Share

Bab 6 (Fatma)

Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada.

Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?"

"Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari.

"Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki.

"Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki.

"Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah anak itu memang sudah baligh tapi belum memasuki batas usia minimal untuk menikah di Indonesia," aku menahan suaraku agar tidak meninggi.

"Yang kedua, dari sisi agama Mas Rizki belum memenuhi syarat sah untuk berpoligami. Karena, aku yang masih menjadi isteri sah Mas Rizki tidak mengizinkan poligami. Aku normal, Mas. Aku bisa hamil, aku bisa menghasilkan keturunan buat Mas Rizki. Apa yang kurang dari aku Mas?"

"Sayangnya, nafsu Mas Rizki terlalu dimanjakan. Bagaimana bisa Mas Rizki merendahkan isteri yang sedang hamil dengan berzina di luaran sana?" 

"Awalnya, aku hanya berniat membantu anak itu," dalih Mas Rizki.

"Bukan kewenangan Mas Rizki untuk memenuhi kebutuhan anak itu, apalagi bukan kebutuhan darurat. Hanya saja anak itu tahu kalau Mas Rizki punya banyak uang," celaku. 

"Yang ada anak itu membayar bantuan Mas Rizki dengan mengajak berzina!" Lagi-lagi aku mengeluarkan suara karena Mas Rizki belum juga menanggapi ucapanku.

Hari-hariku semakin dingin dan kelam, terkadang aku menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menangisi semua ini. Tidak ada yang membelaku, bahkan orangtua anak itu yang jelas-jelas bersalah justru terus saja menuntut Mas Rizki dan memojokkanku sebagai wanita yang tidak bisa merawat diri.

"Makanya, jadi perempuan itu dandan yang cantik, biar suami kalau pulang kerja tidak kecewa," oceh Ibunya Fani saat teman-teman arisanku mendatangi rumahnya agar mereka berhenti menuntut Mas Rizki. 

Otak bebal mereka tak mampu menyerap penjelasan bagaimana seharusnya mendidik anak perempuan dan menyikapi hal yang sudah terlanjur terjadi. Penjelasan tentang batas minimal usia menikah pun, mereka sanggah dengan dalih anaknya sudah baligh.

Aku menitipkan pesan pada teman-teman bahwa aku pribadi menolak dengan tegas untuk dimadu. Situasi dan kondisi kami tidak tepat digunakan sebagai alasan poligami. Mereka yang seharusnya memperbaiki anaknya, bukan menyerahkan anaknya untuk diperistri dengan mengkambinghitamkan laki-laki yang telah digoda. 

"Kalau Fatma tidak mau dimadu ya lepaskan saja, dasar isteri nggak berguna," ucap Ayahnya. Rekaman yang disimpan teman-temanku beberapa hasilnya sangat menyayat hatiku. 

"Kalau Bapak terus menuntut Mas Rizki menikahinya, kami tidak segan-segan melaporkan Bapak kepada lembaga yang berwenang," suara Tiara.

"Lho, apa maksudnya?"

"Pertama, lembaga perlindungan anak. Kedua, lembaga perlindungan perempuan. Ketiga, kami bisa menuntut Bapak karena merendahkan perempuan hamil dengan mendukung putri Bapak untuk menggodanya, serta menuduh Mbak Fatma sebagai isteri tidak berguna,"

"Terimakasih atas waktunya, Pak. Kami mohon pamit."

Aku menyandarkan punggungku seusai menyapu ruang tamu dan ruang tengah. Layar handphone-ku sudah penuh dengan notifikasi WhatssApp, salah satunya dari Mbak Salis. Kakak ipar dari satu-satunya kakakku memberi kabar bahwa Ia akan datang hari ini. 

Nikmat yang tak disangka-sangka saat aku merasa terpojok dan berjuang sendirian di antara ribuan manusia. Mbak Salis sudah akrab denganku sejak sebelum kakakku menikahinya. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan di pintu depan.

"Assalamu'alaikum. Fatma?"

"Wa'alaikumussalam, Mbak Salis. Ayo masuk," sahutku sambil berusaha bangkit dari kursi.

"Wah, udah besar. Seminggu lagi ya, Fat?" Ujar Mbak Salis sambil memandangi perutku yang membuncit.

"Mungkin, Mbak. Sepuluh hari lagi kalau menurut hitungan dokter," jawabku.

"Ini Mbak bawa bubur ayam, Fat. Kamu nggak alergi amis-amis, kan?"

