Share

2. Penindasan Terhadap Lucia

Di sebuah kamar perawatan, tempat Henry saat ini berbaring, seorang wanita paruh baya berjalan mendekati pria yang masih terlelap. Wanita itu menatap Henry dengan bibir tersenyum miring, Megan Magnolia sedang menertawai kondisi suami yang baru saja dia ceraikan.

"Megan, aku tahu kau pasti datang," Henry terbangun saat aroma parfum khas milik wanita itu tercium. Dari wajah pucatnya mengulas sebuah senyuman, dia berharap Megan menyampaikan kabar gembira, untuk membatalkan proses perceraian mereka berdua.

Megan sama sekali tidak merespon ucapan Henry, wanita itu membuka resleting tas kulit mewah bermerek Hermes miliknya dan mengeluarkan sebuah amplop besar dari sana.

"Terimalah," Megan menyerahkan amplop itu kepada Henry yang terbaring lemah. Senyuman Henry seketika berubah, berganti dengan sederet pertanyaan yang nampak dari wajah pucatnya.

"Apa ini?" Henry melihat amplop itu sekilas sebelum kemudian kembali menatap Megan dengan tatapan bertanya.

"Akta cerai. Jadikan benda itu sebagai pengingat, agar kau berhenti mengharapkan aku." Megan berucap dengan sinis, lalu pergi meninggalkan Henry yang mulai berlinang air mata.

Wanita itu berjalan tergesa saat melintasi koridor rumah sakit. Megan merasa lega, dengan setatus janda yang dia sandang, sekarang dia bisa bebas untuk bisa mendekati pria kaya yang menjadi incarannya.

"Ibu," suara seruan membuat langkah Megan yang terus mengentakkan high heelsnya terhenti. Seorang gadis berlari ke arahnya sembari tersenyum.

"Syukurlah, aku sangat senang akhirnya Ibu datang untuk menjenguk Ayah." Lucia menggenggam tangan Megan sembari terus menyunggingkan senyum. Sudah tidak terhitung berapa kali Lucia mengirim pesan untuk memberi tahu keadaan Henry kepada ibunya, namun pesannya tidak pernah mendapat balasan. Panggilan telepon pun sering kali sengaja Megan matikan.

"Lepas," Megan menepis tangan Lucia yang seketika membuat gadis itu terperangah.

"Sebaiknya kau segera masuk dan mengurus ayahmu yang sekarat," pekik Megan dengan maksud menakuti Lucia agar gadis itu segera enyah dari hadapannya.

"Ah, benarkah Ayah sedang tidak baik-baik saja di dalam? Lalu Ibu mau kemana?" Lucia menatap ke arah ruangan Henry dirawat dengan mata berkaca-kaca.

"Aku banyak urusan. Dan tolong, mulai sekarang berhenti menghubungiku." ucap Megan dengan suara rendah, namun sarat akan penekanan. Membuat ulu hati Lucia terasa dicubit, menyisahkan perasaan nyeri yang menyebar hingga ke dada.

Wanita itu lantas kembali melanjutkan langkah yang terjeda tanpa menoleh lagi ke belakang.

Seketika seluruh tulang Lucia terasa lunak, tidak ada pegangan di sekitar gadis itu sehingga dia luruh di atas lantai.

"Ibu!" teriak Lucia yang sama sekali tidak membuat Megan menoleh. Lucia tidak menyangka, Megan, wanita yang melahirkannya dengan tega membiarkan Lucia menanggung beban berat sendirian.

Beberapa kepala yang ada di sekitar menoleh, menatap iba kepada gadis yang berlinang air mata dan tampak rapuh terduduk di atas lantai.

Lucia menangis tersedu sebelum akhirnya kesadarannya kembali. Ada Henry yang harus segera dia lihat kondisinya.

"Ayah," gumam Lucia yang kemudian bangkit dan berjalan dengan langkah seribu menuju kamar perawatan Henry.

Lucia membuka pintu ruangan Henry secepat kilat cahaya, dan berlari mendekati ayahnya untuk melihat lebih dekat keadaan pria itu.

"Ayah!" teriak Lucia dengan wajah panik saat melihat ayahnya menangis tersedu. Dia menilai lidah Megan Magnolia terlalu kejam saat mengatai Henry sedang sekarat.

"Kenapa Ayah menangis?" perhatian Lucia terdistraksi pada sebuah amplop yang ada di atas perut Henry. Dengan cepat Lucia membuka segel amplop dan membaca dokumen di dalam amplop tersebut.

"Akta.... cerai?" kini Lucia tahu apa penyebab Henry menangis. Rasa sakit dan sesak di dada seakan berlomba-lomba untuk menghujamkan luka di hati Lucia.

"Ayah ...." lirih gadis itu sembari memeluk Henry yang masih terisak.

"Ibumu memilih untuk meninggalkan Ayah," ucap Henry terbata di sela tangis yang membuat nafas pria itu tersengal.

"Ayah tidak sendiri, ada aku disini bersama Ayah."

Lucia terus memeluk Henry dan meyakinkan ayahnya jika pria itu tidak sendirian di dunia, ada Lucia yang bersedia menemani Henry di dalam segala keadaan. Namun tidak dapat dipungkiri, tangis Lucia bertambah deras di bahu sang ayah saat mengingat sikap tega Megan dan Lisa, satu-satunya saudara kandung yang dia miliki, memilih meninggalkan mereka di saat Henry terbaring sakit.

