Share

Bab 3 (Fatma)

last update Last Updated: 2023-03-06 10:24:55

"Mas, bisa tolong jawab pertanyaan saya?" Ucapku setelah menghembuskan nafas.

"Aku hanya membantunya, Fatma. Tidak ada hal lain yang kuinginkan darinya karena Engkau bagiku sudah cukup," ucap Mas Rizki dengan memandang wajahku.

"Tapi … apa maksud Mas Rizki membantu anak itu? Sudah jelas-jelas Ia menggoda Mas Rizki," ucapku dengan gamblang.

Mas Rizki menyipitkan netranya, "Atas dasar apa Kau berkata seperti itu, Fatma?"

"Atas dasar chat Fani dan Mas Rizki. Mohon maaf Mas, aku sudah mengetahui semuanya termasuk pembahasan-pembahasan yang asing bagiku. Aku juga meminta bantuan teman-teman untuk menyelidiki si Fani," paparku dengan kesal.

"Astaghfirullah, Fatma! Kau membeberkan urusan rumah tangga kita kepada orang lain?" 

Mas Rizki tidak terima dengan apa yang kulakukan.

Aku memang keliru, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki orang lain untuk sekedar bercerita selain ibu-ibu satu grup arisan. Membeberkan urusan rumah tangga adalah hal yang sangat tabu, apalagi membuka aib suami. Tapi jika aku terus-terusan terbelenggu dalam dogma itu, sama saja aku menutup diri dari keadilan.

"Tujuanku baik, Mas. Aku hanya memperjuangkan keadilan. Pada siapa lagi aku bicara selain pada mereka?" Aku menundukkan kepala sambil memikirkan kalimat yang akan kuucapkan selanjutnya.

"Kamu salah, Fatma!" Ucap Mas Rizki.

"Apakah jika aku salah sudah tentu Mas Rizki selalu benar?" 

"Tapi Kau membeberkan masalah yang sebenarnya bisa kita selesaikan berdua," sanggahnya.

"Mas, jika aku tidak bicara pada orang lain, aku mungkin tidak tahu bagaimana mengungkap perselingkuhan Mas Rizki," belaku untuk diriku sendiri.

"Seharusnya kita selesaikan bersama dulu. Jika tidak bisa, baru kita bicara pada orang lain," ucap Mas Rizki.

Aku heran pada pada apa yang Ia pikirkan, apakah Ia tidak punya rasa malu? 

"Aku sudah mencobanya kemarin, tapi Mas Rizki terus mengelak. Lalu sekarang Mas Rizki berusaha menyangkal. Mas, sepandai-pandainya tupai melompat, suatu hari nanti Ia akan jatuh juga."

"Fatma, apa yang Kau katakan padaku sebenarnya hanya asumsimu saja. Kau tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudah kukatakan padamu, jika aku hanya menolong anak itu …."

"Tapi, aku sudah membaca chat itu dengan kepalaku sendiri bahwa Ia tidak hanya berhubungan denganmu untuk mendapatkan uangmu saja, tetapi …."

"Fatma, …."

"Mas Rizki mau terus-terusan mengelak? Apa aku perlu membuktikan itu semua?" Ucapku.

"Hanya Alloh yang tahu kebenaran setiap yang ada di bumi ini, termasuk apa yang Kau masih anggap salah."

"Terimakasih. Tidak baik membawa-bawa nama Alloh untuk pembenaran sepihak tapi menindas orang lain."

Aku lelah dengan sikap Mas Rizki. Setelah mendengarnya bicara panjang lebar, aku berlenggang masuk ke kamarku sendiri, kamar yang terpisah dengan Mas Rizki. Aku berpikir sejenak bagaimana caranya aku mengungkapkan perasaanku pada suamiku; ruang bicaraku memang sedikit, tenagaku juga terbatas. Akhirnya aku mengirimkan chat panjang lebar kepada Mas Rizki, tak peduli Ia akan membacanya atau tidak.

