Share

Bag 08. Harapan Dava.

»»»»

    Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan.

"Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!" 

"Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!" 

"Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu.

"Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang.

"Lo mau kemana?" Cia tak menanggapi ucapan Dava sama sekali. Hanya terus mengendarai mobilnya dalam diam, "gue lagi tanya! Lo mau kemana?"

"Berisik ya lo!" Cia sudah menahan kesabarannya sejak tadi. Dengan segera memarkirkan mobilnya di tepi jalan. "Turun lo!" Tanpa menatap Dava, Cia meminta Kakak tirinya itu untuk turun.

"Ogah!"

"Gue banyak urusan. Turun sekarang, atau ..."

"Gebukin gue sesuka lo! Asalkan lo cerita sama gue, apa yang lo lakuin di hotel tadi!" Cia berdecih.

"Gue kerja! Puas lo, sekarang keluar! Turun dari mobil gue!" Cia menendang dan memukul Dava dengan sekuat tenaga.

"Kerja? Lo kerja apa!" Dava berucap sambil menahan tendangan dan juga pukulan yang di layangkan Cia. Dia semakin curiga saja, Cia bekerja di hotel itu? Kerja apa?

"Bukan urusan lo, gue udah jawab Pertanyaan lo, jadi sekarang keluar!" Cia berucap marah. "Keluar gue bilang, bang*at!"

"Ok! Ok gue keluar!" Dava akhirnya keluar dari mobil Cia dengan luka lebam di beberapa bagian lengannya. Cia tenaganya memang bukan main-main. "Dia tuh keturunan hulk deh kayaknya!" gerutu Dava sambil mengusap lengan kirinya yang semakin membiru.

****

      Dava memarkirkan sepeda motornya di pelataran rumah. Padahal hari sudah malam dan hampir menjelang tengah malam. Akan tetapi, dia tak melihat mobil Cia terparkir di garasi. Apa gadis itu belum pulang juga? Padahal dia pikir, setelah menendangnya keluar dari mobilnya siang tadi, Cia langsung pulang ke rumah.

   Dava tadi mampir ke rumah Iqbal dan malah jadi nongkrong di cafe bersama yang lain hingga malam. Walaupun dia jarang keluar saat malam, tapi sesekali dia juga bosan dan memilih nongkrong bersama Iqbal dan yang lainnya. Saat sedang melepas helm, suara klakson mobil terdengar nyaring di belakang motor Cia.

"Minggir!" Cia melotot marah menatap Dava.

"Lo kan bisa parkir di sana!" Dava menunjuk parkiran yang sedikit masuk kedalam.

"Ogah! Lo aja sana!" Cia kembali membunyikan klakson.

"Iya! Iya berisik woi! Udah malem nih!" Dava akhirnya tak jadi melepas helm yang masih terpasang di kepalanya, lalu memindahkan sepeda motornya. Cia tampak keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah setelah mengunci mobilnya. Dava berlari mengejar untuk mengikuti adiknya itu.

"Ci, lo abis dari mana?"

"Bukan urusan lo!" Cia berjalan ke arah lift, Dava segera ikut masuk, karena kamar mereka memang berada di lantai yang sama. Cia tampak cuek dengan tampilan yang berantakannya itu. Rambutnya tergerai tak rapi, jaket hitam yang dia pakai hanya menutupi sampai atas pusar dengan tank top warna abu-abu. Dan celana jeans hitam dengan model robek-robek di bagian paha sampai lutut. Benar-benar penampilan yang sangat berantakan.

"Lo abis dari mana, Ci!" Cia tak menanggapi, bahkan melirikpun tidak. Pintu lift terbuka dan keduanya berpas-pasan dengan Diana. Mama kandung Cia yang sejak dulu tak pernah akur dengan Cia, tepatnya sejak Diana menikah dengan Radith, Papa kandung Dava.

"Mama ngapain?" Dava langsung menyalami Diana begitu cowok jangkung itu keluar dari lift.

"Kamu dari mana?" Cia melirik Diana sesaat, berdecih sebelum pergi meninggalkan Dava dan Diana di depan lift.

"Abis nongkrong sama Iqbal."

"Lain kali, jangan pulang larut gini. Nggak baik buat kesehatan!"

"Iya, Ma. Dava ke kamar dulu ya, Ma. Gerah mau mandi!"

"Ya udah sana, kamu udah makan?"

"Udah kok tadi."

"Ya sudah, Mama juga mau turun. Papa kamu pasti udah tidur."

"Ya, Ma." Dava pergi menuju kamarnya, sebelum itu, si cowok dengan manik abu itu menatap kamar adiknya yang berada di seberang kamarnya, di batasi ruang bermain game. "Kapan kita bisa main di sini bareng, Ci!" Dava menghela napasnya sambil menatap ruang game yang sejak dulu memang di buat untuk Dava dan Cia. Namun, mereka justru sekalipun tak pernahkan bersama di ruangan itu, hanya Dava seorang yang sering bermain di ruangan itu sambil berharap Cia keluar dari kamarnya dan bermain bersama dengannya.

"Semoga aja, kita bisa punya waktu main di sini suatu saat!" Harap Dava sebelum masuk ke dalam kamarnya. Kamar cowok itu terlihat rapi, dengan dinding berwarna putih di padukan dengan warna cokelat. Terlihat klasik dan juga modern di saat yang bersamaan. Di setiap kamar memiliki ruangan tersendiri di dalamnya.  Di kamar Dava  ada ruangan khusus yang sengaja Radith buat untuk di gunakan Dava. 

    Radith bilang, terserah Dava menggunakannya untuk apa. Dan Dava memilih menggunakan ruangan itu untuk di jadikan perpustakaan sekaligus ruang game. PS2, PS3, PS4 bahkan sampai PS9. Semua lengkap tersedia di ruangan itu. Iqbal, sebagai sahabat Dava sering main di rumah Dava, dan dia selalu betah jika sudah main di kamar sahabatnya itu. Dava membuka ruangan itu perlahan, terasa hampa dan dia sangat bosan dengan perasaan itu. 

    Dava sering membayangkan dirinya dan Cia bermain bersama, tertawa dan juga saling berbagi cerita. Pasti sangat mengasyikkan.

****

To be Continue ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status