Kelopak mata Mila menutup dan membuka secara dramatis, bagai terkena efek slow motion. Otaknya sedang mencerna apa yang terjadi sekarang. Radinka tiba-tiba menciumnya, dan hal itu membuat otak Kemilau blank seketika. Kenapa … kenapa pria itu menciumnya? Apa ada yang salah? Apa ini adalah salah satu jenis hukuman lain bagi Kemilau? Tapi karena apa? Bukankah dia sudah menurut dengan semua perintah laki-laki itu?Merasa tidak terima karena sudah dicium tanpa alasan, Mila mendorong tubuh laki-laki itu dengan kuat untuk memutuskan penyatuan bibir mereka. Radinka yang tidak menduga Mila akan melakukan hal tersebut, nyaris terjengkang ke belakang. Kemilau langsung tertunduk dan meminta maaf yang sebesar-besarnya. Entah apapun alasan Radin, dia tidak ingin tau. Yang jelas dia tidak menyukainya. “Maaf, Tuan. Ini … ini sudah malam.” Dia beralasan. Sudah tidak tau juga harus berkata apa. Sesungguhnya dia takut Radin menilainya tidak sopan. Tapi hati nuraninya benar-benar tidak terima pria itu
Mila terlihat jelas menelan saliva. Kejadian tadi malam kembali menari-nari di dalam benaknya.“Sekalian yang ini.”Radinka tiba-tiba menarik kaos oblong yang sedang dia kenakan sekarang. Kemilau yang kaget, dengan cepat menutup mata dan menundukkan kepala. Ya Tuhan, laki-laki ini sama sekali tidak punya rasa malu!“Ini.” Aduh! Apa yang harus dilakukan Kemilau? Dia tidak ingin membuka mata! Sampai matipun dia tidak mau! Perempuan itu memilih untuk memanjangkan tangannya saja, tanpa melihat ke arah yang bersangkutan. “Buka mata kamu atau baju mahal saya akan jatuh ke lantai.”Biarlah dikata tidak sopan, tapi Kemilau tidak ada pilihan. “Tolong taruh di tangan saya saja, Tuan," pintanya.Radinka rupanya begitu terhibur dengan sikap wanita itu. Dia meletakkan baju tersebut di ujung jemari Mila. Dan saat perempuan itu akan menggapainya, Radin menarik lagi dengan kuat sehingga Kemilau ikut maju.Pakaian di tangan kiri Mila terjatuh dan sekarang dia berujung menubruk dada Radinka yang keka
Kemilau meluapkan semua tangisnya di dalam bantal. Sesaat setelah kalimat itu dia ucapkan, sesungguhnya, saat itu juga dia langsung menyesal. Kenapa juga harus melontarkan kata-kata yang terkesan mengemis perhatian seperti itu? Jangan sampai Radinka mengira dia sedang menjual kesedihan di sini. Tidak ... Kemilau tidak masalah jika tetap menjadi babu, tetap dibentak, tetap disiksa. Asalkan jangan sampai dijadikan pelampiasan hanya karena dia jauh dari kekasihnya. Mila tidak menyukai Radinka dan segala hal yang berkaitan dengan laki-laki itu. Sekali Radin berani menyentuhnya, dia berjanji tidak akan diam. Radin sudah tau bahwa dia punya kemampuan bela diri. Seharusnya dia tidak berani bermain api. Satu jam cukup bagi Kemilau untuk tenggelam dalam kesedihan. Berlama-lama di kamar tentu akan semakin membuat Radinka berpikiran yang tidak-tidak. Lagian mereka akan ke pantai hari ini. Ah, apa yang akan dia kenakan? Kemarin rencana membeli baju renang sudah gagal karena kejadian itu. Tapi d
Sepanjang perjalanan menuju pantai, Kemilau hanya berdiam diri. Kata-kata Radinka di pinggir jalan tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Untuk pertama kalinya dia mendengar laki-laki itu menyebutnya sebagai ‘istri’. What happened? Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu? Kemilau merasa tidak nyaman. Karena entah kenapa kini hatinya ikut-ikutan terpengaruhi. Tadi dia sama sekali tidak merasakan apapun saat Radin menggenggam tangannya. Lebih tepatnya sejak kemarin, sejak mereka mulai bersandiwara. Tapi sekarang, entah kenapa telapak tangan besar itu seperti mengirimkan aliran listrik ke dalam seluruh sel-sel tubuh Kemilau. Kali ini dia merasakan cara genggaman Radin yang berbeda dari yang sudah-sudah. Yang ini seperti lebih erat, padahal kalau dilihat-lihat, sama saja. Belum lagi lengan mereka yang saling menempel. Apakah hanya Mila yang merasakan sensasi berbeda karenanya? Atau Radinka juga? Sadar Mila! Ya Tuhan!Seakan menyadari diam istrinya, Radinka yang tadinya sibuk men
