"Mas Rizki besok datang ke rumah, Mas," aku mengirimkan chat kepada Mas Hikam. Bagiku Ia satu-satunya keluargaku yang masih bisa berpikir logis dan netral. Mendatangkan mantan suami ke rumah orangtua bagiku sangatlah berisiko, aku berharap Mas Hikam bisa membantuku mengendalikan situasi."Ada acara apa?" Balas Mas Hikam."Dia mau nengok Ikhda," jawabku dengan lugas. "Cuma itu saja? Nggak ada yang lainnya?" "Tidak, Mas," memangnya apa lagi? Semua urusanku dengan Mas Rizki sudah selesai, perkara Mas Rizki ingin menengok anaknya itu adalah haknya sebagai seorang ayah."Apa aku perlu tunjukkan bukti percakapanku dengan Mas Rizki?""Iya," jawab Mas Hikam singkat.Aku men-screenshot percakapanku dengan Mas Rizki dan mengirimkannya kepada Mas Hikam. Sembari menunggu balasan dari Mas Hikam, aku menemani Ikhda bermain bola plastik."Ini ambigu, Ia tidak menjawab pertanyaanmu. Kalimat 'Minggu ini aku akan ke rumahmu' juga tidak dijelaskan tujuannya apa," beberapa menit kemudian balasan Mas Hi
Dua tahun setelah proses hukum perceraian Fatma dan Rizki selesai, kami kembali diuji dengan takdir lain yang membuat hati kami menangis pilu siang malam …."Pemirsa, telah terjadi kecelakaan pesawat Indonesia dengan nomor N1552 di wilayah Laut Lakadewa dini hari waktu setempat. Burung besi tersebut naas jatuh bersama seratus enam puluh penumpang belum termasuk awak pesawat dikarenakan cuaca buruk. Para penumpang adalah Jemaah Haji Indonesia kloter pertama yang diberangkatkan dari Jakarta setelah sepuluh hari sebelumnya menerima pembekalan di Asrama Haji."Seluruh jemaah haji asal Indonesia korban jatuhnya pesawat N1552 tersebut masih dalam proses pencarian. Korban akan dipulangkan kepada keluarga masing-masing setelah menjalani otopsi di Rumah Sakit terdekat. Pihak maskapai penerbangan yang bersangkutan beserta pemerintah akan bertanggung jawab mengembalikan seluruh biaya haji kepada keluarga korban. Selain itu, agen resmi Pelaksanaan Haji dan Umrah yang bekerja sama dengan pemerinta
Roda kehidupan terus berputar tanpa henti, peristiwa gugurnya kedua orangtuaku saat pemberangkatan ibadah haji, membuatku semakin terpacu untuk pergi ke tanah suci menghajikan mereka. Aku mendapat kompensasi tujuh puluh lima persen untuk berangkat haji tahun depan sebagai ganti rugi atas apa yang terjadi pada orangtua kami.Dengan izin Alloh, aku juga akan menghajikan Bapak dan Ibu di tanah suci. Bertahun-tahun Bapak dan Ibu menabung demi menunaikan rukun Islam yang kelima, namun ajal mendahului mereka di detik-detik yang sangat dekat. DrrrtAku meraih handphone di meja dengan hati-hati agar tidak membangunkan anak dan istriku. Fatma mengirimiku pesan, satu-satunya perempuan yang chatnya menduduki posisi paling atas di layar handphoneku setelah Salis."Assalamu'alaikum, Mas," chatnya. Ia sedang mengetik lagi."Wa'alaikumussalam, Fat. Ada apa?" Biasanya Ia akan mengatakan sesuatu yang penting jika menghubungiku malam-malam begini. Aku menyandarkan punggungku di kepala ranjang."Mas Ri
"Fatma, terimakasih sudah menerima Rizki kembali, Nak," Umi merangkul Fatma seusai acara seserahan. Rizki menyanggupi proses persiapan pernikahan dilaksanakan dengan cepat. Aku sendiri yang meminta hal itu untuk membuktikan apakah Ia serius atau tidak. Hari ini Abah dan Umi mendampingi Rizki pada acara seserahan. Awalnya mereka meminta agar persiapan dilaksanakan lebih lama lagi agar bisa melaksanakan pesta yang lebih besar."Tidak usah, Umi. Menikah itu yang penting syarat rukunnya terpenuhi, bukan pestanya," tanggapku."Sekarang banyak wedding organizer yang bisa bekerja dengan cepat walaupun mahal, kalau Mas Rizki menghendaki bisa menggunakan jasa-jasa tersebut. Kita tidak perlu waktu yang lama untuk menunda akad nikah," ujar Salis menengahi.Istriku memang suka mendatangi bazar event organizer dan lebih banyak tahu dari pada diriku. Tapi mendengar kata-kata 'walaupun mahal' dari Salis aku bergidik, bagiku standar mahal versi Salis sangat jauh dari pada orang pada umumnya. Ia suda
