Share

PENOLAKAN

*Samudera POV*

Sudah hampir enam tahun sejak kematian istri cantikku, tapi rasanya seperti baru kemarin dia meninggalkanku. Waktu begitu cepat berlalu karena kesibukanku yang seolah tiada henti. Walaupun bumi mungkin berputar lebih cepat, juga tumpukan pekerjaan yang mungkin menyita sebagian besar waktuku. Tapi hingga kini, tak ada sedetikpun aku melupakan senyuman manis kekasih tercintaku yang ternyata pergi meninggalkanku lebih dulu. Kebersamaan kami terlalu singkat. Ia pergi terlalu cepat.

Sampai saat ini pula, tak ada sejengkal pun aku melupakan lekukan tubuhnya. Bahkan tak akan ku lupa suara lembutnya yang selalu menyapaku di pagi hari.

Mana mungkin aku melupakan wanita seberkesan itu dalam hidupku? Wajah cantiknya, lembut tuturnya, dan kecerdasannya begitu melekat dalam ingatanku. Bagaimana bisa aku melupakan wanita yang pergi dengan gadis mungilku? Gadis mungil yang bahkan belum pernah aku lihat wujudnya barang sedetik saja.

Kini aku menemukan lagi sosok perempuan ceria yang telah lama menghilang. Dulu dia menemaniku merintis usaha bimbingan belajar. Setelah usaha itu berkembang besar, gadis itu pamit mengundurkan diri karena akan menikah. Aku sudah bilang bahwa dia tak perlu datang ke kantor setiap hari jika itu kendalanya. Tapi, gadis itu tetap menolak dengan tegas.

Aku memaksanya untuk tetap bergabung di jaringan bimbingan belajar kami yang sudah dikembangkan selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya ada satu titik dimana aku menyerah menawarinya bergabung. Mengingat ia mengandung. Aku jadi teringat mendiang istriku saat itu. Aku memahami kekhawatiran suaminya dan keinginannya untuk selalu dekat dengan istrinya. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Apalagi mengingat saat aku kehilangan Tania.

Hari itu terakhir kalinya aku menawarinya untuk tetap bergabung, hari itu pula semua mimpinya direnggut paksa oleh keadaan. Sekuat apa dirimu hingga kamu tetap biasa menghadapi semuanya dengan ketenanganmu. Apakah hatimu sekuat sikapmu, Riani Abhimaya?

Aku bersyukur bahwa Tuhan memiliki rencananya mempertemukan aku lagi denganmu. Kak Lian yang melahirkan anak ketiganya di rumah sakit ini, membuatku jadi bertemu dengan sahabat lamaku. Aku juga berterima kasih pada putri kecilku, Ruby, yang secara tak sengaja menemukan Riani.

Bagai oase di padang pasir. Aku seolah kembali bersemangat untuk hidup dengan menjaga Riani. Aku merasa diberi Tuhan kesempatan untuk menjaga wanita yang dulu tak sempat aku rawat dengan baik.

Sudah lima hari berturut-turut aku menemaninya. Menyuapinya, membantunya melakukan apapun, termasuk menyeka keringatnya. Tak ada yang dapat dia lakukan karena tubuhnya benar-benar lumpuh total.

"Akhir minggu nanti lo gak perlu dateng. Ada yang jaga gue. Lo sebenernya juga gak perlu tiap hari kesini, Sam. Lo kerja malah keganggu gue terus. Gue ada suster kok yang bisa bantuin gue," protes Riani.

"Gue butuh suasana baru, Ri. Bosen gue di kantor," ucapku menjawab sekenanya.

"Mana ada! Lo gak bakalan fokus kalo kerja disini. Lo ngapain sih kesini tiap hari?"

"Mau ngeribetin lo. Karyawan gue gak ada yang bisa diajak diskusi seasik lo," jawabku mencoba meyakinkan Riani.

Akhir-akhir ini aku memang sengaja mengajak Riani berdiskusi berbagai hal agar Riani tak bosan.

"Lo tuh! Ngerepotin gue aja. Udah tau gue lagi sakit. Masih aja diajak mikir!" ucap Riani sambil mencebik, membuatku tersenyum geli dengan ekspresinya yang tak pernah berubah.