...............

Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisi Lucia? Apakah mengakhiri hidup adalah cara yang tepat untuk memutus penderitaan yang dia alami? Tetapi bagaimana dengan Henry? Pria itu sangat membutuhkan Lucia, bahkan nyaris menggantungkan seluruh hidupnya kepada gadis itu. Jika kau bertanya pada Lucia, apa alasan dia untuk bertahan hidup, maka dengan lantang gadis itu akan menjawab; "Ayahku!"

Para houstess melirik sinis saat Lucia datang ke Queen Fortune, pandangan yang cukup mengganggu, namun hal itu sudah dianggap biasa oleh Lucia. Sesekali dia berucap basa-basi untuk menyapa rekan kerjanya, meski jawaban yang dia dengar akan menambah beban di hatinya.

Disaat baru saja Lucia berdiri di antara jajaran hostess, segerombolan teman sekolah Lucia tiba dan melintasi mereka.

Dua di antara gadis itu menatap dengan perasaan iri, para hostess di sana memiliki paras menarik dibandingkan diri mereka. Seketika kedua mata mereka membulat saat melihat sosok yang tidak asing bagi mereka sedang berdiri di antara wanita pelayan kelab malam.

"Ayo kita lihat siapa yang ada di sini!" seru Donna yang merupakan ketua gang para gadis itu.

"Benarkah?" tanya Rully yang menatap seolah tak percaya, namun seketika gadis bermulut lebar itu tersenyum setelah kedua matanya memastikan bahwa indera penglihatannya tidak salah lihat.

Lucia seketika menunduk malu, namun dia sadar, dengan menunduk sekali pun tidak akan dapat membungkus rasa malunya.

"Jadi, Miss Dilbert melacurkan diri setelah berhenti sekolah?" seloroh Donna yang mengundang tawa kedua temannya.

"Aku dengar, perusahan ayahmu bangkrut? Apakah ayahmu juga yang memintamu menjajakan diri di tempat ini?" lanjut Donna sembari mengerling penuh hina terhadap Lucia ke arah Rully dan Audry.

Kedua tangan Lucia mengepal di samping tubuh, wajahnya merah padam dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

"Berhenti berbicara buruk tentang Ayahku!" pekik Lucia sembari melempar tamparan di wajah Donna, yang seketika membuat dua gadis yang bersamanya tidak suka.

Rully dan Audry melampiaskan kekesalan terhadap Lucia dengan cara menarik rambut gadis itu dari segala arah. Donna pun turut menimpali dengan memukuli punggung Lucia yang meringkuk sembari berusaha melepaskan helaian rambutnya dari genggaman Audry dan Rully.

"Jalang! Sejak awal sudah ku duga jika kau hanya gadis murahan yang berlagak jual mahal, Lucia,"

"Pelacur sepertimu selalu membuat kami sebagai gadis mahal tersingkirkan!"

Ucapan menyayat hati terus memasuki telinga Lucia secara paksa, tidak ada yang bisa Lucia lakukan selain menangis dan menerima serangan para gadis itu yang mengoyak dan mengombang-ambingkan tubuh Lucia dengan serangan brutal. Lucia balik menyerang apa pun bagian tubuh dari para gadis itu yang dapat dia jangkau, tapi tetap saja, dia tidak lebih kuat dari mereka yang menyerang bersamaan.

Lantas, apa yang dilakukan rekan sesama hostess lain?

Mereka hanya menahan tawa atas penindasan yang dialami Lucia. Menurut mereka, itu adalah pertujukan menarik yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Serangan terhadap Lucia baru berhenti saat seorang pria menyingkirkan para wanita itu dari sekeliling Lucia.

"Berhenti, apa yang sudah kalian lakukan!" pekik Eryk sembari menarik dan menendang para gadis itu agar segera melepas Lucia.

Penyerangan berhenti, para gadis penyerang pergi menyisahkan Lucia yang terduduk di atas lantai dengan kondisi yang susah di jelaskan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Eryk yang langsung melepas jaket denim yang dia pakai untuk menutupi bagian tubuh sensitif Lucia yang terekspose karena pakaian yang gadis itu kenakan koyak.

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis itu sehingga Eryk menuntunnya untuk keluar dari bar.

"Ah, dia beruntung sekali," gumam Sofia yang menyayangkan Eryk memapah Lucia.

Ucapan Sofia mendapat anggukan dari para hostess, di saat yang bersamaan mereka menatap iri ke arah Lucia.

Air mata Lucia mulai menganak sungai. Rasa perih pada bekas cakaran mulai terasa mengganggu, namun tidak banyak yang dia lakukan, selain meringis dan memeluk tubuh dengan kedua tangan.

"Kau aman bersamaku," bisik Eryk tepat di telinga Lucia. Pria itu menyeringai, satu pintu untuk menjinakkan gadis itu telah terbuka.

Lucia berjalan sambil terhuyung, nampaknya pukulan Donna di punggung Lucia begitu keras, sehingga nyeri di bagian punggungnya menambah beban tubuh yang seakan jatuh terjerembab di atas lantai.

Dengan sigap Eryk menahan tubuh Lucia, dan menggendong Lucia di antara lengannya. Perlahan tangan Lucia bergerak menggenggam erat kerah jas yang Eryk kenakan. Hal itu membuat Eryk menyeringai ke dua kali. Dia yakin, upayanya kali ini tidak akan gagal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status