»»»»
Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan.
"Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!"
"Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!"
"Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu.
"Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang.
"Lo mau kemana?" Cia tak menanggapi ucapan Dava sama sekali. Hanya terus mengendarai mobilnya dalam diam, "gue lagi tanya! Lo mau kemana?"
"Berisik ya lo!" Cia sudah menahan kesabarannya sejak tadi. Dengan segera memarkirkan mobilnya di tepi jalan. "Turun lo!" Tanpa menatap Dava, Cia meminta Kakak tirinya itu untuk turun.
"Ogah!"
"Gue banyak urusan. Turun sekarang, atau ..."
"Gebukin gue sesuka lo! Asalkan lo cerita sama gue, apa yang lo lakuin di hotel tadi!" Cia berdecih.
"Gue kerja! Puas lo, sekarang keluar! Turun dari mobil gue!" Cia menendang dan memukul Dava dengan sekuat tenaga.
"Kerja? Lo kerja apa!" Dava berucap sambil menahan tendangan dan juga pukulan yang di layangkan Cia. Dia semakin curiga saja, Cia bekerja di hotel itu? Kerja apa?
"Bukan urusan lo, gue udah jawab Pertanyaan lo, jadi sekarang keluar!" Cia berucap marah. "Keluar gue bilang, bang*at!"
"Ok! Ok gue keluar!" Dava akhirnya keluar dari mobil Cia dengan luka lebam di beberapa bagian lengannya. Cia tenaganya memang bukan main-main. "Dia tuh keturunan hulk deh kayaknya!" gerutu Dava sambil mengusap lengan kirinya yang semakin membiru.
****
Dava memarkirkan sepeda motornya di pelataran rumah. Padahal hari sudah malam dan hampir menjelang tengah malam. Akan tetapi, dia tak melihat mobil Cia terparkir di garasi. Apa gadis itu belum pulang juga? Padahal dia pikir, setelah menendangnya keluar dari mobilnya siang tadi, Cia langsung pulang ke rumah.
Dava tadi mampir ke rumah Iqbal dan malah jadi nongkrong di cafe bersama yang lain hingga malam. Walaupun dia jarang keluar saat malam, tapi sesekali dia juga bosan dan memilih nongkrong bersama Iqbal dan yang lainnya. Saat sedang melepas helm, suara klakson mobil terdengar nyaring di belakang motor Cia.
"Minggir!" Cia melotot marah menatap Dava.
"Lo kan bisa parkir di sana!" Dava menunjuk parkiran yang sedikit masuk kedalam.
"Ogah! Lo aja sana!" Cia kembali membunyikan klakson.
"Iya! Iya berisik woi! Udah malem nih!" Dava akhirnya tak jadi melepas helm yang masih terpasang di kepalanya, lalu memindahkan sepeda motornya. Cia tampak keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah setelah mengunci mobilnya. Dava berlari mengejar untuk mengikuti adiknya itu.
"Ci, lo abis dari mana?"
"Bukan urusan lo!" Cia berjalan ke arah lift, Dava segera ikut masuk, karena kamar mereka memang berada di lantai yang sama. Cia tampak cuek dengan tampilan yang berantakannya itu. Rambutnya tergerai tak rapi, jaket hitam yang dia pakai hanya menutupi sampai atas pusar dengan tank top warna abu-abu. Dan celana jeans hitam dengan model robek-robek di bagian paha sampai lutut. Benar-benar penampilan yang sangat berantakan.
"Lo abis dari mana, Ci!" Cia tak menanggapi, bahkan melirikpun tidak. Pintu lift terbuka dan keduanya berpas-pasan dengan Diana. Mama kandung Cia yang sejak dulu tak pernah akur dengan Cia, tepatnya sejak Diana menikah dengan Radith, Papa kandung Dava.
"Mama ngapain?" Dava langsung menyalami Diana begitu cowok jangkung itu keluar dari lift.
"Kamu dari mana?" Cia melirik Diana sesaat, berdecih sebelum pergi meninggalkan Dava dan Diana di depan lift.
"Abis nongkrong sama Iqbal."
"Lain kali, jangan pulang larut gini. Nggak baik buat kesehatan!"
"Iya, Ma. Dava ke kamar dulu ya, Ma. Gerah mau mandi!"
"Ya udah sana, kamu udah makan?"
"Udah kok tadi."
"Ya sudah, Mama juga mau turun. Papa kamu pasti udah tidur."
"Ya, Ma." Dava pergi menuju kamarnya, sebelum itu, si cowok dengan manik abu itu menatap kamar adiknya yang berada di seberang kamarnya, di batasi ruang bermain game. "Kapan kita bisa main di sini bareng, Ci!" Dava menghela napasnya sambil menatap ruang game yang sejak dulu memang di buat untuk Dava dan Cia. Namun, mereka justru sekalipun tak pernahkan bersama di ruangan itu, hanya Dava seorang yang sering bermain di ruangan itu sambil berharap Cia keluar dari kamarnya dan bermain bersama dengannya.
"Semoga aja, kita bisa punya waktu main di sini suatu saat!" Harap Dava sebelum masuk ke dalam kamarnya. Kamar cowok itu terlihat rapi, dengan dinding berwarna putih di padukan dengan warna cokelat. Terlihat klasik dan juga modern di saat yang bersamaan. Di setiap kamar memiliki ruangan tersendiri di dalamnya. Di kamar Dava ada ruangan khusus yang sengaja Radith buat untuk di gunakan Dava.
Radith bilang, terserah Dava menggunakannya untuk apa. Dan Dava memilih menggunakan ruangan itu untuk di jadikan perpustakaan sekaligus ruang game. PS2, PS3, PS4 bahkan sampai PS9. Semua lengkap tersedia di ruangan itu. Iqbal, sebagai sahabat Dava sering main di rumah Dava, dan dia selalu betah jika sudah main di kamar sahabatnya itu. Dava membuka ruangan itu perlahan, terasa hampa dan dia sangat bosan dengan perasaan itu.
Dava sering membayangkan dirinya dan Cia bermain bersama, tertawa dan juga saling berbagi cerita. Pasti sangat mengasyikkan.
****
To be Continue ....
»»»» Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia. "Gue nebeng ya!" "Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. "Motor gue di bengkel." "Terus?" "Ya ... gue nebeng sama lo lah!" "Ogah!" "Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!" "Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya. "Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana. &nbs
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
»»»» Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa."Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?""Nggak perlu, dah sana balik!""Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!""Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!""Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus."Tunggu!"