"Wah, makasih lho, Mbak. Kok malah kebalik, harusnya Fatma yang nyuguh Mbak Salis. Sebentar ya Mbak, Fatma bikinin teh dulu.

"Nggak usah repot-repot, Fat. Aku bisa nyeduh sendiri biar pas takarannya," sahut Mbak Salis sambil membukakan kotak makan.

Kami berbincang-bincang tentang keseharian kami, Mbak Fatma menceritakan sedikit keseruannya di butik tempat Ia bekerja. Aku tersenyum tipis saat mengungkapkan bagaimana ngidamku beberapa bulan lalu. 

"Enak ya, langsung dikaruniai bayi di tahun pertama menikah," sela Mbak Salis.

"Halah Mbak, yang penting bisa berbakti dan menyenangkan suami. Nanti kalau nggak bisa, suami cari lagi, lho," ucapku sambil berusaha menguatkan hati sebisa mungkin.

"Ada-ada saja, Masmu itu sayang banget sama aku, Fat. Memangnya Rizki nggak sayang sama kamu?" Ujar Mbak Salis tanpa rasa bersalah.

Aku tahu Mbak Salis belum mendengar semua ini karena aku memendam dan menutup rapat-rapat permasalahan rumah tangga kami dari keluargaku. 

"Ada apa, Fat? Kamu melamun?" Ucapan Mbak Salis mengagetkanku.

"Mmm, enggak kok. Hanya saja, Mas Rizki menawariku poligami," ucapku tanpa pikir panjang. Aku pun tidak tahu mengapa kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutku. Mungkin karena aku tidak tahu harus bercerita dari mana kepada Mbak Salis.

"Hah, apa?! Kok bisa?!" Teriak Mbak Salis.

"Iya, Mbak," jawabku terdengar pelan di telingaku sendiri.

"Apa dasarnya Rizki menginginkan hal itu?" Mbak Salis sedikit menggeram sambil menyipitkan mata.

"Ada sesuatu yang mengganggu rumah tangga kami, Mbak. Mas Rizki selingkuh, selingkuhannya masih sekolah. Tapi sekarang Ia sudah dikeluarkan dari sekolah. Mbak tahu apa yang terjadi? Ternyata suamiku hampir setiap sore tidur dengannya," lirihku dengan cepat.

Mbak Salis memelukku erat, aku menahan diri agar air mata yang sudah mengembun di mataku tidak tumpah. 

"Orangtuanya tidak terima, mereka menuntut agar Mas Rizki menikahinya, Mbak. Sungguh tidak adil hanya karena anak itu masih di bawah umur, semua kesalahannya dilimpahkan ke Mas Rizki," 

"Mbak mengapa semua ini terasa tidak adil bagiku? Aku tidak hanya sakit hati dengan mereka berdua tapi pada semua orang yang memaklumi kelakuan bejad anak itu," 

"Apakah kita sebagai perempuan dibenarkan untuk menggoda laki-laki yang bukan hak kita? Lalu menyalahkannya karena tergoda dan menuntutnya?" Ucapku panjang lebar.

"Bego banget sih Rizki. Sama anak kecil aja lengket!" desis Mbak Salis.

"Karena anak itu cantik, Mbak. Ia jauh lebih cantik dari pada kita. Apalagi kondisiku lagi hamil, aku dianggapnya perempuan tak berguna yang tidak bisa melayani suami, Mbak," ucapku.

"Ya iyalah hasil perawatan, duitnya melorot dari Rizki. Tapi kurang ajar banget mereka merendahkan orang hamil," cibir Mbak Salis. 

Aku menceritakan semuanya pada Mbak Salis termasuk usahaku meminta bantuan teman-teman arisan dan mendatangi sekolah. 

"Mbak, maaf udah bikin Mbak Salis jadi pelampiasan Fatma. Fatma udah sakit banget sama semua ini,"

"Nggak apa-apa, Fatma. Aku tahu apa yang kamu rasain karena aku perempuan waras. Itu si Kunyuk itu nggak bisa donk semena-mena minta dinikahin. Selain nggak ada ada sebab untuk poligami, anak itu juga masih di bawah umur," Mbak Salis terengah-engah di tengah ucapannya.

"Mau ngotot yang disalahin si Rizki karena dia meniduri anak di bawah umur; orangtuanya juga salah, kenapa anak dibiarin keluyuran nggak jelas, bohong pula ngakunya ke mesjid. Nikah pun masih di bawah umur. Ini ya, yakin Mbak jadi benci banget, Fat. Ini semua nggak adil! Bego semua."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g usah terlalu tolol dan bertele2. tinggal dipidanakan saja.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status