»»»»
Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia.
"Gue nebeng ya!"
"Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava.
"Motor gue di bengkel."
"Terus?"
"Ya ... gue nebeng sama lo lah!"
"Ogah!"
"Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!"
"Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya.
"Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana.
"Kalian sudah mau berangkat?" Pertanyaan Radith membuat Dava segera menoleh.
"Iya, Pa. Tapi Cia nggak mau nganter Dava!" Dava manja hanya pada Radith. Dia itu anak satu-satunya Radith. Pengusaha terkaya no 3 di Indonesia yang namanya sudah meradang kemana-mana.
"Memang motor kamu kemana?" Diana yang bertanya. Sebenarnya, sejak dulu Dava bingung melihat interaksi antara Diana dan Cia. Benar-benar sangat aneh.
"Lagi di beng ... kel! Eh cia tunggu!" Cia berlari keluar setelah pintu lift terbuka. Tak lupa dia menendang tong sampah yang berada di dekat pintu lift untuk menghalangi Dava yang ingin mengejarnya. Saat Dava berhasil melompati tong sampah itu, Cia sudah keluar dari rumah, dengan suara mobilnya yang menjauh.
"Aaah, Cia!" Teriak Dava kesal.
"Ya sudah, kamu pakai mobil Mama saja!" Diana memberikan kunci mobil miliknya.
"Terus, Mama gimana?" Dava menatap Diana ragu.
"Ada papa kamu, khawatirkan apa!" Diana terkekeh pelan. Radith tersenyum, lalu merangkul istrinya.
"Mama benar, sudah sana kamu berangkat. Nanti terlambat!"
"Ya udah, Pa, Ma. Dava berangkat dulu!"
Dava segera berangkat ke sekolah, mengendarai mobil SUV milik Diana. Dava sangat menyayangi Diana, dia kagum pada Mama tirinya itu, dia sosok yang mandiri dan juga tangguh. Walaupun Papanya menyarankan Diana untuk mempekerjakan seorang supir, Diana selalu menolak dan berkata bahwa itu tidak perlu, Diana bisa menyetir sendiri dan dia lebih nyaman bila mengendarai mobilnya sendiri. Beda dengan Radith yang selalu bersama supir.
Sesampainya Dava di sekolah, cowok itu berapas-pasan dengan Yejun. Cowok itu masih memakai mobil hammer miliknya, dengan gaya ala-ala korea yang memang cocok untuknya.
"Baru dateng juga?" Dava menyapa.
"Iya!" Yejun mengangguk kaku. Dava pernah menolongnya sekali saat Cia memukulinya, jika tak ada Dava, mungkin Yejun sudah babak belur di hajar Cia.
"Lo tetangga kelas gue, kalo nggak salah." Dava membenarkan letak tas ransel yang dia pakai.
"Kayaknya!" Dava terkekeh.
"Santai aja kali. Gue bukan Cia, nggak usah kaku gitu!" Yejun tersenyum canggung. Dia juga ingin punya teman di sekolah itu, tapi sifat cuek dan dingin yang sudah ada pada dirinya, membuat teman sekelas Yejun enggan untuk dekat dengannya, terlebih, sesaat setelah dirinya masuk, dia sudah membuat masalah dengan Cia.
"Gimana sekolah di sini?" Keduanya mengobrol sambil berjalan beriringan menuju kelas mereka yang bersebelahan.
"Lumayan ... aneh!" Dava tertawa, lalu menepuk bahu Yejun.
"Gara-gara Cia? Dia itu emang aneh sih, tapi sebenernya dia baik, kok." Yejun hanya mengangguk, lalu menghentikan langkahnya, lalu menatap Dava.
"Baik ... ya!" Dava ikut menoleh ke depan. Cia sedang menyudutkan seorang gadis di dinding. Gadis itu tampak ketakutan sambil terus menatap mata cia dengan tubuh gemetar. Dava segera berlari mendekat. "Dia bakal minta maaf lagi buat adiknya?" Yejun sebenarnya tidak suka sifat Dava. Kenapa Dava harus meminta maaf atas kesalahan yang bukan di sebabkan olehnya.
"Cia! Lo ngapain?" Cia menoleh, mendengus dan langsung pergi begitu saja. Bosan rasanya membuat keributan dengan Dava. Dava membiarkan Cia berlalu, dan mendekati gadis yang sedang tersudut tadi. "Lo nggak apa-apa?" Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, sadar saat melihat Yejun juga ada di belakang Dava.
"Ng.nggak apa-apa kok, Kak!"
"Kak? Lo kelas 10? Jarang banget Cia bikin masalah sama adek kelas."
"Eh' gue kelas 11 kok!" Gadis itu yang tadinya bersandar pada tembok langsung berdiri dengan tegak. Tingginya hanya sebatas dada Dava. Lebih kecil dari pada Cia, maka dari itu Dava pikir, gadis itu adalah adik kelas.
