Share

Part 8

Lima belas menit kemudian, dia sudah kembali ke mejanya dan mematikan komputernya.

Suara langkah kaki terdengar dari balik punggungnya. Caliana menoleh dan melihat atasannya tengah tersenyum padanya. "Jadinya lembur juga?" Ledek wanita menjelang paruh baya itu.

Caliana mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi, Bu. Namanya juga bawahan, ya nurut aja daripada dipecat.” Jawabnya dengan asal.

“Anak baik.” Jawab Bu Shelly seraya menepuk pundak Caliana. “Saya duluan, ya?” ucapnya dan Caliana mengangguk saja. Ruangan yang sepi itu didominasi dengan suara kipas dari CPU Caliana dan juga ketukan langkah kaki Bu Shelly di sepanjang lorong yang sepi. Tanpa sadar Caliana bergidik. Ternyata horror juga mendapati malam-malam hening seperti ini. Dan memang, ini untuk pertama kalinya Caliana lembur sampai larut seperti ini. Biasanya ia orang yang pulang tepat waktu, dan jika pun harus lembur. Dia sudah keluar gedung sebelum pukul tujuh malam.

Ia bukan pencari bonusan lembur. Karena menurutnya, bekerja terlalu lama justru malah akan menumpulkan otaknya. Dia lebih suka pulang tepat waktu dan menghabiskan waktu dengan menghibur diri sendiri. Entah itu tidur, membaca novel atau nonton drama yang disukainya. Yang pasti, selama ini dia selalu big no untuk lembur.

Ponselnya kembali bordering dan Caliana kembali melihat nama keponakannya di layar. Semua data sudah berhasil dipindah. Dan computer di depannya sudah mati juga. Caliana meraih tas yang ada di bagian bawah mejanya. Mengganti sandal yang tadi dikenakannya dengan sepatu yang ia kenakan saat pergi bekerja. Setelah mematikan lampu mejanya, Caliana pun beranjang untuk pulang..

Baru saja keluar dari ruangannya, dari sudut matanya Caliana melihat sosok lain berbelok dan berjalan bersama dengan sang kepala cabang menuju ke arahnya. Benar kata Carina, ayah sahabatnya itu memang sosok penggila kerja. Lihat saja hari pertamanya disini. Sudah pulang lewat dari jam seharusnya. Apa memang semua CEO perusahaan bersikap seperti pria yang selalu memiliki tatapan tajam ini? Tanyanya dalam hati.

“Malam Sir, Malam Pak.” Sapanya pada kedua orang itu dengan sopan.

“Kamu baru pulang juga, Na?” tanya Pak Wahyu. Kepala cabang yang usianya lebih muda daripada Bu Shelly.

“Iya Pak.” Jawabnya. Ia berjalan mengikuti kedua pria berposisi tinggi di perusahaannya itu.

“Bu Shelly?” tanya Pak Wahyu lagi.

“Baru aja pergi beberapa menit lalu, Pak.” Jawab Caliana lagi. Sebagai satu-satunya bawahan yang ada disana, Caliana mendekat menuju lift dan membukakan tombol untuk mereka bertiga. Ia mempersilahkan kedua atasannya masuk lebih dulu sebelum kemudian dia masuk dan menekan tombol lantai pertama.

Tidak butuh lama untuk sampai ke lantai satu. Lebih efisien dan menghemat waktu memang daripada harus berjalan kaki menggunakan tangga. Caliana kembali membiarkan kedua atasannya berjalan lebih dulu. Bahkan dengan sengaja mengulur waktu hanya supaya tidak keluar gedung bersamaan. Namun lagi-lagi, ponselnya kembali berdering.

“Itan!” Pekik Carina yang jelas terdengar kesal. “Itan dimana sih, kita udah di bawah tahu! Jangan bilang Itan nginep di atas.” Ucapnya kesal.

Caliana lagi-lagi memutar bola matanya sambil terus berjalan menuju pintu depan yang kini terbuka seiring dengan keluarnya sang bos besar. “Ini lagi jalan. Itan di belakang Papa nya Qilla.” Jawab Caliana dengan pelan.