"Oh, yang menang timnya itu toh, timnya Reza yang sampai sekarang nggak punya anak?""Belum punya anak? Mandul?""Mandul? Impotensi mungkin?""Gimana toh? Terakhir dengar, katanya dia mau poligami.""Wah, hebat. Satu istri tidak cukup?""Sudah, sudah. Jangan banyak ngomongin urusan orang. Kita konsentrasi saja ke open tender berikutnya," aku berusaha menghentikan obrolan anak buahku yang menjurus ke ghibah.Aku mengerti anak-anak buahku tidak puas dengan hasil lelang barusan, seperti diriku. Nasib buruk sedang menimpaku, aku kalah telak dari timnya Reza. Kecewa? Tentu saja. Tapi aku tidak berhak menjelek-jelekkan lawan mainku, apalagi mengusik urusan rumah tangganya.Sembari berusaha ikhlas, lima hari penuh aku berkonsentrasi untuk mengikuti open tender berikutnya, riset, media presentasi, dan lain-lain kusiapkan semua. Aku terlonjak ketika handphone-ku tiba-tiba berdering, ada apa Salis menelpon tengah malam?"Hallo, Rez." Ternyata Hannan."Iya, Han?" Untuk apa Hannan telepon malam-m
Dua hari aku dan Rizki menyimpan wasiat ini, rasanya sangat berat. Kehilangan saingan bisnis sekaligus seorang sahabat membuat perasaanku seperti ada yang ganjil. Aku benar-benar membutuhkan jalan keluar untuk menyikapi hal ini. Jika wasiat itu benar-benar kami laksanakan maka salah satu di antara aku atau Rizki akan berpoligami. Jika tidak beruntung maka rumah tangga kami akan berantakan, perempuan mana yang mengikhlaskan suaminya menikah dengan perempuan lain."Mas, kita harus bagaimana? Ada titik terang?" Tanya Rizki kepadaku."Kita selesaikan dulu hajatmu dengan Fatma, baru kita urus yang ini," jawabku pada Rizki."Tapi Putri tidak memiliki masa 'iddah, Mas," bantahnya, kebiasaan Rizki yang menurutku susah untuk diajak bicara secara dewasa. Putri memang tidak memiliki masa 'iddah karena Ia belum pernah dicampuri oleh almarhum Reza, tapi bukan itu permasalahan yang kumaksud."Tapi itu tidak mendesak, Riz. Wasiat Reza tidak menyebutkan waktu yang spesifik. Jika Kau menunda menikahi
Rizki sudah tidak mau lagi diajak bicara tentang wasiat Reza. Ia takut pembicaraan ini akan diketahui Fatma dan masalah yang dulu akan terulang kembali. "Bukannya aku lepas tanggung jawab, Mas. Tapi demi kemaslahatan rumah tangga kami," jawabnya.Sedangkan Putri sebelumnya menyerahkan keputusan ini pada kami, dinikahi olehku ataupun oleh Rizki sama baiknya. Hanya saja Ia tidak mau kami jodohkan dengan orang lain. Ia memilih salah satu di antara kami. Ini berarti secara tidak langsung Putri memilihku karena Rizki tidak punya pilihan lain selain memohon-mohon maaf bahwa istrinya tidak mau dimadu."Ayolah, Mas. Tenang saja, nanti biaya pernikahan semua aku yang nanggung tidak apa-apa," ucap Rizki kepadaku seperti sedang membujuk anak kecil."Perkara menikah itu bukan hanya tentang biaya menikah saja," sahutku kesal.Tiga hari tiga malam aku sholat istikhoroh lagi dengan niat karena Alloh, aku berkonsentrasi pada bacaan sholatku dan menepiskan segala kepenatan di kepala. Alloh Maha Tahu a
Seminggu yang lalu aku menikahi Putri tanpa pesta, tanpa kumpul-kumpul keluarga, dan tanpa mengundang siapapun. Hanya dua saksi, Rizki dan teman kerjanya Putri, wali nikah yang berasal dari wali hakim, penghulu, dan pencatat nikah, lalu terlaksanalah ijab qabul. Pernikahan ini adalah pernikahan yang cukup dingin dari semua pernikahan sepanjang hidupku, pernikahan siri.Aku dan Putri memutuskan untuk tinggal beda rumah, Ia tetap tinggal di rumah mantan suaminya sementara aku di rumah yang sama dengan Salis. Dalam seminggu ini pula aku baru bertemu dengan Putri tiga kali. Tak ada perjanjian apapun dalam pernikahan kami, aku mengerti situasi ini. Putri masih sangat mencintai almarhum Reza, Ia menikahiku bukan murni karena keinginannya sendiri. Ia sangat mencintai Reza hingga apapun yang Reza inginkan, Putri lakukan. Termasuk menikah dengan diriku.Aku menemui Putri setiap jam pulang dari kantor, Salis tak mencurigaiku sedikitpun karena Ia sudah biasa kutinggal lembur. Tapi bagaimanapun