"Naya, aku tidak lama di sini. Mungkin sepuluh sampai lima belas hari saja. Menemani proses penyelesaian kasus kamu pun, sepertinya tidak mungkin." Dengan sabar Kaivan coba menjelaskan.
"Jadi, kamu akan ke dunia jin lagi?"
"Harus! Sebab, kata damai yang disepakati baru tahap awal. Aku belum menemukan siapa dalang adu domba yang kemudian meruncing perang saudara."
"Lantas, kenapa tadi bisa pulang?"
Kaivan menghela napas, barangkali menyabarkan diri untuk memberi jawaban kekepoanku.
"Di sana aku tidak tenang, selalu kepikiran kamu. Dan, ternyata firasatku tidak meleset, kamu ada masalah bahkan sampai sakit." Kaivan berujar lirih sambil menyentuh pundakku.
"Sudah, jangan mencemaskan aku. Rapikan dirimu, aku tunggu di depan," tukasnya, kemudian meninggalkan dapur yang sekaligus berfungsi ruang makan.
Tidak lupa dia meminta handphoneku, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan nanti sebagai bahan laporan.
Sekarang tinggalah ak
Satu tahun lebih menunggu, akhirnya Kaivan kembali ke dunia manusia untukku. Melewati hari yang kadang romantis dan lebih sering jail. Membantu permasalahan permasalahan baru yang kuhadapi.Memiliki teman seperti dia, hidupku jauh dari putus asa. Apa pun masalahnya, sekali 'tring' solusinya. Meski setiap yang didengar pasti jadi bahan kepo, tidak masalah selama aku masih bisa menjelaskan.Kalau tidak bisa pun, kecerdasan Google belum kadaluwarsa.Ting tong!Ting tong!Astaga, baru sebentar melamun usai mengkalkulasi transferan dari YouTube, seseorang di balik pintu depan sana sudah mengganggu. Hiks, padahal belum mengkhayal jadi orang kaya."Iya, sebentar!" sahutku, beranjak malas dari tempat duduk.Meski sambil ngomel dalam hati, aku sampai juga di ruang tamu. Membuka pintu warna putih dengan grendel keperakan, aku terkejut setengah hidup mendapati seseorang berdiri di sana lengkap senyum yang dibuat semanis mungkin.Dia wanit
"Daripada malak anak tiri, mending jualan kan, Bu? Itu kalau laku semua hasilnya lebih 500 juta!" Aku menyela sebelum kembali tertawa."Dasar anak kurang ajar kamu, Naya!"Tring!Entah apa yang ingin dilakukan istri kedua Ayahku itu, Kaivan lebih dulu menjadikan tas branded di tangan ibu terbuka dalam posisi terbalik. Handphone, bedak, dan isi dompet yang semuanya lembaran merah berhamburan ke tanah."Loh, ibu ada ATM, ada uang. Kok tadi minjem, sih!" tukasku pura-pura terkejut.Ibu tiri yang sejak tadi terkena apes pun hanya bisa panik, memunguti barang-barangnya sebelum membantu suami tercinta jualan martabak. Pasti hatinya sangat dongkol.Iya lumayan, depan rumahku jadi bazar sampai siang. Tapi, aku tidak berminat menyaksikan tawar menawar harga martabak. Memilih santai di ruang tamu melanjutkan khayalan jadi orang kaya, kalau bisa.Namun, sebelum benar-benar masuk rumah dan menutup pintu ruang tamu dari dalam, aku membisikkan sesu
Laki-laki berbaju serba hitam yang mirip Kaivan itu justru berkacak pinggang, ekspresi wajahnya menggambarkan benar-benar berada di puncak kemarahan."Terus gimana? Gue harus lemah lembut, gemulai di depan elo! Dipikir cowok apaan!" hardiknya lagi.Aku mengalah, memilih duduk untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk. Sepertinya ada yang tidak beres.Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk membuktikan dia Kaivan asli atau bukan."Gini aja. Nggak perlu marah-marah biar Naya percaya. Sekarang, kalau kamu benar-benar Kaivan, coba buktikan. Bikin seblak special!" perintahku."Oke, siapa takut!" jawabnya angkuh.Kaivan lantas melolos tongkat mayoret yang terselip di balik punggungnya, sambil ngomel-ngomel apa dia tidak cukup sakti kalau sekadar menciptakan satu mangkok seblak.Aku tentu saja protes."Loh, loh. Kok pakai tongkat kayak mau nari balet, sih! Biasanya juga sekali tunjuk?""Itu cara kuno! Gue jin milenial, tahu!"
