Riani membuka matanya perlahan. Awalnya pandangan itu terasa kabur. Beberapa detik kemudian, pandangannya telah jelas melihat kembali tembok putih dengan bau khas obat-obatan di sekelilingnya.
Ia menghela nafas berat. Kenapa masih saja ia berada di ruangan ini? Padahal harapannya adalah pergi dari ruangan ini dan menemui anaknya. Atau Mama dan Papanya yang telah lama meninggalkannya. Ia merasa tak sanggup dengan sakitnya yang makin lama terasa semakin menyakitkan.
Terakhir, asam lambungnya sering naik karena posisinya yang tak banyak berubah setelah makan. Juga karena ia tak lagi mengunyah makanan dengan baik.Kondisi lambungnya juga memang sudah tak baik-baik saja sejak beberapa waktu lalu. Entah vonis apalagi yang akan dokter keluarkan kali ini.
Tak lagi ada ambisi, tak ada lagi keinginan dalam hidupnya. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya secepatnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan untuk dirinya sendiri.
“Kak? Pagi! Akhirnya Kakak bangun, aku dah dari tadi nungguin Kakak bangun. Aku kangen banget sama Kakak!” ucap adiknya Diani dengan semangat.
Perempuan berusia dua puluh sembilan tahun itu seperti biasanya memasang muka bahagianya di depan kakaknya. Sifat manjanya yang tak pernah berubah di hadapan Kakaknya, khas anak bungsu yang selalu diberikan perhatian oleh semua orang.
“Sini, Dek. Peluk Kakak. Kamu dateng dari jam berapa?”
“Dari jam delapan tadi, Kak. Sebenernya aku mau ketemu Kakak tadi malem. Tapi, karena capek banget, aku jadi ke kos dulu. Sambil ambil baju buat nginep nemenin Kakak cantik malam ini,” ucap Diani dengan manja sambil memeluk erat Kakaknya. Ia membuat tubuhnya setengah terbaring agar bisa leluasa memeluk Riani.
Ia pun memeluk Riani dengan hangat. Mencium pipi kanan dan kirinya Kakaknya. Tak lupa untuk membersihkan kotoran mata dan merapikan anak rambut di wajah Kakaknya.
“Sekarang jam berapa emangnya, Di?”
“Jam sepuluh Kak,”
Ternyata cukup siang juga ia terbangun. Semalam ia sulit tertidur hingga ketika ia melirik ke arah jam yang cukup susah di gapai oleh ekor matanya, ternyata jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
“Kakak bangun siang sampe ngelewatin jam sarapan. Kakak semalem susah tidur ya? Kenapa? Ada yang sakit? Atau Kakak mikirin–” Diani tak melanjutkan ucapannya dan hanya menghembuskan nafasnya panjang. Ia memejamkan matanya untuk menghalau emosinya. Diani tahu kemana arah pembicaraan ini bermuara.
“Kakak pokoknya jangan pernah ada pikiran buat ninggalin Diani. Ya? Diani gak suka!” ucap Diani dengan nada ketus. Ia kemudian beranjak dari tempatnya untuk memeriksa kateter juga melihat sekeliling kakaknya untuk memastikan Kakaknya berada pada kondisi nyamannya.
“Di, Kakak gak enak ngerepotin kamu terus. Kerja siang sampe malem buat Kakak. Buat semuanya ini. Gimana kalau kita stop aja semua ini? Hm?” tawar Riani.
Diani tak menjawab. Ia mencoba meredam emosinya beberapa saat. Ia tak ingin pertemuan yang terjadi setelah hari-harinya yang sibuk menjadi berantakan.
"Di, Kakak--"
“Kakak ngomong apa sih?!” ucap Diani dengan nada ketus. Ia menghentikan semua aktivitasnya dan menatap Kakaknya lekat.
Riani tak menjawab pertanyaan adiknya itu. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menelan ludahnya dengan susah payah karena mengingat bagaimana kerja keras adiknya demi dia yang sepertinya mustahil untuk sembuh.