“Baru pulang juga, neng?” salah satu security yang dikenal Caliana menyapa. Caliana menjawab dengan senyum sekaligus anggukan. “Hati-hati di jalan, neng.” Ucapnya lagi.

“Makasih pak.” Ucapnya dan berjalan terus keluar.

Caliana melihat hanya ada Big Boss nya yang berdiri sendirian. Sementara kepala cabangnya sudah tak kelihatan. Ia melirik berkeliling mencari dimana posisi Carina sampai akhirnya dua mobil berhenti di depan mereka secara beruntun.

“Papa?” Suara Syaquilla terdengar nyaring saat salah satu mobil membuka pintunya. Caliana menoleh dan melihat keponakannya serta sahabatnya keluar dari sana.

“Kamu kenapa kesini?” suara Adskhan yang dalam terdengar menggema di udara yang kosong.

“Mmm…” Syaquilla tampak terdiam.

“Hallo Om. Kenalin, saya Carina. Temennya Qilla.” Dengan tanpa malunya Carina mendekati pria berwajah dingin dan mengulurkan tangannya. Caliana bisa melihat Adskhan yang sejenak tampak ragu sebelum menerima uluran tangan keponakannya yang kemudian langsung mencium punggung tangannya. “Qilla sama Carin kesini mau ketemu sama dia.” Tunjuk Carin dengan sengaja pada Caliana yang memang posisinya berdiri di belakang Adskhan.

Adskhan mengerutkan dahinya dan menoleh pada Caliana. Baiklah, bisa Caliana duga kalau saat ini bos nya itu bingung mau memanggil Caliana dengan sebutan apa.

“Dia tantenya Carin, Pa.” Syaquilla menjelaskan. Sepersekian detik Caliana bisa melihat sebelah alis pria itu terangkat sebelum kemudian memunculkan kembali wajah datarnya. “Qilla hari ini mau nginep di rumahnya Itan. Granny sama Baba udah bilang sama Papa kan?” tanya remaja itu dengan takut-takut.

Adskhan tampak memandang putrinya sejenak sebelum kemudian mengangguk.

“Tunggu disini, Itan bawa mobil dulu.” Jawab Caliana seraya berjalan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada.

Ia tidak lagi menghangatkan kendaraannya karena keinginannya untuk keluar dan menjauh dari keabsurdan kondisi saat ini sangatlah besar. Setelah meletakkan tasnya, ia kemudian menginjak gas mobilnya dan kembali melajukannya menuju bagian depan gedung. Caliana menghentikkan mobilnya di belakang mobil yang tadi mengantarkan Carina dan Syaquilla.

“Kita pulang?” tanyanya pada dua remaja di depannya. Caliana melirik Syaquilla yang kini tampak menggigit bibirnya. Tampaknya gadis itu ragu-ragu untuk memutuskan akan ikut siapa. Pulang kembali ke rumahnya bersama sang ayah, atau mengikuti Carina dan pulang ke kediaman Caliana.

“Kalo Qilla mau pulang sama Papa kamu, gak apa-apa. Aku pulang sama Itan.” Terdengar suara bisikan Carina pada sahabatnya. Lagi-lagi Caliana bisa melihat keraguan di wajah remaja itu.

“Putusin itu aja nanti.” Caliana akhirnya membuat pilihan. “Sekarang makan dulu, Itan laper. Kalo Qilla gak jadi nginep di rumah Itan, nanti Itan anterin pulang.” Jawab Caliana lagi dan kembali masuk ke dalam mobilnya.

“Gimana?” Carina balik memandang sahabatnya.

Bukannya menjawab, Syaquilla malah memandang ayahnya dengan tatapan tanya. “Qilla boleh nginep di rumah Itan, Pa?” tanyanya lirih.

“Udah, kita makan dulu aja.” Jawab Carina lagi. “Kamu ikut mobil Papa kamu aja. Ngobrol di mobil. Aku bareng Itan. Kalo dia gak segera dikasih makan, nanti dia bisa makan orang.” Ucap Carina dengan datar. Ia kemudian berjalan dengan langkah cepat menuju mobil Caliana dan masuk di samping kursi kemudi.

“Ayo masuk.” Ucap Adskhan dengan datar. “Nanti Itannya temen kamu bener-benar makan orang.” Candanya yang membuat Syaquilla membelalakkan mata tak percaya.

