Aku melangkah perlahan karena beban perutku tak mungkin bisa diajak berjalan tergesa-gesa. Satpam yang berdiri di samping pintu gerbang menyapaku ramah.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?"
"Saya mau menemui guru BK dan Wali kelas XI Adm 16," jawabku langsung menuju inti. Satpam tersebut terlihat bingung. Mungkin kedatanganku terlihat aneh. Di saat yang sama, handphone-ku berdering.
"Apakah Ibu sudah membuat janji dengan beliau-beliau?" Tanya Satpam.
"Belum, Pak,"
"Ibu wali murid?"
"Bukan, tapi saya ada urusan dengan salah satu murid di sini," jawabku lagi. Satpam terlihat sedikit terkejut.
Handphone-ku berdering lagi. Tiara menelpon. Aku mematikan teleponnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sudah sampai di sekolah tujuanku.
"Oh, kalau begitu mari saya antar, Bu,"
Ia membukakan pintu gerbang dan memanduku menuju ruang BK. Ia juga menyampaikan maksudku secara singkat kepada guru BK tersebut. Guru BK menyilakan aku untuk duduk.
"Mari, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi, Bu. Saya Fatma, terimakasih Ibu sudah meluangkan waktu untuk saya. Sebelumnya perkenankan dulu bahwa saya ada sedikit urusan dengan salah satu murid sekolah ini, atas nama Falencia Nikita," ucapku dengan nada yang sudah kubuat setenang mungkin. Perempuan setengah baya di depanku terlonjak.
"Ada apa lagi dengan dia?" Ucapnya dengan suara agak lantang.
Secara tidak langsung aku menggarisbawahi kata 'ada apa lagi'.
"Mohon maaf, Bu. Sebenarnya ini tidak ada hubungannya sama sekolah ini, tetapi saya mohon bantuannya karena Falencia Nikita sudah mengusik hati saya dengan menggoda suami saya," ucapku.
"HAH APA?" Wanita di depanku semakin terlonjak.
"Bagaimana bisa, Bu?"
"Suami saya seorang pengusaha dan beliau jarang di rumah. Saya tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Tapi suatu hari saya mengecek handphone suami saya dan menemukan bukti chat yang intinya ada hubungan gelap antara suami saya dengan salah satu murid sini. Saya juga sudah melakukan komunikasi dengan kedua belah pihak dan Falencia Nikita mengakui perbuatan tersebut. Ini bukti chatnya, Bu," paparku panjang lebar. Aku menyodorkan kertas hasil export chat yang sudah diprint.
Guru BK meneliti dengan saksama, Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tidak tahu apakah Ia akan berpihak kepadaku atau justru membela dan menutupi perbuatan Fani. Setelah aku menunggu beberapa saat, Ia akhirnya mengeluarkan suara.
"Ibu, mohon maaf kalau dari suami Ibu sendiri bagaimana?"
"Saya sudah mengkonfirmasi, suami saya mengakui bahwa Ia memang sering dimintai uang jajan dan biaya keperluan sehari-hari Falencia Nikita. Tidak mungkin seorang laki-laki memberikan uang secara cuma-cuma, Bu. Nah, jika pihak sekolah berkenan saya mohon bantuannya untuk mengatasi permasalahan ini. Bagaimana Ibu?"
"Hmmm, begini Bu. Lebih baik kita datangkan dulu yang bersangkutan ya," tutur wanita paruh baya tersebut. Aku hanya bisa mengangguk menyetujui ide guru BK tersebut. Ia bergegas menuju kantor lainnya. Aku duduk menunggu dan memanfaatkan waktu untuk membuka handphone-ku.
Tak lama kemudian dua orang perempuan mengikuti guru BK masuk ke ruangan. Salah satunya sudah kuhapal wajahnya, tak salah lagi bahwa Ia adalah Fani. Wajahnya tampak terkejut ketika melihatku, pandangan kami saling bertemu. Ia sedikit membelalakkan matanya, aku tahu Ia begitu shock, mungkin dikiranya aku hanya berkelakar akan mendatangi sekolahnya.
"Silakan duduk Falencia, Bu Zara," ucap Guru BK.
"Nah, Bu Fatma. Ini Bu Zara wali kelas Falencia," ucap Guru BK yang belum kuketahui namanya itu menyilakan wali kelas Fani.
Bu Zara mengambil posisi duduk dan nampak was-was. Bahkan, Ia terkesan tidak menghiraukan anggukanku. Fani sudah duduk terlebih dahulu setelah mengalihkan wajah shock-nya dengan memutar bola mata.
"Ada apa, Bu Fatma?" Tanya Bu Zara langsung menuju topik.
"Ehm begini, Bu. Biar Bu Fatma tidak mengulang-ulang penjelasan, saya saja yang bantu. Nanti Bu Fatma mengoreksi jika saya salah, Falencia juga boleh klarifikasi," Guru BK menimpali sebelum aku sempat mengeluarkan suara kepada Bu Zara.
Ia menjelaskan persis seperti yang aku ucapkan, bahkan Ia juga sedikit membacakan bukti chatku. Fani memicingkan matanya padaku, "anak ini sungguh berani," batinku. Bu Zara terlonjak dan membelalak ke arah Fani.
"Apa semua itu benar, Falen?" Ucapnya pada Fani. "Eh, Bu Fatma. Jangan-jangan Ibu salah orang, di situ kan tulisannya Fani, bukan Falencia."
"Saya juga punya bukti chat antara saya dengan Falencia Nikita, Bu. Ia mengakuinya," sanggahku. Guru BK langsung membalik kertas HVS di tangannya.
"Ini, Bu," ucap Guru BK seraya menyodorkan kertas itu.
Bu Zara membaca sekilas, Ia menggigit bibir tanpa memandang di antara kami bertiga.
"Falen, Ibu belum dengar penjelasan apapun dari kamu, Nak. Boleh dijelaskan apa betul perbuatan kamu itu?" Guru BK langsung bersuara setelah ruangan hening beberapa detik.
"Saya kan cuma berurusan sama Mas Rizky, kalau Mbak Fatma cemburu, ya itu urusan Mbak Fatma bukan urusan saya. Lagi pula Mas Rizky juga senang kok, FWB-an dengan saya," jawab Fani tanpa rasa gugup sedikit pun.
"Tapi Fani, kamu sudah tahu bahwa Mas Rizky sudah punya isteri, dan kamu terang-terangan menggoda suami saya,"
"Sebentar-sebentar. Apa itu FWB?" Sela Bu Zara.
"Saya nggak nggoda, Mbak. Saya hanya menawarkan diri, Mas Rizky pun mau," kilah Fani tanpa memedulikan Bu Zara.
"Ehm, Falen. Boleh dijelaskan dulu apa itu tadi?"
"Oh, tadi? FWB Bu?" ulang Fani. Dari gaya bicaranya, anak ini sangat membuatku ingin meremas mulutnya. Terlalu sopan!
"FWB itu singkatan dari Friend With Benefit, Bu," ucapnya dengan nada yang sangat menyebalkan.
"Iya, tapi maksudnya apa?" Guru BK menanggapi dengan sabar.
"Saya dan Mas Rizky menjalin hubungan hanya jika itu saling menguntungkan, Bu. Kalau saya atau Mas Rizky merasa nggak diuntungkan lagi, ya nggak jadi. Saya nggak mencintai suaminya Mbak Fatma, kok. Jadi aneh aja tiba-tiba Mbak Fatma jealous-in saya."
Gila! Berani sekali anak ini.
***
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga