Rendy membawa Radinka dan Kemilau menuju sebuah villa yang berjarak lima belas menit dari villa sebelumnya. Sepanjang perjalanan Radinka berbicara banyak dengan laki-laki itu. Tentunya tentang Bali dan segala isinya. Mungkin, dari pada canggung dengan Kemilau, Radin memilih sibuk dengan obrolan mereka. Namun tangan laki-laki itu tetap menggenggam jemari istrinya agar tetap terlihat mesra di mata Rendy.Kini mereka telah tiba di sebuah vila bergaya klasik yang cukup besar. Vila yang menunjukkan bahwa si empunya bukanlah orang sembarangan. Bahkan tempat parkirnya begitu luas. Muat puluhan mobil kalau dikira-kira. Rendy parkir dekat dengan bangunan rumah agar kedua tamunya tidak perlu berjalan jauh. Dia membukakan pintu untuk Kemilau, karena dia tau Radinka tidak masalah kalau keluar sendiri.“Terima kasih, Pak.” Kemilau berucap seraya tersenyum manis. Setelah itu dia melihat Radinka kembali berjalan ke arahnya. Tentu saja karena mereka harus berjalan berdampingan ke dalam rumah.“Ayo, Sa
“Panggil nenek saja, atau oma juga boleh.” Pratiwi menggenggam jemari Kemilau dengan erat. Dengan cara yang berbeda. Dan ternyata ‘rasa’ itu tersampaikan kepada Kemilau yang membeku beberapa detik kemudian.Oma?“Sayang?” Radinka meremas pundaknya untuk membawanya keluar dari lamunan.“Ah … ba—baik, Oma.” Kemilau tersenyum begitu manis dan penuh arti. Semoga saja firasatnya keliru.“Senang bertemu dengan Pak Amar dan Ibu Pratiwi. Terima kasih untuk fasilitas yang diberikan untuk kita. Saya dan istri merasa sangat terhormat.”“Sudah kewajiban saya, Pak Radin. Secara saya yang mengundang Bapak dan Ibu datang ke Bali. Mari mari, duduk. Kita harus menyantap makanannya sebelum keburu dingin.” Amar mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi yang sudah tersedia di meja bundar itu. Radinka membukakan kursi untuk Mila sebelum dia duduk di kursinya sendiri. Amar memberi kode kepada para pelayan untuk mengeluarkan makanan pembuka alias appetizer. Ada potato sup plus salad sayur yang kini terhid
“Maafkan oma, ahhh, oma juga jadi sedikit baper karena ingat anak oma yang udah lama pergi.” Pratiwi juga ikut merasa bersalah karena sudah merusak suasana meja makan. Jari tangannya menepis air yang sudah menumpuk di sudut matanya yang keriput.“Nggak apa-apa, Oma. Maafkan saya yang sudah membahas hal-hal sensitif seperti tadi.” Mila memanjangkan tangannya untuk mengusap punggung tangan Pratiwi. Perempuan itu memang begitu peka dan sensitif. Dia tidak ingin orang lain merasa bersalah kepadanya.“Hm. Seharusnya saya tidak membahas kasus-kasus nggak penting itu. Sudah, lupakan. Yang pasti, saran saya, kalau bisa Ibu Kemilau harus lanjut kuliah. Sayang sekali, dia anak yang cerdas. Mungkin kelak dia bisa menjadi pengacara yang sukses dalam menangani banyak kasus.” Radinka mengangguk-angguk. Entah kenapa dia sepakat dengan Amar. Eh? Pikiran apa itu? Apakah dia juga mengakui bahwa Kemilau adalah anak yang cerdas?***Tak terasa, sudah tiga jam lamanya Radinka dan Kemilau berada di vila
“Sheza, sori, nanti saya sambung lagi.” Radinka mematikan panggilan tanpa menunggu balasan dari Sheza. Dia langsung menunduk untuk memungut sandal tersebut.Shit!! Tidak mungkin Mila pergi dan meninggalkan satu sandalnya bukan? Dan benda ini berada sekitar sepuluh meter darinya. Itu berarti Mila sudah tidak ada di belakangnya sekitar beberapa detik yang lalu. Harusnya masih ada di sekitar sini.“Kemilau!!” Radinka berteriak menyebutkan nama perempuan itu, sambil memutar kepalanya tiga ratus enam puluh derajat. Tidak ada sahutan.Shitt! Harus dari mana dia memulai? Radinka melihat apakah ada jejak telapak kaki Mila yang tertinggal di tanah. Sayang sekali tidak ada. Sial!!Radinka harus bergerak entah kemanapun itu. Laki-laki itu berlari ke salah satu arah. Lebih tepatnya ke salah satu lorong gelap yang memungkinkan orang untuk melakukan kejahatan. Dia memutar badan dan kepala saat kakiknya bergerak ke sana kemari. Sama sekali tidak ada orang yang berkeliaran di luar, jadi Radin tidak b
