Share

3 Dimanfaatkan

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2025-03-14 20:32:41

Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda.

"Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya.

"Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal."

Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka.

"Sebentar, Pak."

Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu.

Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah.

"Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya barusan. Tapi, jangan katakan kalau kamu buka Raya. Kamu harus menjadi Raya di depan pria itu," pinta Wati pada Winda nampak serius.

"Tapi, Ma. Aku 'kan tidak punya ASI. Menikah saja belum, mana bisa memiliki ASI," protes Winda sambil menggelengkan kepala.

"Tenang, Winda. Itu bisa diatur. Yang paling penting untuk saat ini. Kita upayakan kesepakatan nominal uang, dan kamu harus pura-pura mengaku sebagai Raya." Wati nampak memaksa.

"Gak mau, Ma." Winda tetap menolak.

"Kamu pikir siapa yang akan bayar hutang kamu yang begitu banyak? Masih gadis saja sudah banyak hutang!" Wati menjadi kesal. "Nurut saja perintah Mama, kecuali jika kamu bersedia menikah dengan rentenir sebagai tebusan hutangmu," ancamnya kemudian.

Winda nampak mendengus kesal. "Baiklah. Aku akan pura-pura mengaku sebagai Raya."

Memang tak ada pilihan lagi, hingga akhirnya dia mengangguk. Mengiyakan permintaan ibunya untuk berpura-pura mengaku sebagai Raya.

"Bagus." Wati menyeringai senang.

Ibu dan anak itu langsung kembali ke depan, menghampiri Aditya yang masih menunggu.

"Bagaiman, Bu? Apa Raya bersedia?"

Wati nampak mengukir senyum. Lalu mengangguk. Sementara Winda hanya menundukan kepalanya. Dia memang kurang pandai untuk berakting.

Namun bagi Aditya, jawaban Wati bagaikan sebongkah berlian. Pria tampan itu nampak menyeringai senang sambil menghela napas lega. "Syukurlah."

Kini Aditya lega, karena bayinya akan mendapatkan ASI setiap harinya. Dia kemudian menyodorkan sebuah kartu nama kepada Wati.

"Ini kartu nama saya, Bu. Raya bisa datang ke kantor saya sambil membawa ASI-nya setiap hari. Nanti, Ibu dan Raya bisa sebutkan nominal yang harus saya bayar setiap harinya," jelas Aditya.

"Baik, Pak." Wati menerima kartu nama yang disodorkan Aditya.

Setalah mendapatkan tujuannya, Aditya kemudian pergi dari rumah Wati dengan wajah lega.

"Wahhh pria itu seorang presiden direktur!" Wati terkejut melihat status pada kartu atas nama Aditya Fadillah. "Pria tadi benar-benar konglomerat, Winda." Manik Wati nampak berbinar. Sepertinya ia merasa akan mendapat uang yang banyak.

"Lalu, bagaimana cara mendapatkan ASI-nya, Ma?" Winda menarik tangan Wati. Mereka kembali berbicara di dalam kamar sambil berbisik.

"Kamu tenang saja. Mama akan segera mencari Raya sekarang juga." Wati langsung keluar dari rumah. Langkahnya terlihat cepat. Insting wanita paruh baya itu begitu kuat, Raya pasti pergi ke makam anaknya.

Benar saja menurut taksiran Wati. Begitu ia sampai di pemakaman umum, terlihat Raya yang tengah bersedih di atas pusara anaknya.

Wati segera menghampiri Raya kemudian berbicara, "Raya... Maafkan Mama," ucapnya penuh penyesalan.

Kedatangan Wati tentu saja membuat Raya mendongak terkejut.

Wati pun langsung menyodorkan telapak tangannya. "Pulanglah ke rumah Mama. Mama tarik kembali ucapan Mama Tadi. Mama sangat menyesal," rayunya.

Raya nampak menautkan kedua alisnya. Merasa aneh. "Tidak apa-apa, Ma. Raya akan pergi dari rumah Mama."

"Tidak, Raya!" Wati menegaskan. "Kamu sudah tak punya orang tua. Kamu akan pergi kemana kalau bukan ke rumah Mama? Maafkan Mama. Mama menyesal telah berbicara kasar padamu."

Wati tak bergeming. Wanita paruh baya itu terpaksa memeluk Raya. Berusaha meyakinkan Raya. "Kembalilah ke rumah Mama. Mama tidak bisa melihat kamu sendirian dengan kesedihanmu," rayunya lagi.

Baru kali ini Raya mendapat perlakuan baik dari mertuanya. Seketika isi hati Raya luluh. Ia akhirnya kembali ke rumah Wati, berharap semuanya akan lebih baik dari sebelumnya. Raya juga memutuskan tak akan lama tinggal di sana, setelah masa nifasnya selesai, ia akan bekerja dan pergi dari Raihan serta keluarganya.

***

"Raya! Cepat sini!"