Diani bahkan tak lagi memikirkan kehidupannya demi Riani. Adiknya tak terlihat dekat dengan laki-laki manapun. Riani rasa kehidupn Diani hanya berkutat dengan kantor dan rumah sakit selama dua tahun ini. Hingga mungkin tak akan sempat bagi Diani untuk memikirkan urusan percintaan.
“Kalau kamu gak mau stop semua ini, cari Kakak Iparmu, Di. Dimana dia? Carikan dia, Di. Kakak mohon,” tanya Riani kembali berani menatap mata adiknya dengan penuh harap.
“Kak?!” hardik Diani kini yang mulai merasa panas.
“Dia sembunyi dimana ya, Di? Kakak kangen. kakak cuma mau ketemu dia. Please, tolong bantu Kakak nemuin dia.”
Diani benar-benar tak habis pikir dengan Kakaknya. Setelah ditinggalkan begitu saja dalam keadaan seperti ini. Kakaknya masih saja mencari suaminya. Terkadang Diani berpikir, apakah Kakaknya ini masih waras? Kecelakaan yang disebabkan oleh Kakak iparnya membuat Riani lumpuh total. Laki-laki itu pun meninggalkan Riani dalam keadaan seperti ini. Tak ada kata-kata perpisahan, apalagi surat cerai. Sungguh Diani kesal. Ia bahkan merasa sanggup menjaga, mengurus, dan membiayai Kakaknya sendiri.
“Aku gak paham lagi kenapa Kakak masih cari-cari dia. Apalagi sih, Kak?! Jangan pernah Kakak kepikiran laki-laki brengsek itu balik lagi kesini. Aku gak ikhlas ya, Kak!
“Dia itu masih suami Kakak, Di. Kakak mau ketemu dia sebelum Kakak pergi.”
“Apa sih, Kak?!” tanya Diani kesal. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Sekedar ungkapan kekesalan atau segala pemikiran yang berkelebat dalam otaknya. Bagaimana bisa yang ada dipikiran Diani hanyalah kematian dan mantan suaminya? Bagaimana dengan kerja kerasnya untuk membuat Riani tetap ada menemaninya sampai dengan saat ini? Kerja siang dan malam yang tak pernah ia rasakan lelahnya, asal uangnya selalu cukup untuk Kakaknya.
Diani tak lagi sanggup berada di ruangan itu. Seolah amarahnya memuncak di ujung ubun-ubun. Ia kembali mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Riani.
“Aku ambil sarapan Kakak dulu. Kita Makan setelah itu minum obat,” ucap Diani sambil melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan itu.
Baru beberapa langkah beranjak, ia menghentikan langkah kakinya lalu menatap lurus ke arah Kakaknya.
“Nanti setelah aku masuk lagi. Kita gak perlu lagi bahas yang tadi. Gak ada yang perlu kita bahas dari semua yang Kakak pengen tahu tadi," ucap Diani dengan mata mengembun. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Klik!
Suara pintu tertutup itu dibarengi dengan Diani yang tubuhnya meluruh di depan pintu. Ia tak lagi dapat menahan isak tangisnya. Terkadang begitu lelahnya ia mendengar semangat kakaknya yang tak lagi ada. Ia merasa tak lagi penting bagi Kakaknya, hingga sang Kakak tak mau bertahan hidup demi dirinya.
Sebenarnya apalagi yang kurang dari dirinya? Ia merasa telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk Kakaknya. Namun nyatanya sejak awal, sepertinya tak ada perubahan berarti dari Kakaknya. Semangat hidupnya kian hari, kian menurun.
Bahkan hal itu makin memperburuk kondisi Riani. Kondisi psikologisnya benar-benar mempengaruhi kondisi psikisnya yang semakin menurun setiap harinya.
Mengingat semua itu membuat Diani semakin tergugu. Ia menangkupkan tangannya ke wajahnya. Ia begitu malu untuk menangis di ruangan terbuka seperti ini, tapi ia tak sanggup lagi menahan sesak dalam dirinya.
“Lho, Diani. Ngapain?”
Suara itu berhasil mengalihkan perhatian Diani. Ia menatap pemilik suara itu, namun tangisnya tak bisa reda. Ia makin terisak hebat, membuat banyak orang menatap Diani iba.
***
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m