Share

Bukan Cinta Satu Malam
Bukan Cinta Satu Malam
Author: Liachuu

1. Patah hati

Satu, dua, tiga, hingga beberapa langkah selanjutnya terus menerus gadis itu hitung. Senyuman yang merekah terus terlihat di bibir cherry-nya. Kaki jenjang yang terekspos karena memakai dress yang berbatas beberapa centi di atas lututnya itu terus melangkah dengan bersemangat. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuknya memasuki rumah yang sudah selama ini dia tempati. Nyatanya, kembali ke rumah setelah beraktivitas seharian adalah hal yang sangat menyenangkan. Bahagia sekali.

Sebenarnya tidak hanya itu. Valeryn senang bukan hanya karena bisa pulang ke rumah sebelum gelap tiba. Tapi, karena dia akan bertemu dengan pria yang sudah beberapa minggu ini tidak ditemuinya. Nathan, sang kekasih. Akan ada hal lain yang juga akan dia katakan padanya selain kata rindu.

"Baby, kau sudah pulang?"

Valeryn tersenyum. Baru saja dia membuka pintu dan berjalan masuk. Kekasihnya sudah bertanya dengan tubuh yang dia bangkitkan dari duduknya. Merentangkan tangan untuk menyambut kedatangan Valeryn.

"I miss you so much, By," ucap Valeryn bersamaan dengan kaki yang berlari kecil untuk menghamburkan tubuhnya pada sang kekasih.

Keduanya saling berpelukan. Saling mengatakan kerinduan satu sama lain melalu pelukan hangat tersebut.

"Sudah sampai sejak tadi?" tanya Valeryn sekali lagi dengan sebuah senyuman di sana. Bersamaan dengan pelukan yang sudah dilepaskan.

Nathan mengangguk. "Sejak siang tadi."

Valeryn kemudian mengajak pria itu untuk kembali duduk bersamanya. "Beberapa hari ini, kenapa sulit sekali dihubungi, hm? Begitu sibuk?" tanya Valeryn yang sudah duduk menyamping untuk menatap pria di hadapannya. Senyuman tak pernah lepas di bibirnya karena bisa kembali menatap wajah yang selalu dia rindukan.

Nathan tak menjawab. Pria itu malah menatap Valeryn dalam. Sorot mata yang tidak bisa ditebak oleh Valeryn sendiri. Hingga beberapa saat berikutnya, Nathan menarik tubuh Valeryn, menuntun gadis itu untuk duduk di atas pangkuannya. Seperti biasa, Valeryn menurut.

"Rindu. Rindu sekali," rapal Nathan dengan tangan yang sudah melingkar di pinggang ramping Valeryn. Wajahnya sudah mendekat, hingga dapat bertemu dengan lengan atas Valeryn. Memberikan beberapa kecupan di sana.

Valeryn tentu tersenyum lebar. Entah kenapa hal seperti ini terasa menjadi candu untuknya. Sentuhan-sentuhan lembut yang Nathan berikan mampu untuk menumbuhkan bunga-bunga di hatinya. Tentu dengan beberapa kupu-kupu yang juga ikut berterbangan di sana.

"Nath," panggil Valeryn bersamaan dengan tangan miliknya yang dilingkarkan pada leher Nathan. Menatap pria di bawahnya dengan lekat. Menunjukan jika saat ini sangat ingin berbicara dengan serius.

"Hm?" Nathan menyahut dengan cepat. Membalas tatapan itu tak kalah dalam.

"Apa kau menginginkanku?" Valeryn bertanya dengan setengah berbisik. Menekankan beberapa kata di sana.

Nathan menahan senyumnya. Tanpa perlu dia menjawab juga Valeryn pasti tahu jawaban yang dia pikirkan. Untuk pertanyaan Valeryn, dia paham kalau menginginkan di sini adalah menginginkan dalam tanda kutip. Sedikit heran juga sebenarnya saat mendengar pertanyaan ini dari Valeryn. Pasalnya, selama dua tahun dalam hubungannya ini, Nathan belum pernah mendapatkan apa yang dia inginkan dari Valeryn.

