*Samudera POV*
Sudah hampir enam tahun sejak kematian istri cantikku, tapi rasanya seperti baru kemarin dia meninggalkanku. Waktu begitu cepat berlalu karena kesibukanku yang seolah tiada henti.
Walaupun bumi mungkin berotasi lebih cepat, tumpukan pekerjaan yang mungkin menyita sebagian besar waktuku. Tak ada sedetikpun aku melupakan senyuman manis kekasih tercintaku yang ternyata pergi meninggalkanku lebih dulu itu.
Tak ada sejengkal pun aku melupakan lekukan tubuhnya. Bahkan tak akan ku lupa suara lembutnya yang selalu menyapaku di pagi hari.
Mana mungkin aku melupakan wanita seberkesan itu dalam hidupku? Wajah cantiknya, lembut tuturnya, dan kecerdasannya begitu melekat dalam ingatanku.
Bagaimana mungkin aku melupakan wanita yang pergi dengan gadis mungilku? Gadis mungil yang bahkan belum pernah aku lihat wujudnya barang sedetik saja. Dia masih melekat menjadi satu bersama Mamanya hari itu. Secara prosedur, dia memang tak perlu dikeluarkan. Dia masih berada di tubuh yang sama dengan Tania. Semoga kalian saling menjaga disana. Bahagia, tanpa ku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit. Kembali melihat seorang wanita, yang terbaring lemah usai kecelakaan di usia kehamilan memasuki tiga puluh tujuh minggu. Kisahnya mirip dengan istriku, anaknya juga meninggal dalam kecelakaan itu.
Bedanya dia selamat, tapi ia mengalami kelumpuhan karena cedera sumsung tulang belakang. Tak ada yang dapat ia lakukan kecuali terbaring.
Tragisnya, suaminya yang tak mengalami luka serius malah kabur dan tak kembali. Bagaimana bisa ada laki-laki sebrengsek itu?
Bagaimana dia bisa kabur dari wanita yang sudah ia nikahi dan bersumpah akan menjaganya di depan semua orang dan tuhan? Dia salah satu laki-laki brengsek yang mempermalukan nama kaum pria! Aku bahkan malu dengan kelakuannya!
"Dia lebih baik pergi daripada ngurusin gue yang udah cacat kayak gini. Gue juga udah gak bisa jalan. Gue gak bisa ngasih dia anak. Bahkan gue gak bisa muasin dia lagi. Terus apalagi yang mau diharepin?" ucap Riani dengan senyuman tipisnya. Seolah mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada dirinya.
Terbuat dari apa hatimu, Riani? Aku bahkan hampir menangis melihat ketulusannya. Aku mengusap lembut pipinya. Membenarkan anak-anak rambut yang tak teratur. Beberapa helainya bahkan mengenai matanya.
Tak ada yang dapat dia lakukan. Tangannya tak bisa terangkat untuk sekedar membantunya merapikan dirinya.
Ku tatap matanya dalam. Aku menggenggam tangannya erat.
"Ri, kita nikah yuk. Gue bakal jagain lo, seumur hidup gue!" ucapku dengan sungguh-sungguh.
"Sam! Gue gak akan menggugat cerai suami gue. Lagipula lo mau nikah sama gue atas dasar apa? Kasihan sama gue? Buat menebus perasaan bersalah lo sama Tania karena lo gak bisa jagain dia? No!" jawabannya tepat sasaran mengena di ulu hatiku.
Aku memang berniat menikahinya hanya untuk merawat tanpa rasa cinta. Hanya rasa ingin menebus dosaku pada Tania. Aku memberikan pengandaian, jika dia Tania, tak akan sedetikpun aku pergi dari sisinya. Bagaimana bisa aku meninggalkannya saat kekasih ku sedang terbaring tidak berdaya.
"Lo gak perlu repot-repot kasihan sama gue. Ada wanita yang lebih mengenaskan dari gue dan gue mohon sama lo, buat jagain dia."
"Siapa?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alis.
"Diani, adik gue. Lo masih inget gak?"
Aku mengangguk lirih. Ya, aku mengingatnya. Meski sudah belasan tahun berlalu. aku masih mengingat putri bungsu keluarga Abhimaya. Diani Abhimaya. Gadis yang suka sekali datang ke sekolah dengan rambut di kepang dan berkacamata.
Wajahnya yang terlihat imut dan cantik tanpa make up apapun. Gadis yang bahkan menangis saat di goda oleh teman sekelasnya. Apa kabarnya dia?