Aku mendekat ke arahnya. Mencubit gemas pipinya dan menangkupnya. Tak mungkin ada perlawanan darinya membuatku jadi makin bersemangat mengerjainya dengan menarik hidung mancung Riani.

"Iiihh! Sam!" teriaknya histeris.

Aku menghentikan semua kegiatanku. Tanpa sengaja pandangan mata kami bertemu dan membuatku menatap lekat Riani. Ku susuri setiap jengkal wajahnya yang kini banyak berubah. Aku rasa dulu garis wajah Riani tak seperti ini. Wajahnya kini terlihat lebih tirus dengan warna kulit pucat. Cekungan di matanya pun terlihat jelas.

Sesaat kemudian Riani memalingkan wajahnya dariku. Wajah itu tiba-tiba terlihat muram setelah adegan saling pandang kami dengan jarak yang cukup dekat. Aku tahu, pasti canggung rasanya.

"Jangan liat-liat gue kayak gitu! Ntar lo naksir sama gue!" ucap Riani terdengar ketus.

"Kalo gue emang naksir, gimana?" tanyaku sambil menatapnya lekat.

Mata kami kembali beradu saat ini. Aku menatap lekat manik mata Riani yang terlihat tak bercahaya. Seperti orang yang sudah lama menenggelamkan harapan hidupnya. Mungkin semangat hidupnya memang sudah luntur sejak lama. Bahkan mungkin tidak pernah ada.

"Apa yang lo naksirin dari wanita yang cuma bisa rebahan, Sam? Jangan bercanda. Itu gak lucu," ucap Riani terdengar tenang, tanpa tekanan dan tanpa emosi apapun.

Aku mendekatkan wajahku. Menatap lekat wajah sahabat lamaku itu dengan seksama.

"Lo masih cantik, Ri. Secantik pertama kali gue kenal sama elo."

Tiba-tiba hawa terasa panas di sekitarku. Mungkin karena jarak diantara kami yang  terlalu dekat. Hingga aku bisa merasakan helaan nafas Riani di kulit wajahku.

Sial! Kenapa aku menggoda temanku yang sakit hingga begini?!

Mata Riani mengerjap beberapa saat. Ia kemudian dengan cepat menghadap ke arah lain.

"Gue geli dengernya. Jangan deket-deket! Tangan gue mungkin gak bisa nabok elo. Tapi gue masih bisa gigit hidung lo! Minggir!" tukasnya tak senang.

Aku tertawa terbahak mendengar suara mengomelnya yang rasanya masih sama. Bertenaga dan tak terduga. Memang hanya dia satu-satunya yang tak pernah terbawa perasaan karena tingkahku. Setiap kali keadaan romantis tercipta diantara kami. Ia selalu melakukan komedi yang membuat kami keluar dari situasi canggung dan kembali berteman seperti biasa.

Aku pikir Riani sudah berubah karena kondisinya. Ternyata tidak, ia masih Riani yang sama. Riani yang berapi-api jika mendengar ide-ide konyolku. Riani yang selalu menyenangkan.

"Inget ya, Sam! Gue masih istri orang. Gak boleh naksir-naksir istri orang!"

Aku berdecak mendengar kalimat itu. Pria brengsek itu lagi yang disebut.

"Mana ada? Dia gak pernah kesini lagi kan? Dua tahun lo kayak gini dan dia gak ada. Masih aja sih ngarepin manusia kayak begitu?"

"Sam, selama Reval gak mengucapkan cerai di depan gue. Selama dia gak kirim surat cerai ke gue. Itu berarti gue masih sah istri Reval. Jadi, please! Tolong banget, jangan bercanda kayak gini lagi. Kita udah gak di umur yang bisa bercanda kayak gini," ucap Riani yang terdengar lelah di telingaku.

Aku hanya bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya. untuk meredakan rasa tak nyaman dalam dadaku. Entah mengapa setelah ucapan Riani itu, dadaku terasa sesak. Bukan karena penolakannya untuk bercanda denganku. Tapi karena ia masih saja memikirkan pria yang sudah tega meninggalkannya dalam kondisi seperti ini.

Apa baiknya seorang pria yang menelantarkan dan meninggalkan istrinya dalam kondisi seperti ini? Apalagi yang perlu ditunggu dari pria yang melarikan diri dari tanggungjawabnya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status