Akhirnya sampai juga di pantai. Kemilau merasa itu adalah sepuluh menit terlama dalam hidupnya. Apalagi saat Radin tiba-tiba melontarkan pertanyaan aneh seperti tadi. Mila sama sekali tidak bisa menjawab. Yang ada dia mematung karena tidak menduga Radin akan bertanya demikian. Untungnya laki-laki itu kembali bisa mencairkan suasana.Keduanya langsung menghampiri salah satu tenda kecil yang ada di bibir pantai. Dimana sudah ada Amar dan istrinya di sana, yang sedang duduk di atas kursi santai yang terlihat begitu nyaman."Oma, Opa." Kemilau menyapa duluan. Radinka sudah melepaskan tangannya."Milaaaaa, kamu cantik sekali, Sayang." Pratiwi menyambut cipika cipiki dari gadis belia itu. "Terima kasih, Oma." Mila tersenyum lembut.Radinka juga menyapa Amar dan duduk di sebelahnya. Kini dia dan Mila bagaikan berbagi tugas untuk menemani pasangan suami istri itu."Pak Radin dan Ibu Mila sudah sarapan?" tanya Amar."Sudah, Pak. Sebelum ke sini tadi. Bapak dan Ibu ... ke sini sendiri, atau ba
Kemilau terpana melihat kedua tangan Radinka yang terbentang di hadapannya. Berdamai? Apakah semua orang kaya akan melupakan semua perbuatan mereka dengan mudah? Atau apa karena Mila masih begitu muda sehingga pria ini mengira dia akan gampang dikelabui?Lalu tadi laki-laki itu juga memintanya untuk menjadi dirinya sendiri. Selama di Bali. Lalu, setelah pulang ke Jakarta apa dia diwajibkan akan menjadi babu lagi? Apa dia akan kembali disiksa dan dianiaya? Namun Mila sadar benar kalau mereka masih harus sandiwara. Keluarga Amar pasti sedang memperhatikan mereka. Perempuan itupun maju selangkah, sehingga semakin dekat dengan Radinka. Dia menatap wajah tampan itu dengan lekat."Tuan, saya sangat sadar kalau kita sedang bersandiwara. Tapi bisakah kita melakukan yang sewajarnya saja? Terus terang ... saya tidak nyaman dengan sikap Tuan yang seperti ini."Radinka terkejut mendengarnya? Jelas. Tangannya otomatis turun dengan perlahan. "Sampai kapanpun, kita tidak mungkin bisa berdamai. Ma
Sesampainya di vila, Radinka langsung masuk ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ah, memang sejak kemarin juga seperti itu bukan? Dia selalu membiarkan Kemilau yang menutup pintu. Sekarangpun demikian, laki-laki itu tidak ingin ambil pusing. Kemilau sendiri tidak tau harus berbuat apa. Ingin senang atau bagaimana, dia bingung berat. Secara masih ada hari esok yang harus mereka lalui. Jika Radinka malah benar-benar mengabaikannya, lantas apa gunanya dia di sini? Tapi ya sudahlah. Toh ini adalah permintaan Kemilau bukan? Maka dengan ringan hati dia melangkah ke dalam kamarnya sendiri. Mandi, lalu memakai piyamanya yang lain. Setelah itu dia berniat untuk mengambil pakaian dari luar. Sudah malam, takut kembali lembab.Saat memeriksa ulang pakaiannya, Kemilau baru menyadari kalau pakaian dalam yang disebutkan Radinka tadi pagi tidak ada di sana. Bukankah tadi laki-laki itu bilang sudah memungutnya? Lalu ke mana perginya? Apa … Radinka … tidak mengembalikannya ke jemuran?Oh God!Kemilau cepa
“Saya tau tempat dimana kamu nggak akan bisa kabur-kaburan lagi.” Radin dengan cepat mengangkat perempuan itu seperti mengangkut karung goni di punggungnya. Dia sangat kesal ketika Mila selalu berusaha terlihat tegar, terlihat kuat, terlihat tidak apa-apa, padahal jelas-jelas dia sedang terluka dan mungkin masih merasa takut atas kejadian yang dia alami barusan. Radinka sungguh sangat membenci itu. Sekarang dia masuk ke dalam kamarnya lalu keluar lagi menuju kolam renang. Dia tau Kemilau tidak akan bisa berkutik kalau sedang berada di dalam air. “Tuan! Tuan! Please jangan!” Kemilau langsung sadar kalau dia akan kembali diceburkan ke dalam air. Tangannya meronta-ronta memukul punggung Radin dengan kencang. Air matanya bertaburan lantaran takut. Oh God, kenapa dia bisa hidup bersama iblis sebejat ini?Rupanya Radin tidak berniat untuk menceburkan Mila sendirian. Laki-laki itu justru menuruni tangga dan masuk ke dalam kolam tanpa menghiraukan tangisan istrinya. Dia berjalan sampai jauh