"Kurasa kau sedang kehilangan kendali dirimu sendiri, Valeryn. Apa kau mabuk sebelum pulang?" tanya Nathan dengan tangan yang bergerak menyalipkan rambut yang sedikit menghalangi wajah Valeryn.

"No! Aku sadar seratus persen. Kalau kau menginginkanku, aku akan memberikannya padamu." Valeryn berbicara dengan seduktif di sana. Jemarinya digerakkan untuk menyusuri wajah hinga semakin turun melalui leher, dan dada Nathan.

Nathan menaikan satu alisnya, terlihat bertanya-tanya akan ucapan Valeryn. Berpikir jika mungkin ini adalah puncaknya untuk menunggu, nyatanya menahan diri selama dua tahun ini memang sulit.

Dua tahun menjalan hubungan yang begitu datar. Oke, tidak sepenuhnya datar juga. Hanya saja memang tidak mencapai tahap bercinta. Pernah beberapa kali Nathan mengajak Valeryn, tapi beberapa kali juga dia di tolak. Valeryn sebenarnya lebih menginginkan hubungan yang tidak selalu tentang nafsu.

Lalu kali ini, tiba-tiba saja Valeryn mengatakan hal itu. Jelas membuat Nathan senang dan merasa janggal secara bersamaan. Pasti bukan tanpa alasan Valeryn membahas ini dan terlihat bersedia memberikan pertamanya untuk Nathan setelah berkali-kali menolak.

"Bagaimana jika aku bilang iya, Ryn?" Kini giliran Nathan yang bertanya.

"Then, do it!" ucap Valeryn begitu menantang.

"Valeryn, aku tahu kau bukan tipe orang yang seperti itu."

Tepat pada sasaran. Valeryn sedikit terdiam dengan ucapan dari Nathan.

Nathan menjadi ikut terdiam setelahnya. Menatap wajah polos wanita yang masih berada di atas pangkuannya. Mengusap pipi itu lembut.

"Ada hal yang ingin aku sampaikan. Mungkin ini akan sangat mengejutkanmu." Nathan berucap dengan tangan yang masih mengusap pipi Valeryn lembut.

Valeryn mengangguk semangat. Sebuah senyuman terlihat merekah di bibirnya. "Aku juga mau mengatakan sesuatu."

"Bolehkah aku yang terlebih dulu mengatakannya?" tanya Nathan menatap Valeryn lekat.

Valeryn segera menggeleng. Tidak bisa jika harus menunggu. "Ayo menikah. Nath, aku ingin menikah denganmu."

Bukannya berucap untuk menjawab pernyataan Valeryn, Nathan malah terdiam. Menatap Valeryn lekat, dengan mata yang memerah.

Melihat itu, senyuman Valeryn berangsur pudar. Merasa ada keanehan di sana. Bahkan, dia membangkitkan dirinya dari pangkuan Nathan, mengambil posisi untuk kembali duduk di samping Pria itu. Sekali lagi membuat Valeryn merasa situasi ini aneh. Karena kalau biasanya, Nathan pasti akan menahan tubuhnya. Berbeda dengan kali ini.

"Katakan yang ingin kau katakan. Apa ini berkaitan dengan ajakanku barusan?" tanya Valeryn tegas. Dia benar-benar merubah tatapannya.

Perlahan, Nathan  menjawab pertanyaan Valeryn dengan sebuah anggukan. Membuat Valeryn sedikitnya paham, apa pun itu yang akan dikatakan Nathan, pasti bukan sesuatu yang baik.

"Katakan sekarang." Sekali lagi Valeryn semakin menatap tajam ke arah Nathan. Berusaha terlihat tak bisa tergoyahkan, sama sekali tidak menunjukan ketakutan terhadap apa yang akan Nathan katakan sekalipun itu hal yang buruk.