Kaivan kembali ke ruang tengah, pun aku. Dia membebaskan Ibu dari hukuman menjadi patung, dan meminta aku mengatakan hukuman kedua.Sesuai yang kami sepakati tadi, hukuman bagi Ibu adalah memasak. Mudah bukan? Tapi ibu tidak bisa masak, maka bisa bayangkan sendiri."Van, kamu tadi ke mana sih? Sampai aku disamperin jin sapu nggak muncul-muncul!" Aku memulai pembicaraan setelah memastikan ibu benar-benar ada di dapur.."Maaf, Nay. Tadi aku juga menyelesaikan masalah," jawabnya serius."Masalah apa?""Rupanya dukun suruhan Ibu tirimu mengirim dua jin ke sini. Satu untuk mengelabuhi kamu, satunya menyerangku."Kaivan lantas mengajakku masuk lampu, memperlihatkan sebuah layar proyektor yang berisi kejadian setelah martabak Ibu laris terjual.Ibu memaksa Ayah untuk mendatangi rumah seorang dukun modern---masyarakat biasa menyebut orang pintar. Di sana Ibu curhat, lantas mendapat solusi dengan dikirimnya jin sapu yang diubah menjadi Kaivan
Kaivan buru-buru memotong ucapanku. "Berprasangka baiklah pada tempatnya, Naya. Belum tentu hal yang kamu kira baik itu pasti baik. Kadang manusia sangat rapi menyembunyikan sesuatu dari sesamanya."Iya juga sih, prasangka memang lebih sering kalah dari kenyataan. Baik atau buruk sekalipun. Tapi, siapa pemilik boneka arwah itu di kompleks perumahan ini? Dan ... darimana Kaivan tahu kosa kata spirit doll?Gila, bisa-bisanya pikiranku mempertanyakan pertanyaan terakhir itu!"Lalu, siapa pemiliknya?" Memutuskan bertanya sajalah, daripada dipendam jadi sakit hati. Eh."Tetangga sebelah kanan rumah ini, dia memiliki spirit doll yang setiap malam akan sengaja menangis, untuk mencari perhatian berlebih dari ibunya. Layaknya bayi manusia." Kaivan menjelaskan panjang lebar sambil pembimbingku kembali ke kamar.Sumping sudah kulepas dari telinga, karena lengkingan tangis bayi itu sudah menghilang."Tidurlah, Naya. Aku akan menyelesaikan semua untukmu,
"Apaan sih!" balasku spontan, meski dengan suara berbisik.Sialnya, perempuan muda dan pacarnya mendengar. Seketika mereka menatapku penuh selidik."Eh, enggak, Kak. Itu ... anu, bonekanya lucu," elakku salah tingkah.Mungkin karena terlalu bersedih menangisi kematian dua boneka mahal yang terlanjur dianggap anak, hingga mereka memilih bergantian curhat daripada kepo salah ucapku tadi. Antara bingung mencari kain kafan, siapa yang memandikan, sampai letak tanah pemakaman."Ternyata tetangga Naya jadi gila. Hahaha!" Hanya Kaivan yang bebas mengeluarkan unek-unek, tanpa takut menyinggung tuan rumah.Sebisa mungkin aku berusaha menghibur kesedihan pasangan belum siap menikah ini, sambil mencari solusi yang hemat tenaga dan biaya tentu saja. Lalu, pilihan pun jatuh pada 'dibuang' dengan bahasa halus.Iya, aku bilang boneka itu dikembalikan atau berikan saja pada yang lebih membutuhkan. Syukur kan kalau yang mendapat boneka itu tahu, kemudian lan
[Sean, kamu di mana?]Ke luar dari lokasi Persada Tivi, aku sengaja tidak langsung pulang. Melainkan DM Sean untuk memastikan janji tadi siang.[Depan resto]Balasnya singkat. Uft, ternyata dia juga sedang harap-harap cemas menunggu.[Loh, samaan. Kamu pakai baju apa?][Hoodie abu-abu]Aku langsung memasukkan handphone ke saku jeans, meneliti ke segala penjuru untuk mencari orang dengan warna pakaian seperti yang disebut Sean.Ketemu, aku langsung melambai pada laki-laki yang duduk di jok motor. Secara kebetulan ia menatap ke arahku."Sean, sini!"Laki-laki pemilik hoodie abu-abu itu tersenyum cerah menangkap isyarat, segera mengangguk lantas meninggalkan motor yang terparkir lumayan jauh dariku.Seperti akting pertemuan di drama drama Korea, Sean berlari ke arahku dan langsung aku sambut genggaman tangan. Tidak mungkin berpelukan, bukan muhrim. Apalagi ini tempat umum, bukan lokasi strategis untuk pacaran apalagi
"Nay, tumben olahraga pagi?"Seorang laki-laki berkaos kuning jreng, mensejajari langkah cepatku. Senyum manis langsung tercipta simetris, saat aku menoleh untuk menjawab sapaan."Eh, Kang Iwan. Jalan juga," balasku."Sesekali, Nay. Di rumah suntuk. Udah seharian capek kerja, sampai rumah Mama masih ngomel-ngomel!"Wah, ternyata laki-laki juga bisa curhat. Tapi, sepertinya masalah Kang Iwan seru dan serius ditanggapi. Secara, dia jarang sekali berbaur dengan warga. Meski ketampanannya menjadi idola ibu-ibu satu komplek perumahan.Introvert kali istilahnya."Memangnya kenapa, Kang? Kan Akang udah mau kerja, depresi dari Teh Sari juga nggak lama?"Setahuku tentang duda tanpa anak yang jalan santai di sebelahku ini sih begitu. Sempat depresi gara-gara bercerai dengan istri cantik blasteran bule.Kang Iwan mengembuskan napas kasar. "Itulah, Nay. Mama ngomel pengen punya cucu, sedangkan aku masih trauma nikah lagi!"Tiba-tiba