Share

Bukan Gadis Simpanan Sugar Daddy
Bukan Gadis Simpanan Sugar Daddy
Penulis: Yeny Yuliana

1. Taruhan

Lucia menatap menerawang dengan kedua tangan terlipat di kusen jendela rumah sakit. Pemandangan gedung-gedung itu sama sekali tidak dapat menghibur hati yang dipenuhi perasaan pilu.

Di usianya yang masih sangat belia dia terpaksa berhenti bersekolah karena musibah yang menimpa keluarganya secara bertubi-tubi; perusahaan ayahnya mengalami kebakaran hebat, ibu dan satu-satunya saudara perempuan yang dia miliki memutuskan untuk meninggalkan Lucia dan ayahnya setelah perusahaan Henry mengalami kebangkrutan. Mereka dengan cepat menggait pria kaya untuk dijadikan inang.

Kemalangan hidup seolah belum cukup puas untuk memaksanya menelan pil pahit, kini sang ayah, satu-satunya keluarga yang Lucia punya terbaring sakit akibat penyakit gagal ginjal.

"Lucia," panggil Henry dengan suarah lemah, sarat akan ketidak berdayaan.

Kedua mata gadis itu terbelalak karena tersentak. Maka dengan segera, Lucia menghapus air matanya.

"Ya, Ayah?" jawab Lucia sembari menghampiri ranjang tempat Henry terbaring. "Apa yang Ayah butuhkan?" wajah rupawan gadis itu menyunggingkan senyuman, tetapi dapat Henry rasakan jika di balik manik abu-abu Lucia tersimpan banyak kesedihan.

"Kau menangis?" tanya Henry sembari mengernyitkan dahi. Jalas sekali jika putrinya baru saja menangis. Lihatlah, bulu mata lentik Lucia terlihat masih basah dengan air mata.

Seketika dada pria berusia 58 tahun itu dipenuhi dengan perasaan sesak, yang mengundang air mata menggenangi kedua pelupuk matanya. Air mata Henry turun menganak sungai yang kini berpadu dengan isakan tangis.

"Ayah, kenapa Ayah menangis?" tanya Lucia panik sembari memegang tangan Henry yang bengkak.

"Maafkan, Ayah, Lucia," ucap Henry dengan nafas tersengal. "Ayah yang membuatmu menanggung semua beban sendirian."

"Berhenti menyalahkan dirimu, Ayah!" tegas Lucia dengan kilatan mata penuh amarah. Dia benci dengan kalimat yang selalu Henry ucapkan secara berulang, menyalahkan dirinya atas segala musibah yang menimpa mereka berdua.

Tanpa terasa air mata juga jatuh membentuk garis lurus di pipi Lucia, yang dengan cepat gadis itu seka dengan telapak tangan.

"Dengarkan aku, Ayah. Jika saat ini kau masih berjaya di atas usahamu sekalipun, aku akan tetap bekerja. Aku sangat berambisi untuk menjadi gadis mandiri, Ayah. Jadi aku mohon, berhenti menyalahkan dirimu."

Sekatika keheningan meruang. Hanya terdengar nafas dari Henry yang tersengal sembari menahan air mata yang memaksa lolos dari pelupuk mata. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah, sehingga dia membiarkan Lucia menjadi seorang hostess di sebuah kelab malam.

Semua orang tahu seperti apa kehidupan malam. Bukan tidak mungkin orang-orang akan melabeli Lucia sebagai seorang pelacur. Karena ketika seorang gadis memutuskan untuk mendaftar kerja sebagai pelayan, itu artinya mereka telah siap berurusan dengan sedikit pelecehan di dalam pekerjaan yang mereka jalani.

Tidak ada yang dapat Henry lakukan selain berpasrah dengan keadaan. Seluruh aset yang dia miliki habis tak bersisa. Hanya Lucia dan rumah merekalah harta berharga yang pria itu miliki saat ini.

..........