"Aku, tidur bersama Alexa."

Valeryn terdiam. Meski begitu, tangannya meremat ujung dres yang dia kenakan. Meremat kuat hingga terlihat ujung kukunya memutih. Rahangnya mengeras, matanya semakin menajam seolah tengah menghunuskan pedang pada pria di hadapannya.

"Maafkan aku, dia yang terus menggodaku. Aku sama sekali tidak menyukainya. Bahkan, dia sering juga tidur dengan pria yang berbeda," ucap Nathan dengan tangan yang berusaha menarik tangan Valeryn ke dalam genggaman. Tentu yang dia dapatkan adalah tepisan yang kuat.

Helaan nafas kasar terdengar dari bibir Valeryn. "Keluarlah."

"Valeryn, dengarkan aku dulu." Nathan turun dari duduknya. Berlutut tepat di hadapan Valeryn.

Valeryn terlihat mengangguk-anggukan kepalanya tipis. "Okay, aku yang keluar. Lagipula memang ini bukan sepenuhnya rumahku."

Tanpa berbasa basi Valeryn segera bangkit dari duduknya. Tidak ada air mata. Kekecewaan ini terlalu dalam hingga tak mampu membuatnya menangis. Terlalu menyakitkan sampai rasanya tidak mampu lagi mengeluarkan air mata.

"Valeryn, please. Aku tahu aku salah. Jangan seperti ini, kau bahkan tidak punya tujuan bukan?"

Valeryn berbalik, menghadap Nathan yang kini berdiri di belakangnya. Sebuah senyuman miring dia tunjukan. Tertawa remeh pada pria di hadapannya. "We are over now! Ini adalah akhir dari hubungan kita berdua."

"Kau mau seperti ini? Kau mau memutuskan hubungan kita yang sudah selama ini kita bangun? Aku paham aku bersalah, tapi aku bisa berubah. Kau tahu kita tak bisa berpisah. Aku dan kau saling mencintai. Ingat itu, kita sudah bersama selama ini. Aku juga tidak akan semudah itu mengiyakan ajakan Alexa jika saja kau tidak selalu menolakku untuk tidur bersamamu."

Valeryn terkekeh. Lagi-lagi pria yang selama ini menyandang status sebagai kekasihnya itu tetap bersikap manipulatif.

"Aku tidak takut lagi. Aku bisa berpisah darimu."

Dan kata itu, adalah kata terakhir yang Valeryn ucapkan sebelum akhirnya berjalan dengan cepat keluar dari rumahnya, ah ralat, bukan rumahnya karena rumah itu dia beli bersama Nathan. Tentu pria itu yang lebih memiliki kontribusi besar.

Valeryn bahkan mengabaikan panggilan Nathan yang terus terdengar. Valeryn bertekad, tidak akan sekalipun menoleh karena di tahu sekali dia menoleh maka dia akan kembali bertindak bodoh.

Nyatanya, rencana pernikahan yang pernah dia bayangkan bersama Nathan sekarang sirna begitu saja. Beberapa tepukan di dadanya hanya membuat rasa sesak itu semakin nyata. Bohong kalau dia tidak merasakan sakit pada hatinya. Meski air mata itu tak kunjung keluar, bukan berarti dia tidak menangis di dalam hatinya.

"Rose, ayo berlibur bersama. Aku akan memesan dua tiket ke Hawaii. Besok, kita berangkat," ucap Valeryn pada ponsel yang dia dekatkan pada bibirnya. Mengirim sebuah pesan suara untuk Rose, sahabatnya.

Valeryn meghela nafasnya dalam dengan kepala yang sedikit mendongak. Menahan air mata yang mungkin bisa terjatuh kapan saja.

'Lebih baik menyembuhkan diri dengan cepat dari pada harus berlarut dalam kesedihan bukan?'

Atau mungkin, Valeryn hanya melarikan diri dari rasa sakit yang ada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status