Share

Bukan Indahnya Berbagi
Bukan Indahnya Berbagi
Penulis: Mahaya Liliana

Bab 1 (Fatma)

Demi Allah yang menciptakan ruh beserta udara yang mengiringi deru nafas ini, aku sangat beruntung menjadi perempuan yang memiliki suami penyayang. Denyut jantung janin di rahimku inilah buah cinta kasih sayangnya. Bayi yang kukandung sudah mulai memasuki bulan ke sembilan, senyum bahagia tiada tara tak bisa berhenti di wajahku. 

'Fatma' begitu Ia memanggilku, suaranya begitu lembut saat menyebut namaku. Satu tahun yang lalu aku telah resmi bersanding dengan Mas Rizki, Nahru Rizki Budiman. Aku mengenalnya saat Ia berkunjung ke rumah orangtuaku untuk melamarku.

Aku menyibakkan tirai jendela yang menghalangi sinar mentari pagi, dalam sekejap cahaya oranye melesat menembus ruang tengah. 

Drrrrt

Getar handphone terdengar dari meja di belakangku, handphone Mas Rizki tertinggal. Tadi pagi Mas Rizki memang tergesa-gesa saat bersiap-siap menuju kantornya. Perlahan, aku melangkah menuju meja di mana handphone itu berada. Perutku yang sudah membesar, membuat pergerakanku tidak selincah sebelumnya.

Sepertinya handphone Mas Rizki tidak dikunci, ada chat W******p yang masuk. 'Fani' begitu nama kontaknya. Siapa itu Fani? Aku mengetuk pesannya,

"Daddy lagi sibuk enggak?"

Hah, Daddy? 

Tendangan kecil dari pangeranku membuat tanganku beralih untuk mengelusnya. Aku mendaratkan tubuhku ke kursi dan terus mengelusnya. "Pangeranku, Bunda di sini. Bunda bersamamu, Nak."

Sembari menyandarkan punggungku, aku membuka WhatssApp di handphone Mas Rizki. Ini mungkin terlihat lancang, namun rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Sesekali, aku menghirup dan menghembuskan nafasku untuk mengumpulkan konsentrasiku.

Rupanya si Fani sudah lama chatting dengan suamiku, jejak chattingnya sudah sangat panjang. Aku membaca percakapan di chatting ini, chatting suamiku dengan wanita ini. Hari kemarin,

"Iya, Dad. Udah habis yang kemarin, ini sabun cuci muka juga habis."

"Boros ya? Cepat banget habisnya,"

"Hmmm. Kalau Daddy nggak mau ngasih juga nggak apa-apa, kok. Tapi jangan harap buat ketemu aku lagi,"

"Fan?"

"Aku cuma mau sama yang ada aja, Dad. Hidup ini nggak ada yang gratis."

"Lho, sebentar-sebentar. Maunya gimana, Fani Sayang?"

"Kalau Dad mau gratis, ya sudah tuh garap istri Dad yang lagi bunting. Emang enak sama orang bunting?!"

Apa? Astaghfirullah.

Astaghfirullah Ya Allah.

Jadi, selama ini Mas Rizki main-main di belakangku?

Degup jantungku bertambah kencang. Mataku terasa panas dan pedas, pandanganku sedikit kabur. Bibirku bergetar dan aku berusaha melafalkan istighfar berkali-kali. Apakah ini nyata, apakah benar Mas Rizki bermain di belakangku?

"Fatma, kendalikan dirimu. Bayimu lebih penting," bisik dewi batinku.

Aku meng-export pesan ini ke nomorku. Aku harus membaca semua percakapan suamiku dengan wanita asing ini. Semoga ini hanya prasangkaku saja. Semoga prasangkaku tidak benar. 

Sakit hati dan kecewa semakin kurasakan saat aku membaca semua percakapan antara wanita ini dengan suamiku. Aku tidak mengenal wanita ini, tapi rupanya Ia memang nekat mendekati laki-laki yang sudah jelas memiliki isteri dan sedang mengandung.

Aku memiliki praduga bahwa anak ini masih mengenyam pendidikan karena beberapa kali Ia menagih tambahan jatah untuk menge-print dan fotocopy. Jatah macam apa yang diberikan Mas Rizki kepadanya? Mengapa Kau bersikap begitu, Mas? Isteri di rumah diberi uang pas-pasan hanya untuk keperluan sehari-hari, tapi ternyata hartamu disetorkan ke wanita lain yang entah siapa.

"Mas, bagaimana kerjaan di kantor?" sapaku saat Ia sudah menanggalkan kemeja kerjanya.

"Baik-baik saja," sahutnya dengan nada biasa tanpa menatapku.

"Mas juga baik-baik saja?" Lanjutku. Ia menoleh dan menatapku sejenak. 

"Kau lihat sendiri, Fatma. Aku baik-baik saja," ucapnya kemudian.

"Syukurlah. Mas tolong jaga kesehatan ya, kalau bisa jangan lembur terus. Anak kita sudah mulai masuk bulan sembilan," ucapku dengan berat. Aku ingin sekali berterus terang menanyakan tentang Fani dan hubungannya. Namun, kuurungkan. 

*** 

Perselisihan berawal ketika aku menyampaikan apa yang sebenarnya kurasakan, Mas Rizki mengelak dan menyangkal ucapanku. Ia juga menuduhku hanya mencari gara-gara agar diberi perhatian lebih.

"Jujur, aku terkejut waktu nggak sengaja membuka handphone-nya Mas Rizki waktu itu. Siapa Fani itu, Mas? Selingkuhanmu?"

"Hah? Selingkuhan? Yang benar saja Kau, Fat. Untuk apa aku berpaling darimu sementara urusanku hanya kamu dan pekerjaan kantor," jawabnya setelah sempat terkejut selama beberapa detik.

"Kalau begitu, Mas ke mana saja setelah pulang kantor? Kenapa harus pulang telat terus?" 

"Aku lembur, Fat," jawabnya singkat.

"Apa setiap hari harus lembur?" 

"Tidak,"

"Lalu ke mana?"

"Kalau kamu memang butuh perhatianku mengapa harus menuduhku selingkuh segala, Fatma?"

"Mas! Aku memang butuh perhatianmu karena aku isterimu, tapi perasaanku terlanjur hancur setelah mengerti apa yang Mas Rizki lakukan di belakangku," tanggapku.

"Aku tidak selingkuh, Fatma!"

"Tapi chat itu…."

"Itu hanya chat biasa. Kami sesama rekan kerja sudah biasa chatting seperti itu," potong Mas Rizki.

"Baiklah kalau begitu, aku hargai pengakuan Mas Rizki walau aku belum sepenuhnya percaya. Hati siapa yang tak sakit ketika dibohongi dan diduakan di belakang, Mas?"

"Terserah, aku lelah Fat. Yang penting aku tidak selingkuh seperti tuduhanmu," ucapnya.

Aku kembali ke kamarku dengan perasaan campur aduk. Pengalamanku yang sangat hijau mengenai rasa cinta dan kehidupan keluarga, membuatku terlalu banyak berpikir ketika terbesit dalam benakku untuk mengusut siapa sebenarnya Fani.

Kondisi kandunganku yang kian membesar mungkin lebih baik untuk kupikirkan dari pada si Fani itu. Namun di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mas Rizki dariku.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pipit Pitriyana
🥹🥹🥹🥹🥹
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status