*Riani POV*
“Kenapa? Apa ruangannya terlalu panas? Mau dinaikin suhunya?” tanya Samudera polos.
Dasar pria bodoh dan tidak peka’! Dia masih sama saja. Membuatku jadi tertawa geli. Inilah yang membuatku selalu gagal terbawa perasaan dengan Samudera. Sepertinya, satu-satunya hal yang mudah dia pahami adalah perasaan mantan istrinya.
“Malah ketawa lo! Serem ih,” ucapnya sambil bergidik ngeri.
Tawaku malah semakin menjadi melihat wajah takutnya. Samudera dengan badan kekarnya masih tak berubah. Laki-laki yang selalu takut dengan sesuatu yang mistis. Aneh sekali. Muka dengan keberaniannya soal hal-hal gaib berbanding terbalik.
“Udah ah. Banyak drama, sini! Gue harus apa?”
Samudera kembali mendekat ke
*Samudera POV* "Udah, jangan diliatin mulu adek gue. Gimana? Cantik kan? Gemesin," ucap Riani bersemangat. Sial! Aku tertangkap basah memperhatikan Diani. "Adek lo beneran umur dua puluh sembilan tahun? Gue kira udah berubah, ternyata ngambekannya masih sama," timpalku sambil tertawa geli yang sebenarnya ku buat-buat. Aku berniat pulang karena tak enak hati dengan Diani. Mungkin Diani hanya ingin bersama kakaknya dan aku mengganggu mereka. tapi, Riani melarangku. Tak berapa lama setelah itu, Diani keluar dari kamar mandi. Aku memang merasa diperhatikan sejak ia melangkah menuju sofa dibelakangku. Aku berpura-pura menyamankan diriku sekedar untuk bisa mencuri pandang pada Diani. Aku tahu beb
Diani memasuki ruang rawat Kakaknya dengan menggerutu lirih."Mana ada tampang bule gitu minta dipanggil, Mas. Ih, bikin geli. Apa-apan sih dia. Sok akrab.""Kamu kenapa dek?" tanya Riani dengan senyum teduhnya. Sebenarnya ia dapat mendengar dengan jelas dumelan Diani. Tapi, jika sedang berdua seperti ini Riani memang tak lagi seheboh ketika ada Samudera. Ia terlihat lebih tenang."Gak apa-apa kok. Kakak udah makan?" tanya Diani mengalihkan pembicaraan.Ia berjalan mendekat ke arah dimana ia menyimpan roti. Mengambil beberapa lembar roti lalu mengoles dengan selai nanas kesukaannya. Tak lupa selai kacang untuk Kakaknya walaupun tampaknya tak ada jawaban dari pertanyaannya tadi."Samudera gak menua ya, Di. Dia masih aja ganten
Samudera membolak-balikkan dokumen sebelum akhirnya ia mengarahkan pandangannya pada sekretarisnya, Aleya."Jadwal untuk rapat hari ini jam berapa, Aleya?" tanya Samudera sambil melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya."Lepas makan siang, Pak. Sekitar pukul dua siang. Saya sudah konfirmasi ke perusahaan rekanan."Samudera hanya mengangguk lalu memberikan kode agar sekretarisnya meninggalkan ruangannya. Aleya yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk Samudera pun menganggukkan kepalanya, tanpa kata lain yang terucap, dia meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.Samudera menikmati secangkir kopinya sambil menikmati hiruk pikuk ibukota. Banyak pikiran berkelebat dalam otaknya. Hal-hal yang selama ini selalu mampu ia tutupi selama kesibukannya. Semua pemikir
Samudera melangkah ringan menuju kamar Riani. Lily putih kesukaan Riani karena wanginya yang bisa menyamarkan bau obat di ruangannya sudah terbungkus rapi di tangan kirinya. Senyuman Samudera tak pudar mengiringi langkah kakinya menuju ruangan Riani.Klik!“Ri, pesenan bungamu nih!” ucap Samudera yang setelahnya mematung karena melihat seorang wanita yang berumur di akhir kepala empat sedang terduduk di sebelah ranjang Diani.Wanita itu tersenyum anggun pada Samudera yang membuat pria itu segan.“Sam, sini. Ini Tante gue. Namanya Tante Sita. Adik Papa. Lo masih inget gak yang gue pernah ceritain. Tante gue yang tinggal di Ternate,” ucap Riani terdengar Riang dan antusias.Sita segera menoleh k