Di depan hamparan hingar bingar surga dunia yang seakan memanjakan setiap indera bagi penikmatnya, tiga pria sedang duduk sembari menunggu pesanan mereka diantar.

"Blue-Moon," seorang gadis berdiri di hadapan meja mereka bertiga sembari mengumumkan pesanan yang dia bawa.

Gadis itu meletakan pesanan yang dia bawa di hadapan masing-masing pria di sana. Satu di antara mereka menatap liar pada dada gadis itu, yang dengan sengaja membuka kancing atas kemejanya hingga tampak belahan dadanya.

"Berhenti menatapnya seperti itu, Eryk," Arvie menyiku lengan sahabatnya yang berhasil membuyarkan fantasi liar Eryk terhadap gadis pelayan barusan.

Eryk bedecih saat pelayan wanita itu pergi dari sana, sembari memukulkan jemarinya di atas meja.

"Aku bahkan belum mengucapkan basa-basi dengannya,"

Arvie dan Max saling mengerling satu sama lain, dan tertawa setelahnya.

"Kau baru dikatakan pria sejati jika bisa menjinakkan gadis berambut madu yang ada di sana," Arvie menunjuk seorang gadis hostess yang sedang berdiri dengan rekan lainnya. Wajah gadis itu sangat menarik. Dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan deretan hostess lain yang berdiri di sana.

Eryk menyeringai setelah mereguk minuman dari gelasnya. Dia menganggap bahwa dia akan dengan mudah mencuri perhatian gadis itu. Tak terhitung berapa banyak wanita yang bertekuk lutut dan melempar tubuh pada Eryk hanya dengan satu kedipan mata. Wajah rupawannya selalu berhasil menghipnotis wanita mana saja yang melihatnya.

"Apa yang akan aku dapat jika aku berhasil mendapatkannya?"

"Aku bertaruh $4000 jika kau berhasil mendapatkannya," ucap Arvie dengan yakin.

"Aku memasang $6000," Max meletakkan gelas kosong dengan sedikit menghentakkannya. Bibir pria itu menipis, seolah yakin jika Eryk akan gagal menjinakkan gadis berambut madu itu.

Arvie dan Max yakin, jika Eryk tidak akan memenangkan taruhan itu. Mengingat Lucia, nama gadis yang mereka maksud, bukanlah gadis yang mudah di taklukan. Dia bahkan terkenal sebagai satu-satunya gadis perawan di antara pekerja hostess yang ada di bar Queen Fortune.

"Jumlah yang tidak seberapa. Tapi, tidak apa. Aku membutuhkan hiburan yang menantang saat ini." Eryk berucap remeh.

Tak lama setelah itu Eryk melambai pada deretan hostess yang berdiri dengan gaun hitam seragam. Gadis-gadis itu tampak tertawa sembari bermain suit, siapa yang menang, dialah yang berhak mendatangi pria yang baru saja melambai ke arah mereka.

"Ini hari keberuntunganmu, Sofia," ucap seorang gadis bernama Sofia yang baru saja memenangkan suit. Gadis itu berjalan melenggok memainkan pinggang biolanya, mengundang perhatian para pria yang dilalui. Bunyi siulan membuat gadis itu semakin mengangkat wajah penuh percaya diri.

"Selamat malam, Tuan-tuan tampan, ijinkan aku memperkenalkan diri, namaku--" secara mendadak ucapan Sofia diinterupsi oleh Max. Gadis itu mengernyit saat tiga pria di sana menggeleng sembari menepuk dahi mereka masing-masing.

"Maaf, bukan kau yang kami maksud, tapi gadis berambut madu yang tadi berdiri bersebelahan denganmu," ucapan Arvie seketika membuat Sofia kecewa.

Arvie mengeluarkan dua lembar uang $100 untuk diberikan kepada gadis itu.

"Terimalah, dan tolong panggilkan gadis itu agar segera kemari," ucap Arvie dengan sebatang rokok terselip di antara bibirnya.