Engkau sebagai lelaki tak sepantasnya melakukan itu semua pada perempuan. Engkau memang diciptakan untuk menjadi pemimpin keluarga yang pantas dihormati, tapi sikapmu menghancurkan semuanya. Perempuan manapun jika mendapatkan perlakuan seperti yang Kau lakukan itu, akan terlukai hatinya.

Hati siapa yang tak luka ketika Ia dibohongi dan dianggap nomor dua setelah wanita asing yang tidak memiliki ikatan resmi? Engkau telah melanggar kaidah agama, secara undang-undang pun Engkau tidak dibenarkan untuk melakukan semua ini. Tinggalkan wanita asing itu! Biarkan Ia kembali kepada walinya karena kewajiban memenuhi kebutuhan apapun ada pada mereka, bukan pada Engkau.

****

"Apa yang Kau lakukan adalah wujud rasa cintamu pada suamimu, Mbak. Itu tidak salah sekalipun suamimu bersikukuh menyalahkanmu dengan dalih taat agama." 

Suamiku termasuk lelaki yang taat beragama; sepengetahuanku Ia selalu sholat wajib tepat waktu, setelah shubuh Ia juga sering tadarus jika pekerjaan kantor tidak menumpuk. Tapi lelaki tetaplah lelaki, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tertarik pada wanita di luar sana walaupun di rumah ada isteri yang menunggu.

"Kalau suamiku dulu mengata-ngataiku 'cemburu', Mbak Fat. Tapi itu juga tidak salah kok," chat Mbak Tiara. 

"Iya, kita sebagai isteri juga wajib menjaga keutuhan rumah tangga."

Aku menyimak grup sambil sesekali mengirimkan komen tanggapan. Ketika orang terdekat sudah tidak membuatku lega dan nyaman, aku mencari pelarian. Di sinilah pelarianku, teman-teman sesama ibu muda yang kukenal dari grup arisan. 

Aku merasa, sifat Mas Rizki berubah. Atau jangan-jangan ini sifat aslinya? Mas Rizki yang kutahu dulu adalah orang yang sangat baik, penyayang, dan taat beragama.

"Eh, aku tahu seragam sekolah mana yang anak itu pakai," 

Tiba-tiba ada chat yang menarik perhatianku. Aku langsung me-reply chat tersebut. "Di mana, Mbak?"

Ia menjelaskan analisis pribadinya tentang kemungkinan di mana Fani bersekolah. Sepandai-pandainya anak itu bersembunyi di balik nama-nama samaran yang Ia gunakan, pada akhirnya akan terungkap juga.

Suasana rumah tanggaku dengan Mas Rizki terasa dingin, lelaki yang kukenal baik budinya ternyata sangat mengecewakanku dengan cara yang tak kuduga. Anak pertama kami yang ada di perutku berubah menjadi seperti beban, bayanganku untuk menjadi seorang ibu sekaligus isteri yang sempurna, sirnalah sudah.

Aku dan Mas Rizki saling diam, tak ada tegur sapa untuk sekedar menanyakan 'sudah makan atau belum?' di antara kami. Aku pun tak pernah memasak, aku memilih untuk makan di warung makan cepat saji. Untuk apa masak? Toh, Mas Rizki juga sudah makan di luar sana.

Hatiku teriris ketika teman-teman arisanku justru memberiku semangat untuk mendatangi sekolah anak itu.

"Tapi, alangkah baiknya jika aku komunikasi secara personal dulu sama anak itu. Ada yang bisa bantu cari nomor HP-nya?" Chatku dengan ringan.

"Oh, kami usahakan, Mbak. Kebetulan teman saya ada yang membidangi dunia maya. Mbak Fat, mau nunggu?"

"Iya, mau. Btw terimakasih ya, Mbak."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 100 (Rizki) TAMAT

    "Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 99 (Febi)

    Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 98 (Hikam)

    Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 97 (Salis)

    Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 96 (Putri)

    Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 95 (Hikam)

    "Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status