"Oh, seangkatan!" Dava jadi canggung. Karena bertubuh kecil, jadi Dava pikir gadis itu adik kelasnya.
"Iya, gue sekelas sama Cia, bahkan duduk semeja!" Kian berucap ceria, sepertinya ketakutannya sudah hilang. Mungkin berkat kehadiran Yejun yang masih berdiri di belakang Dava. Yejun juga penasaran, mengapa Cia membully teman sekelasnya.
"Lo temen sekelasnya Cia? Lo di apain sama dia?"
"Gue tadi cuma minta di anter ke perpus, tapi dia nggak mau." Dava menatap Kian sesaat lalu menggeleng pelan.
"Lo jauh in Cia deh!"
"Kenapa?" Kian menatap Dava dengan tak suka, tak seceria sebelumnya, "kenapa semua orang bilang hal yang sama? Cia juga butuh temen, pasti dia juga kesepian. Kalian nggak tau apa-apa soal Cia! Walaupun dia nyimpen kesedihannya sama kelakuannya, sebenernya dia itu kesepian dan menderita!" Dava menatap Kian datar. Mana mungkin seperti itu, Cia itu dari lahir memang sudah brutal.
"Gue cuma nggak mau kalo lo dapet masalah karena Cia." Cowok manik abu itu menepuk bahu Kian sekali, "kalo lo mau, gue nggak bisa apa-apa. Tapi, gue kasih saran, jangan pernah ucapkan kalimat itu depan Cia, adek gue itu nggak bakal terima omongan gituan!"
"Eh' L.lo kakaknya Cia?" Kian menutup rapat bibirnya, Dava mengangguk sambil tersenyum.
"Kalo gitu, kita duluan! Ayo," ajaknya pada Yejun yang sudah siap melangkah di samping Dava. Kian merutuki kebodohannya. Bukankah apa yang barusan dia lakukan itu nekat? Dia mengatakan hal aneh di depan kakak orang yang sedang dia bicarakan.
"Kian bodoh!" Kian memukul kepalanya sendiri. Harusnya dia tau kalau Cia memiliki Kakak di sekolah itu. Habisnya tidak ada yang memberi tahu dirinya.
»»»»
Malam ini Cia sedang malas keluar. Bukan malas, tapi dia sedang menghindari kejaran Ferry yang terus-terusan meminta dirinya untuk menghadiri meeting di luar negri bersama pria itu. Besok malam mereka berangkat, tapi Cia memang tidak ingin pergi, alhasil dia memilih tinggal di rumah malam ini agar Ferry tidak mendesak nya terus menerus.
"Tumben!" Dava langsung duduk di samping kursi Cia. Saat ini, Cia memang sedang duduk di kursi makan, sambil mengutak atik laptop di depannya.
"..." seperti biasa, Cia tak menanggapi, justru sibuk menonton.
"Nonton apa?" Dava ikut mendekat dan melihat tontonan adiknya. Film bergenre action tengah terputar di laptop adiknya. "Seru juga, ikutan dong!" Cia sedang malas berdebat, dia hanya menggeser laptop miliknya agar Dava tidak bisa melihat tontonannya.
"Kalian di sini!" Radith duduk di kepala kursi. Menatap kedua anaknya yang tampaknya sedang berebut laptop.
"Papa, sini Pa, nonton bareng sama Cia!" Dava menginterupsi Radith agar mendekat. Radith hanya menatap putrinya dalam diam. Sedikit canggung karena tiba-tiba Cia menyerahkan laptop miliknya begitu saja kepada Dava.
Cia akhirnya mengalah dan ingin meninggalkan ruang makan saat suara Radith menginterupsi. "Besok malam, apa kamu ada acara?" Pertanyaan yang di ajukan Radith membuat Cia menoleh.
"..."
"Jika kamu tidak memiliki acara, saya ingin mengajak kamu makan malam bersama relasi bisnis saya. Mereka ingin bertemu kalian!" Radith menatap kedua anaknya sambil tersenyum.
"Nggak tertarik!" Cia berbalik, mengambil laptop yang masih ada di depan Dava lalu membawanya ke kamar. Dava mendengus kesal.
"Gue juga mau ikut nonton Cia!" Dava berlari mengejar Cia. Radith menghela napasnya, sulit sekali menaklukan Cia, padahal 10 tahun sudah berlalu, tapi Cia masih saja menjauhi dirinya, menjaga jarak bahkan menghindarinya. Dia hanya ingin dekat dengan anak tirinya itu, Radith juga menyayangi Cia sepeti dirinya menyayangi Dava.
»»»»
To be Continue .....
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
»»»» Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa."Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?""Nggak perlu, dah sana balik!""Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!""Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!""Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus."Tunggu!"
»»»» Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya?" "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!" "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?" "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!" "Kamu biarin dia gitu aja?" "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka." "Gevin?" "Temen sekelas D