy menolej ke arah Brian yang masih terlelap, perlahan ia menurunkan tangan Brian lalu turun dari ranjang, ia melangkah menuju kamar mandi.Cindy membasuh wajahnya, lalu menatap
"Bi Atik, kenapa diam? apa benar semua itu?" Brian bertanya kembali dengan tatapan menuntut."Tuan, saya tidak berani bicara tentang hal ini. Maaf," ucap Atik sambil menundukkan wajahnya."Jadi benar," ucap Brian seraya meninggalkan Atik.Ia Mengepalkan tangannya, melangkah penuh amarah menuju ruang kerja ibunya. Sementara Atik melihat kepergian Brian penuh kecemasan. Brian berdiri di depan pintu hendak membukanya, namun ia berhenti sejenak. "Aku tidak boleh bertingkat bodoh," batinnya sambil menghela nafas panjang.Kleek.Brian membuka pintu ruang kerja tanpa mengetuknya. "Kenapa kamu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu?" ucap Margaretha sambil