Samudera terlalu asik memandang langit yang hanya menampilkan warna abu-abu. Ia tak sadar bahwa ada wanita yang hampir memasuki setengah abad sedang memandanginya dengan raut tak terbaca.“Samudera,” sapa Sita yang sudah berdiri di hadapan Samudera.“Eh, Tante–”“Tante boleh ngobrol sama kamu?”“Boleh. Silahkan Tante,” ucap Samudera sambil menggeser tubuhnya agar Sita bisa duduk disebelahnya.“Maaf kalau Riani merepotkanmu Sam,” ucap Sita setelah ia duduk dengan nyaman sambil menyandarkan tubuhnya di bangku itu.“Ah, enggak Tante. Saya senang bisa bantu Riani. Gimanapun Riani sudah bantu banyak hal termasuk id
“Kamu benar-benar tidak perlu merasa bersalah, Sam. Kenyatannya kamu memang tidak salah. Suami Riani itu terlalu pengecut dan pencemburu. Kamu pasti tahu itu kan? Kamu gak perlu merasa terbebani,” jelas Sita di lobby rumah sakit.Sita bersiap untuk kembali ke hotel dimana suaminya menginap. Ia memang tak bisa lama-lama untuk menjenguk keponakannya itu. Selain ia diam-diam menemui Riani, hubungan Suami Sita dengan keluarga Abhimaya memang tak bagus.Dulu Papa Riani dan Diani yang merupakan Kakak kandung Sita, begitu membenci Suami Sita yang hanya seorang abdi negara di pulau kecil di timur Indonesia. Sita diberi pilihan untuk memilih keluarganya atau suami pilihannya. Sita memilih suami pilihannya. Hingga akhirnya, ia tak lagi dianggap sebagai keturunan Abhimaya dan tak lagi dianggap dapat menerima warisan keluarga Abhimaya.
Samudera mengambil ponselnya di atas nakas. Tangannya bergerak lincah mengetik sesuatu hingga nada sambung tanda terhubung ke nomor lain terdengar. Wajahnya terlihat dingin dengan tatapan membunuh.“Ran, gue butuh cari seseorang. nanti gue bakalan kirim datanya secepatnya.”Tak ada tanggapan lain setelah Samudera mengatakan itu. Ia segera menutup teleponnya dan berjalan menuju ke kamar mandi untuk bersiap ke kantor.Setelah siap dengan setelan formalnya, Samudera bergegas turun ke lantai satu untuk sarapan terlebih dahulu.Sesampainya di dapur, ia melihat ibunya sedang sarapan sendirian. Sepertinya Papanya telah berangkat menuju kantor.Sejujurnya Samudera masih merasa canggung untuk bertemu dengan Mamanya. Hingga
Gavin tak fokus selama rapat berlangsung karena sibuk memperhatikan anak laki-lakinya yang juga tak fokus sepanjang rapat mengenai sekolah amal yang akan mereka dirikan di Bali. Anak lelakinya fokus memperhatikan arsitek yang sedang menjelaskan tentang inovasi-inovasi tertentu yang mereka gunakan untuk bangunan sekolah itu. Walaupun nantinya sekolah ini didirikan untuk amal dan tidak memungut biaya sepeserpun, mereka juga tak ingin membuat sekolah ini asal-asalan.Putranya itu adalah orang yang sangat fokus. Tak memperhatikan rapat, berarti dia sudah mempelajari bagaimana proposal yang mereka ajukan. Tak ada pertanyaan, berarti anaknya sudah cukup puas akan hasil kerja mereka.Gavin jadi bertanya-tanya, siapa arsitek muda yang berdiri dihadapannya? Gadis dihadapannya ini memang cantik. Auranya seperti istrinya sebelum menikah, tegas dan sepertinya tak tersentuh