Pagi-pagi sekali, Wati sudah berteriak memanggil Raya untuk segera ke ruang makan.

"Ada apa, Ma?" Dengan cepat Raya menghampiri.

"Kamu harus segera sarapan." Wati memaksa.

Ini adalah pemandangan yang baru Raya temui di rumah mertuanya. Padahal benda bundar yang menempel di dinding rumah baru menunjukan pukul enam pagi, Raya belum lapar.

"Masih pagi, Ma. Raya belum lapar." Raya menolak dengan sopan.

"Tidak! Kamu harus segera sarapan. Jangan membantah. Jangan membuat Mama kembali marah."

Di atas meja makan, tidak terlihat makanan mewah. Hanya ada sambel jahe, ikan mujair dan rebusan pepaya muda. Sepagi ini Raya diminta memakan sarapan seperti itu. Apakah Wati sengaja?

"Ma, kenapa harus makan rebusan pepaya muda?" Raya sangat hati-hati ketika bertanya pada Wati.

"Rebusan pepaya sangat bagus untuk ASI kamu," jawab Wati. "Sudah, jangan banyak tanya. Makan sekarang. Habiskan rebusan pepaya muda itu. Mama tidak suka dibantah," paksanya. "Setelah makan, kamu harus memompa ASI kamu. Mama sudah siapkan pompanya."

Rupanya Wati sengaja memberikan rebusan pepaya muda pada Raya agar ASI-nya lancar dan banyak.

Raya mengernyitkan dahi. "Untuk apa?"

"Untuk didonorkan. Jangan buang ASI dengan sia-sia. Sudah, jangan banyak tanya, lekas makan lalu pompa ASI-mu."

Raya merasa semakin aneh. Tapi ucapan mertuanya itu ada benarnya. ASI-nya memang banyak, jadi sayang jika dibuang-buang.

Setelah Wati memastikan Raya memakan sarapannya dan memompa ASI. Terdapat empat botol ASI pagi itu yang didapat Wati. Wanita paruh baya itu langsung mengajak Winda untuk pergi ke kantor Aditya, alamat yang tertera pada kartu nama.

"Setelah ini, kita tidak perlu susah payah bekerja. Kita sudah memiliki mesin pencetak uang." Wati tersenyum semringah. Di dalam kepala sudah dipatok nominal harga yang akan ia minta pada Aditya. Wati paham betul, seorang presiden direktur pasti memiliki banyak uang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Ibu Susu Palsu   96 Bahagia Yang Sebenarnya

    Raya kini sudah berganti pakaian dengan lingerie berwarna merah muda pemberian Aditya. Tapi dia kembali memakai pakaian piyama menutupi lingerinya yang seksi. "Loh kok malah pakai piyama?" Aditya mengerutkan keningnya ketika melihat Raya keluar dari kamar mandi."Saya pakai lingerie kok, tapi di dalam piyama." Raya menjawab sambil menahan senyumnya. Aditya pun menepuk keningnya sendiri. Padahal ia menginginkan Raya keluar dengan lingeri seksinya tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh."Saya malu, Pak." Raya menggaruk kening yang tak gatal."Ya sudah. Sini." Aditya menepuk kasur, memberikan kode agar Raya segera duduk di sampingnya.Dengan langkah yang cukup pelan, Raya berjalan mendekati Aditya. Dia duduk di samping Aditya sebagaimana perintah barusan. Tubuh Raya tercium aroma sangat wangi, itu karena Raya sudah mempersiapkan tubuhnya, khusus untuk suaminya malam ini. Suruh area tubuh Raya sudah memakai lotion dan pewangi, termasuk rambutnya yang digerai dan tercium aroma wangi

  • Bukan Ibu Susu Palsu   95 Lanjut Malam Kedua

    Fatih terbangun dari tidurnya. Sontak Raya dan Aditya terperanjat saling menjauh. "Fatih!" Raya segera menghampiri Fatih di tempat tidur. Dia juga segera membuatkan susu untuk Fatih, lalu menina bobokannya kembali. Sebenernya Raya ingin tertawa mengingat kejadian lucu barusan. Namun dengan susah payah, tawa itu ditahannya.Sungguh konyol. Bisa-bisanya mereka melupakan keberadaan Fatih di kamar itu.Sudah 1 tahun lebih Aditya menduda, wajar saja jikalau dia tidak bisa membendung hasratnya. Lagi pula sekarang mereka sudah sah kok. Memadu kasih di malam pertama sudah gagal. Pagi ini Aditya bangun dari tidurnya dengan raut wajah sedikit lesu. "Pengantin kok lesu begitu, kecapean yah gara-gara semalam?" Aditya yang baru saja tiba di ruang makan, tersipu saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Anita kepadanya. "Mamah, apaan sih." Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak usah malu-malu begitu kali, Mamah juga paham, namanya juga pengantin baru."Aditya hanya mengulum senyu

