Share

PERTEMUAN

Samudera Gemintang Adnan. Pria itu sedang memandang kosong ke arah perempuan kecil yang tengah berlarian di hadapannya.

Laki-laki dengan paras timur tengah dan mata coklat terang yang begitu memikat setiap perempuan. Auranya yang kuat lebih mirip dengan sang Kakek, Barra Adnan, pendiri Yayasan Pendidikan besar bernama Miracle.

Selain dikenal sebagai pria yang tampan dan kaya, Sam, panggilan pria itu, dikenal sebagai pria cerdas dengan segudang bakat. Ia juga terkenal ramah dan penyayang anak-anak.

Sayangnya di usianya yang menginjak ke tiga puluh dua tahun, ia masih saja tak berminat berumah tangga. Ia masih betah dengan status dudanya.

Duda? Ya, kecelakaan enam tahun lalu merenggut nyawa istrinya, Titania Llena. Bahkan anak yang masih ada dalam kandungan istrinya, ikut pergi dengan istrinya.

Jika mengingat malam itu, semua terasa bagaikan mimpi bagi Samudera. Kebahagiaannya seolah hancur dalam sekejap. Dalam hitungan detik, senyuman bahagianya berubah menjadi tangis. Ia tak banyak ingat kejadian malam itu.

Seingatnya hanya suara Tania seolah berbisik mengatakan kata cinta. Setelahnya semua gelap. Saat ia terbangun, hanya ruangan putih dengan raungan Mamanya yang terdengar.

Mata Samudera mengembun setiap kali mengingat kejadian itu. Seperti saat ini, saat dia melihat keponakannya yang seharusnya seumuran dengan anaknya. Ia selalu mengingat bagaimana jika anaknya yang diberi nama Sania Putih Adnan yang hanya bisa dilihat melalui lembar USG bisa lahir. 

Ruby dan Putih, panggilan kesayangan Samudera untuk putri kecilnya, pasti bisa menjadi teman bermain. Keduanya hanya berbeda beberapa hari dari hari perkiraan lahir. Tapi kenyataannya, Ruby lahir di hari dimana seharusnya lahir, sedangkan anaknya sendiri harus meregang nyawa hari itu.

Itu mengapa Sam begitu menyayangi Ruby. Ia menganggap Ruby sebagai pengganti anaknya. Hingga Ayah Ruby merasa tersingkirkan dengan kehadiran Samudera.

"Om Papa!!" teriak Ruby antusias. Gadis kecil itu berlari ke arah Samudera dan menabrakkan badannya ke arah pria yang ia anggap sebagai ayah keduanya.

"Kenapa, Sayang?" tanya Samudera sambil mengusap peluh di dahi gadis kecilnya yang semenjak tadi memang berlarian kesana kemari. Matanya tak lepas mengamati putri kecil kakaknya yang begitu menggemaskan untuknya.

"Tadi Ruby lihat disana ada tante di lehernya ada kain putih besar! Terus tantenya cuma tiduran saja. Dia senyum ke Ruby, Pa!" celoteh Ruby sambil menunjuk ruangan di sebelah nurse station.

Samudera mendengarkan cerita itu dengan seksama sambil sesekali melirik ke ruangan itu. Setau Samudera, ruangan itu adalah ruangan khusus bagi pasien dengan kondisi darurat. Agar memudahkan untuk pengecekan, pasien dengan kondisi khusus akan di taruh dekat dengan nurse station.

"Ruby ngapain kesana, Nak? Gak boleh. Tantenya pasti mau istirahat."

"Ruby cuma mau tahu aja Papa. Pintunya terbuka. Ruby tidak masuk kok!" jelas Ruby membela diri, membuat Samudera gemas dengan keponakannya hingga ia mencubit pipi gembul milik Ruby.

"Ruby udah kan mainnya? Sekarang kita lihat adik Ruby sama Mami ya?"

Ruby mengangguk antusias untuk menemui adik perempuannya yang baru lahir dengan senyuman terkembang di bibirnya.

Mereka berjalan bergandengan melewati ruangan yang tadi ditunjuk Ruby. Samudera yang melihat ruangan itu terbuka, jadi ingin tahu juga soal perempuan yang diceritakan keponakannya.

Matanya menyusuri sedikit demi sedikit ruangan itu, hingga matanya menemukan brankar dengan seorang perempuan yang matanya juga memandang ke arahnya. Mata Samudera membola menemukan sosok perempuan yang berada di atas brankar itu. Detik itu juga Samudera menghentikan langkahnya.

Ia memastikan pasien yang terbaring itu dengan membaca nama yang terpampang di dinding dekat pintu. Riani Abhimaya. Detik itu juga lututnya terasa lemas. Tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutnya.