Gedoran Radinka semakin menjadi. Tentu saja itu membuat Mila tidak nyaman. Ada urusan apa gerangan sampai harus menggedor kamarnya seperti itu? Gadis itu tidak habis pikir. Dia terpaksa membersihkan dirinya dengan kilat. Membuang semua tanah yang ada di rambut, tangan, betis dan telapak kaki, kemudian menaburkan sabun cair di sana-sini. Jangan sampai Radinka menganiaya dia hanya karena lelet membuka pintu.Dia juga memakai baju dengan cepat. Sepasang piyama berbahan katun dia pilih karena berada di tumpukan paling atas. Rambutnya yang basah sengaja dibungkus di dalam handuk. Semoga saja Radinka tidak menganggap itu sebagai tindakan yang kurang sopan, karena mau bagaimana lagi?“Kamu ngapain aja di dalam? Sudah lima menit, Kemilau!” Suara laki-laki itu kembali terdengar, membuat Mila sangat gugup. “Se—sebentar, Tuan.” Dia menyahut sambil berlari ke arah pintu. Diputarnya kuncian sebanyak dua kali ke arah yang berlawanan. Saat itu juga gagang pintu langsung bergerak dan daun pintu terd
Dua kali?Dia memang ditenggelamkan sebanyak dua kali. Malam ini dan yang kemarin. Apa … yang waktu itu … dia juga diselamatkan oleh Radinka sendiri? Begitu? Kedua bola mata Kemilau meredup setelah menyadari arti dari ucapan tuannya. Air matanya lagi-lagi menetes karena merasa sedih. Kenapa Radin menolongnya jika dia sendirilah yang membuang Mila ke dalam air? Supaya apa? Dan sekarang dia bersikap seolah-olah dirinya sudah sangat berjasa setelah menarik Mila dari dasar kolam renang. Wanita itu sama sekali tidak mengerti apa isi kepala Radinka. Dia menunduk saja untuk menyembunyikan tangis.Radinka juga tidak berkutik. Melihat air mata gadis itu tepat di depan mata tiba-tiba saja mengusik jiwanya. Dia berdiam diri di tengah-tengah kolam dengan posisi masih menggendong perempuan itu. Entah kenapa dia belum ingin bergerak ke tepian. “Ma-af, Tuan. Bisakah … Tuan menepi?” Mila meminta dengan kepala yang masih menunduk. Sebenarnya perempuan itu merasa sangat canggung sekarang. Kedua tanga
Kelopak mata Mila menutup dan membuka secara dramatis, bagai terkena efek slow motion. Otaknya sedang mencerna apa yang terjadi sekarang. Radinka tiba-tiba menciumnya, dan hal itu membuat otak Kemilau blank seketika. Kenapa … kenapa pria itu menciumnya? Apa ada yang salah? Apa ini adalah salah satu jenis hukuman lain bagi Kemilau? Tapi karena apa? Bukankah dia sudah menurut dengan semua perintah laki-laki itu?Merasa tidak terima karena sudah dicium tanpa alasan, Mila mendorong tubuh laki-laki itu dengan kuat untuk memutuskan penyatuan bibir mereka. Radinka yang tidak menduga Mila akan melakukan hal tersebut, nyaris terjengkang ke belakang. Kemilau langsung tertunduk dan meminta maaf yang sebesar-besarnya. Entah apapun alasan Radin, dia tidak ingin tau. Yang jelas dia tidak menyukainya. “Maaf, Tuan. Ini … ini sudah malam.” Dia beralasan. Sudah tidak tau juga harus berkata apa. Sesungguhnya dia takut Radin menilainya tidak sopan. Tapi hati nuraninya benar-benar tidak terima pria itu
Mila terlihat jelas menelan saliva. Kejadian tadi malam kembali menari-nari di dalam benaknya.“Sekalian yang ini.”Radinka tiba-tiba menarik kaos oblong yang sedang dia kenakan sekarang. Kemilau yang kaget, dengan cepat menutup mata dan menundukkan kepala. Ya Tuhan, laki-laki ini sama sekali tidak punya rasa malu!“Ini.” Aduh! Apa yang harus dilakukan Kemilau? Dia tidak ingin membuka mata! Sampai matipun dia tidak mau! Perempuan itu memilih untuk memanjangkan tangannya saja, tanpa melihat ke arah yang bersangkutan. “Buka mata kamu atau baju mahal saya akan jatuh ke lantai.”Biarlah dikata tidak sopan, tapi Kemilau tidak ada pilihan. “Tolong taruh di tangan saya saja, Tuan," pintanya.Radinka rupanya begitu terhibur dengan sikap wanita itu. Dia meletakkan baju tersebut di ujung jemari Mila. Dan saat perempuan itu akan menggapainya, Radin menarik lagi dengan kuat sehingga Kemilau ikut maju.Pakaian di tangan kiri Mila terjatuh dan sekarang dia berujung menubruk dada Radinka yang keka