"Dia perempuan paling kasihan. Nanti kalo gue gak ada-"
"Ri! Kok lo pesimis gitu sih?!" sahutku cepat tak terima jalan pikirannya. Walaupun dokter bilang bahwa Riani tak bisa hidup lama dengan kondisinya saat ini.
"Dengerin gue dulu. Gue tau lo orang paling bisa gue percaya. Gue titip adik gue, Sam. Dia sendirian di dunia ini. Lo tau nyokap bokap gue udah gak ada. Keadaan gue juga gini. Diperparah dengan masa lalu keluarga gue dan kelakuan suami gue yang pergi gitu aja disaat keadaan kayak gini.
Gak akan mudah bagi dia. Dia benci banget sama laki-laki, Sam. Kalau udah kayak gini, gue minta tolong sama siapa buat jaga dia? Gue gak akan tenang ninggalin adik gue sendiri.
Nikahi dia, Sam. Gue yakin dia bisa bahagiain elo. Kalian bakalan jadi keluarga yang harmonis. Gue yakin itu," Permohonan itu keluar dengan lancar diiringi dengan tatapan teduh milik Riani, seolah ini adalah amanat terakhirnya.
Aku memandang Riani dengan tatapan sendu. Perasaan ku campur aduk. Sedih, bingung, marah, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirku.
"Diani bakalan jadi ibu yang baik dan lo jadi ayah yang hebat. Lo gak bisa nikah sama gue. Perusahaan Adnan butuh penerus. Lo gak bisa dapet itu dari gue. Diani bisa. Gue titip Diani, Sam!" ucap Riani lagi.
Aku hanya bisa menatapnya nanar dalam kebimbangan. Aku masih bisu, enggan untuk menjawab.
***
*Diani POV*
Disinilah aku, kembali menempati rumah mewah setelah ayah dan ibuku meninggal. Menjadi nyonya muda bagi mereka.
Bagiku? Aku tetaplah Diani Abhimaya. Perempuan yang pernah menjadi keluarga kelas menengah atas, lalu berbalik menjadi gadis yatim piatu dengan aset yang tak bisa kami kelola. Semuanya habis. Aku dan Kakakku harus berjuang untuk bertahan hidup. Membuat kami tak lagi silau dengan harta duniawi.
Pertengkaran hebat antara ayah dan ibuku, membuat aku dan kakakku jadi hidup terlunta-lunta. Mereka kecelakaan di tengah pertengkaran soal perselingkuhan ayahku. Aku tak percaya pria! Lalu, kakakku Riani Abhimaya, berkata memutuskan akan menikah dengan pria pilihannya.
Reaksiku, pesimis! Kenapa kakakku mau terjebak komitmen seumur hidup itu?! Tapi tak ada yang bisa aku lakukan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, aku melihat kakak iparku benar menyayangi Kakakku. Satu-satunya keluarga se-ibu dan ayah yang aku punya di dunia ini.
Kenyataannya, dengan brengseknya dia menuduh Kak Riani berselingkuh. Pertengkaran hebat kembali memicu kecelakaan. Lebih brengsek lagi ketika dia kabur setelah kecelakaan itu.
Sudah aku duga, mana ada laki-laki baik di dunia ini?! Semuanya egois dan tak memiliki hati. Semua laki-laki merenggut kebahagiaanku. Aku tak punya sosok panutan laki-laki baik. Bagiku semua pria sama!
Mereka terlalu besar rasa gengsi, terlalu mengagungkan logika, dan mau menang sendiri, egois! Bagaimana bisa mereka menyerahkan komitmen dan berbagi hidup dengan orang lain mengucapkan janji sehidup semati?!
Kini, aku menjilat semua kata-kataku. Aku menikahi tuan muda keluarga Adnan, Samudera Gemintang Adnan, dengan alasan yang tak pernah ku duga. Permintaan terakhir Kak Riani. Oh, Tuhan. Apakah hidup ini komedi?! Apalagi yang ingin Kau tunjukkan, Tuhan?
Bahwa ada laki-laki setia pada istrinya yang telah tiada dan mengabaikan aku sebagai wanita yang hidup disampingnya?! Untuk apa?! Untuk menunjukkan padaku bahwa lelaki setia itu ada? Hanya saja tak ada laki-laki seperti itu untukku? Tak ada pria yang menyayangiku?!
Dalam keheningan malam, aku hanya bisa meratapi nasibku. Menangis tanpa suara. Tak banyak yang kuinginkan. Aku hanya berharap ada sedikit cinta dan kasih untukku, Tuhan. Adakah?
***
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m