Ibu kenapa polos banget, positif thinking amat sih ibu
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p
Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa
Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah Ibu, sebenarnya Mas Hikam dan Mbak Salis sudah mengatakan beberapa kali bahwa aku lebih baik tinggal di rumah mereka. Tapi aku tidak enak hati. Walaupun pada nyatanya akses menuju pasar dan toko-toko keperluan rumah tangga sangat jauh dari rumah orangtuaku. Jika berjalan malam hari saja kami harus membawa senter karena jalanan masih banyak yang belum dipasangi listrik.Ketimpangan sosial dan ekonomi di tempat kami masih sangat tinggi. Banyak rumah yang masih menggunakan bahan dasar kayu dan anyaman bambu. Namun beberapa juga banyak yang sudah seperti gedung bertingkat. Di tempat kami masih jarang penduduk yang menyelesaikan pendidikan tinggi, bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP. Aku bersyukur sekali karena kedua orangtuaku berjuang keras agar aku dan Mas Hikam bisa kuliah di kota. Banyak tetangga yang awalnya mencibir orangtuaku, "Anak perawan satu-satunya kok dilepas. Nanti kalau jauh dari rumah dan salah jalan tahu rasa itu orang," "Unt
Mas Rizki meminta video call, ada apa sebenarnya? "Mohon maaf, Mas. Kita sudah bukan suami isteri lagi!" Balasku singkat."Apakah Mas Rizki tidak ingin menjenguk anak sendiri?" Lanjutku mengalihkan perhatian. Kalimat 'anak sendiri' sengaja kutebalkan agar Ia peka, lalu kuletakkan handphone di atas meja tanpa menunggu balasannya. Kuhela nafas dalam-dalam berharap agar setan yang menghinggapiku pergi. Aku hampir selalu marah jika teringat Mas Rizki, aku takut jika rasa marahku tumbuh menjadi dendam. Hanya aku dan Mbak Salis yang tahu ini, Mbak Salis memang selalu mendengarku tapi Ia hanya bisa menyarankanku untuk beristighfar sebanyak mungkin."Maaf, Fat. Kantorku sedang tidak stabil, mungkin satu bulan lagi aku baru ke situ."Akhirnya setelah hampir setengah jam, kubuka kembali handphone-ku."Boleh aku vidcall Ikhda?" Balasnya lagi."Ikhda sedang tidur," balasku dengan cepat. "Silakan, kalau Mas Rizki mau lihat wajah Ikhda," balasku langsung menghidupkan fitur video call.Ayah dari an
Aku melemparkan handphone ke lemari baju yang masih terbuka. Jika kuingat-ingat inilah kemarahanku yang paling besar. Mengapa ada lelaki yang begitu mudahnya mempermainkan perempuan? Aku merasa dihina meski belum mengerti maksud pertanyaan Mas Rizki. Apakah Ia bertanya untuk menghinaku atau benar-benar memintaku kembali padanya. Menyadari Ikhda masih tertidur lelap, aku bergegas mengambil air wudhu. Aku menekadkan diri untuk bertadarus beberapa saat hingga kekacauanku sedikit reda. Rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi pada huruf-huruf al-Quran dan air mataku malah mengalir semakin deras. Aku kembali berwudhu dan melanjutkan tadarusku. Semoga semua ini adalah Kuasa Alloh untuk menguji kesabaranku dan sarana untuk mengangkat derajatku. "Ibu, apa semua perempuan mengalami seperti apa yang kualami, Bu?" Gumamku saat Ibu sedang menyisihkan butiran gabah di beras yang akan ditanak. "Tidak Fat, tapi semua manusia akan diuji dengan cara yang berbeda-beda sesuai batas kemampuannya," jaw
"Saya bersedia menerima tawaran Mas Reza dengan beberapa syarat. Yang pertama, Ikhda hanya boleh dibawa ketika Mas Rizki mengizinkan karena beliaulah Ayah Ikhda. Yang kedua, Ikhda tidak akan ikut bersama Anda sekalian hingga Mbak Putri bisa mengandung, tetapi dalam jangka waktu dua minggu saja. Jika belum genap dua minggu namun terjadi sesuatu pada Ikhda, misalnya sakit mungkin, maka saya akan mengambil anak saya kembali," ucapku panjang lebar. Kedua suami istri di depanku, Mas Hikam, dan Ibu menyimak ucapanku hingga selesai. Mas Reza dan Mbak Putri saling berpandangan, lalu Mbak Putri mengangguk pada suaminya. "Baik," ucap Mas Reza padaku dengan tegas. "Kami setuju," lanjutnya. Mas Reza memintaku untuk menghubungi Mas Rizki hari ini juga, Mas Hikam berbicara pada Ibu dan Bapak di ruang tengah karena kedua orangtua kami sepertinya belum sepenuhnya paham dengan maksudku. "Mengapa tidak telepon saja, Mbak?" Mbak Putri terlihat tidak sabar melihatku mengetikkan sesuatu di layar handpho
Hari keempat belas pun tiba, aku menunggu kedatangan Mbak Putri dan Mas Reza yang hari ini akan memulangkan Ikhda ke rumah kami. Bapak dan Ibu sedang mengurus sawah bersama para tetangga, sementara Mas Hikam sudah memberitahuku bahwa Ia harus mendampingi Mbak Salis periksa ke dokter. Mobil Avanza biru berhenti di halaman rumah kami disertai bunyi klakson. Aku yang sedari tadi menunggu di jendela ruang tamu bergegas keluar dan menyambut kedatangan anakku. Mas Reza membuka pintu penumpang dan anakku keluar bersama perempuan berhijab biru muda. Ikhda tampak bahagia di gendongan Mbak Putri, aku mengambilnya dengan hati-hati. "Wah, anak Bunda akhirnya pulang. Gimana belajarnya sama Tante Putri, Sayang?" Kukecup keningnya. Mbak Putri tersenyum senang. "Akhirnya saya bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki anak walaupun cuma dua minggu," ujarnya. Mas Reza mengiyakan ucapan istrinya. Setelah berbasa-basi sejenak di emperan rumah, aku menyilakan kedua tamuku masuk lalu menyuguhkan air p
Setelah kejadian tidak menyenangkan itu, komunikasi antara diriku dan keluarga Mbak Putri terputus. Aku enggan menyapanya terlebih dahulu, Mbak Putri pun tidak pernah mengirimiku pesan. Seperti ada jarak di antara kami, namun tak nampak. Aku hanya sanggup berdoa semoga Mbak Putri dan Mas Reza baik-baik saja.Membesarkan anak seorang diri membuatku banyak belajar, belajar sabar dan ikhlas, belajar istiqomah menjalankan ibadah wajib dan sunah, belajar menjaga kesehatan diri sendiri dan merawat anakku, dan masih banyak lagi. Aku bekerja freelance karena Bapak dan Ibu memintaku untuk tidak meninggalkan Ikhda. "Bukannya Bapak dan Ibu tidak mau dititipin cucu, Fat. Tapi kasih sayang Ibu jauh lebih dibutuhkan oleh anak. Biarkan Ia mengenal orangtuanya lebih dekat," ucap Ibu.Berbulan-bulan aku kerja freelance, gajinya tidak seberapa tapi aku harus tetap bekerja untuk diriku sendiri. Pantang bagiku mengharapkan belas kasihan orang lain, walau terkadang aku bosan dengan makanan itu-itu saja,