Sahabat lama yang sudah menghilang dua tahun ini terbaring lemah di ruangan itu. Lama tak terdengar kabarnya, Samudera menyesal tak pernah mencari tahu bagaimana kondisi sahabatnya itu. Hingga kini merekaa dipertemukan dalam keadaan ini.

***

"Apa kabar, Ri?" tanya Samudera sambil menggenggam tangan sahabat lamanya itu. Tangan yang tak memiliki daya untuk terangkat. Tangan itu sangat kecil. Hingga tulangnya terasa di telapak tangan Samudera.

Pria itu mati-matian menahan air matanya agar tak meluncur bebas saat ini juga.

"Kayak yang lo liat. Gue gak bisa bilang buruk atau baik. Kayak gini aja," jawab Riani dengan senyuman tipis menghiasi bibirnya. Seolah tak ada beban dalam hidupnya.

"Gimana ceritanya sih, Ri? Terakhir kita ketemu buat ajak lo gabung di yayasan lo hamil kan? Suami lo? Anak lo? gimana kabarnya?"

"Terakhir kita ketemu, itu hari dimana gue kecelakaan. Anak gue meninggal dan keadaan gue ya gini. Gue cedera sumsum tulang belakang. Gak bisa bangun, gak bisa apa-apa. Ternyata gak enak jadi kaum rebahan," canda Riani yang terdengar satir di telinga Samudera.

"Suami lo?"

Riani hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas panjang. Matanya sudah berkaca-kaca, namun senyumnya tak luntur menghiasi wajahnya.

"Su— suami lo? Meninggal?" tanya Samudera dengan hati-hati setelah mencoba membaca ekspresi wajah sahabatnya itu.

Riani kembali menggeleng. Kini matanya menerawang jauh menatap langit-langit kamarnya.

"Suami gue gak tahu dimana. Gue udah lama gak ketemu dia," ucap Riani tenang.

Brengsek! Umpat Sam dalam hati.

"Laki lo bener-bener deh! Udah gue duga dia gak bener, Ri! Lo sih gak dengerin gue dulu! Udah gue bilang itu laki-laki emang.. Ish, Ri!" ucap Samudera gemas. Tadinya ia ingin sekali mencaci dengan sungguh-sungguh suami sahabatnya itu. Tapi, Samudera tahu bahwa Riani butuh penghiburan daripada kata caciannya.

"Masih aja sih, lo! Kalo gue nikah harus acc lo dulu. Kapan gue nikahnya?! Ribet!" jawab Riani dengan cebikan.

"Lagipula, mungkin takdir gue emang harus kayak gini Sam. Ya, walaupun sejujurnya dengan kondisi ini gue sih berharapnya bisa bareng sama Mama, Papa, anak gue Keandra. Ketemu istri lo sama anak lo juga. Tapi, gue syukurin lah kalo jalannya emang kayak gini," ucap Riani enteng

"Kok lo ngomong gitu sih, Ri? Omongan lo serem!"

Riani hanya tertawa lirih melihat respon sahabatnya yang menanggapinya dengan serius.

"Lo pernah gak sih, Sam– ada di fase dimana lo pengennya ikut istri lo aja gitu? Ikut anak lo. Tapi kalo gue jadi lo sih, gue tau mau ngapain. Nah kalo keadaan kayak gue? Baring gini doang.

Lo bayangin deh, dua tahun. Lo gak bisa ngerasain apapun. Gak bisa ngelakuin apapun. Ampun deh gue. Gue udah bosen banget," jelas Riani dengan tawa getir di akhir kalimatnya.

Samudera terpaku dengan pernyataan Riani. Ia tahu bagaimana putus asanya Riani saat ini. Seolah semua jauh darinya. Tak ada penguat hidup untuknya. Mama dan Papa Riani telah lama meninggal. Anaknya telah tiada, bahkan suaminya meninggalkan Riani sendiri. Betapa kesepian hidupnya.

Samudera memandang iba pada Riani. Saat Samudera berpikir, dosa apa yang telah dia lakukan hingga harus kehilangan belahan jiwanya. Kenyataannya ada Riani yang hidupnya jauh lebih tak beruntung daripada dirinya.

Samudera sudah tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. Ia menggenggam dan memeluk erat tangan Riani. Air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Matanya tak lagi sanggup menatap Riani.

"Apa yang lo tangisin, Sam? Jangan cengeng lo! Gue gak bisa bantu apapun kalo lo nangis. Tangan gue kalo gak lo angkat mana bisa nyentuh lo. Udah ah!" hardik Riani sambil berusaha menggerakkan tangannya pelan ke arah kulit pipi Samudera.

Samudera beralih mengarahkan kepalan tangannya dengan Riani menuju dahinya. Ia masih menangis tergugu. Seluruh pikirannya berkelebat tentang ingatan terakhirnya melihat mendiang istrinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status