  • Bukan Ibu Susu Palsu   94 Gagal Malam Pertama

    "Ehh sutt!" Raya meluruskan jari telunjuknya tepat di depan bibir Aditya, sebagai kode agar Aditya tidak melanjutkan kalimatnya. Dia juga mengerjapkan matanya agar Aditya paham. Aditya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia manggut-manggut kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya. Aditya melihat Raya menina bobokan Fatih. Namun anak laki-lakinya itu nampak tidak bisa langsung tidur untuk malam ini. Fatih terlihat memeluk erat Raya, seperti takut ditinggalkan. "Bubu jangan ke mana-mana," pintanya."Iya, Sayang. Bubu tidak akan kemana-mana kok. Kita tidur bersama di sini ya," balas Raya dengan suara lembutnya. Sebelah tangan terlihat menepuk-nepuk paha Fatih dengan pelan, begitulah Raya saat hendak menina bobokan Fatih. Aditya memandang Raya dari atas sofa, sambil melayangkan senyuman. Tatapan Aditya nyatanya membuat Raya tersipu malu. Wanita berbulu mata lentik itu menjadi salah tingkah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kam

  • Bukan Ibu Susu Palsu   93 Menikah

    Aditya segera menepikan kendaraannya.Memilukan, bener dugaan Raya, korban kecelakaan yang tewas di tempat itu adalah Raihan—mantan suaminya.Nyawa Raihan sudah tidak tertolong lagi. Di lokasi kejadian Raihan sudah tak bernyawa. Raya ingin sekali membantu, tapi dia tidak memiliki kuasa. Raya hanya memerintahkan pada seseorang untuk mengurus jenazah Raihan.Raya tidak pernah menyangka kalau Raihan akan pergi meninggalkan dunia secepat itu. Sebagai mantan istri, Raya hanya bisa mendoakan, semoga Raihan pergi dengan tenang. ***Kehidupan yang Raya rasakan saat ini seperti berbanding terbalik dengan sebelumnya. Saat ini dia tengah dikelilingi orang-orang yang baik. Calon mertua yang baik, dan juga termasuk calon suami yang baik. Raya juga sudah bertemu dengan kakak angkat, beserta keluarganya yang baik. "Ya Tuhan, betapa besar nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Jadikanlah hamba manusia yang selalu bersyukur kepada-Mu. Berkahkanlah hidup hamba, Ya Tuhan." Di sepertiga malam,

  • Bukan Ibu Susu Palsu   92 Akhirnya Direstui

    Tidak lama setelah Aditya menelepon, Rahmat Hidayat tiba di kediaman Fadillah dengan waktu yang begitu cepat. Pria paruh baya yang berasal dari Kalimantan itu terlihat masuk ke ruang tamu dan bersalaman dengan semuanya. Kedatangan Rahmat Hidayat membuat orang tua almarhum Sarah tercengang. Papahnya Sarah sangat tahu betul profil Rahmat Hidayat, pemilik perusahaan batubara yang sangat terkenal. Papanya salah berpikir, mungkin kedatangan Rahmat Hidayat karena sebagai partner bisnis dengan Fadillah group."Maaf telah mengganggu Pak Rahmat. Tapi tujuan Saya memanggil Pak Rahmat ke rumah ini, karena ada hal penting yang harus Pak Rahmat jelaskan kepada mertua saya," tutur Aditya dengan sopan kepada Rahmat Hidayat yang baru saja duduk di sofa yang berada di sampingnya. "Katakan saja, apa yang bisa saya bantu. Saya akan membantu Pak Aditya sebisa mungkin, kalaupun saya tidak bisa, akan saya usahakan." Rahmat berbicara dengan yakin. "Pak Rahmat, perkenalkan ini adalah mertua saya." Adity

  • Bukan Ibu Susu Palsu   91 Memilihnya

    Raya mematung dalam beberapa menit. Dadanya kembang kempis menahan perasaan sedih. Bibirnya nampak bergetar. Raya menatap ke arah Rahmat—sang kakak angkat yang sedari dulu sangat ia rindukan. Raya hafal betul mengenai watak dan sifat Rahmat dari dulu yang selalu baik kepadanya, tapi Raya juga merasa tidak akan pernah tega untuk meninggalkan Fatih—anak yang dia sayangi sejak lahir. "Saya tidak akan memaksakan kehendak, Raya. Tujuan Saya mencari kamu adalah ingin membahagiakan kamu. Karena kamu adalah adik saya. Jika ikut dengan saya hanya menambah beban dan kesedihan, maka jangan lakukan." Rahmat bersuara ketika Raya terlihat bimbang.Setelah itu Raya melihat ke arah Aditya. Ditatapnya sang presdir tampan itu. "Saya juga tidak akan memaksakan kehendak. Lakukan apapun yang membuat kamu bahagia. Karena itu adalah yang paling utama." Aditya berbicara kepada Raya sambil berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri, jauh dari lubuk hatinya dia merasa sangat takut kehilangan Raya.Tidak lama kemudi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status