Raut cemberu Sofia seketika berubah dengan senyum semangat.

"Baik, Tuan, segera," Sofia tersenyum girang sebari berlari ke arah Lucia. Namun begitu dia tiba di hadapan gadis itu, senyumnya seketika berubah menjadi ekspresi dingin.

"Pengunjung di meja 40 memintamu datang ke sana, Lucia," ucap Sofia dengan suara datar, sarat akan ketidak sukaan terhadap Lucia.

Lucia tampak kebingungan saat menatap wajah para rekannya yang menatapnya dengan tatapan datar.

"Apa yang kau tunggu? Cepat pergilah ke sana!" gadis berambut merah terang yang diketahui bernama Gabriel meneriaki Lucia dengan mata melotot.

Lucia adalah gadis yang paling di benci oleh pekerja hostess lain. Kecantikan wajah yang gadis itu miliki adalah faktor utamanya. Alasan yang sebenarnya jauh dari kata masuk akal.

"Ah, baik," Lucia segera melenggangkan kakinya menuju meja nomor 40.

"Haa, kenapa selalu dia," gerutu Gabriel sembari melipat tangan di depan dada. Salah satu tangan lainnya terselip sebatang rokok yang masih menyala.

"Permisi, Tuan," sapa Lucia tanpa mengurangi kesopanan terhadap pengunjungnya sedikit pun.

"Duduklah," perintah Arvie yang semula duduk di sebelah Eryk. Pria itu menggeser duduknya ke kursi lain, mempersilahkan gadis itu untuk duduk di kursi yang semula dia duduki.

"Bisa segera dimulai, Mr.Eryk?" salah satu alis Max naik mendekati dahi.

Eryk berdeham sebelum memulai aksinya.

"Bolehkah aku tahu siapa namamu, sweet girl?" tanya Eryk dengan wajah dan senyum menggoda yang menjadi senjatanya dalam meluluhkan hati pada wanita.

"Namaku Lucia Magnolia." jawab Lucia singkat sembari melihat satu persatu wajah pria yang ada di hadapan.

"Ah, nama yang sangat cantik. Secantik parasmu, Babe," Eryk mencolek dagu Lucia yang seketika membuat gadis itu merona karena malu. Ketampanan Eryk membuat Lucia tidak memiliki keberanian lebih untuk menatap pria itu terlalu lama. Dia enggan mempertaruhkan hatinya untuk pria yang datang hanya untuk bersenang-senang.

"Berapa bayaran untuk sekali tidur denganmu?" tanya Eryk yang kini melipat kedua tangan di depan dada sembari bersandar pada sandaran kursi. Kedua mata pria itu menatap lurus kedua manik besar Lucia, dengan senyuman bibir ranum yang sangat menggoda.

Eryk begitu yakin jika gadis itu akan berkata 'Berapa pun asal bisa merasakan hangat tubuhmu, Eryk,', mengingat seperti itulah jawaban para gadis yang pernah dia temui sebelumnya.

"Ah, maaf, Tuan, saya hanya bekerja sebatas menemani pengunjung minum di tempat ini, tidak lebih. Tanpa mengurangi rasa hormatku, aku menolak tawaran Anda. Saya permisi." ucap Lucia yang bergegas pergi dari meja Eryk dan teman-temannya.

Max dan Arvie tergelak dengan wajah Eryk yang berubah merah padam.

"Itu sangat menyedihkan, Eryk," ucap Max di sela tawanya yang bertambah keras.

"Huh, itu baru permulaan! Aku bisa buktikan kalau dia akan bertekuk lutut di hadapanku!" geram Eryk sembari menggebrak meja, nyaris membuat semua benda di atas meja itu melompat dari tempatnya.

"Okay, kita beri waktu satu minggu untuk pangeran tampan ini meluluhkan hati Lucia Magnolia." Arvie mengangguk pelan sembari mematikan rokok di atas asbak kaca.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status