Di Mobil Caliana.

Tepat setelah pintu mobil tertutup, Carina langsung memekik seraya menggoyang-goyang lengan Caliana. "Ya ampuun taaaannnn..." suaranya yang lantang membuat Caliana segera menutup kupingnya. "Kenapa Itan gak bilang kalo papanya Qilla tuh super duper handsome gila?" Cerocosnya dengan kedua tangan menepuk-nepuk pipi.

Caliana melirik keponakannya seraya mengangkat sebelah alis sebelum menarik rem tangannya dan kembali melajukan mobil. "Itan gak ngerti. Dia itu  handsome atau gila?" Ucapnya datar.

Carina mencebik mendengar ucapan tantenya. "So' gak ngerti gitu deh. Kalo ada orang ganteng ya berbagi dong, Tan. Jangan mau suka koleksi sendiri." keluhnya dengan bibir cemberut.

Caliana memutar bola matanya. “Emangnya cowok itu novel. Pake di koleksi. Lagian kamu tuh ya, dia sama Papa kamu bisa jadi tuaan dia. Masa mau ngegebet kakek-kakek."

Carina berdecak keras. "Siapa juga mau ngegebet kakek-kakek, Itan. Maksud Carin, lain kali kalo Itan ketemu cowok cakep, ya kabar-kabari Carin gitu. Lagian barusan Carin itu cuma terpesona. You know. Om Adskhan itu pantesnya sama Itan, bukan sama Carin. Carin kesel aja, Itan sama Qilla punya cowok ganteng seksi kayak gitu kok disembunyiin."

Lagi-lagi Caliana memutar bola mata. "Hey, Itan ga nyembunyiin ya. Emang Itan gak kenal. Cuma sekedar tahu. Bedain itu. Lagian kalo kenal juga dia kan atasan Itan. Bukan pacar Itan yang mesti Itan kenalin. Emangnya selama ini Qilla gak pernah ngenalin kalian?"

Carina mengedikkan bahu. “Pernah sih nunjukin foto. Tapi di foto gak seganteng aslina.” Kekeh remaja itu. "Lagipula, Qilla aja gak akrab sama Papanya, gimana mau kenalin sama Carin. Emang Itan gak lihat sendiri barusan? Qilla segitu takutnya sama Papanya. Kasihan kan? Padahal dia itu kalo di belakang Papanya suka muji-muji gitu. Dia sayang banget sama Papanya, tapi Itan lihat sendiri kan gimana Papanya sama Qilla. Aneh!" Gerutunya dengan kekesalan yang tak disembunyikan. "Foto bareng juga kayaknya cuma lebaran aja." Lanjutnya ketus.

Caliana terkekeh. Tangan kirinya terangkat dan mengusap kepala keponakannya dengan sayang. Ia tak tahu bagaimana persahabatan kedua remaja itu bermula. Yang jelas Carina sangat menyayangi sahabatnya itu. Dan Caliana bisa mengerti dengan kekesalan yang ditunjukkannya. Itu tak lebih karena Carina begitu mencintai sahabatnya.

“Menurut Itan, Papanya Qilla bakal ngijinin Qilla nginap di rumah Itan?” tanya Carina ingin tahu. Caliana melirik spion tengahnya dan kemudian menganggukkan kepala. “Kenapa bisa?”

“Karena mobil mereka ngikutin mobil Itan.” Jawabnya sederhana.

Sementara di mobil Adskhan.

Keheningan mengisi ruangan sempit itu. Baik Adskhan maupun putrinya Syaquilla tampak kebingunan dan tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa. Jauh dalam hati Adskhan sendiri ia sebenarnya merasa bersalah pada putrinya yang tumbuh besar tanpa perhatian darinya selama ini.

Adskhan melihat tampilan putrinya dari kaca spion tengah. Remaja berparas cantik dengan rambut hitam lebat yang mengikal di bagian bawahnya itu tampak tengan memandang kea rah luar jendela dengan tubuh kaku. Wajahnya, secara keseluruhan selalu mengingatkan Adskhan pada kisah masa lalunya yang tidak menyenangkan. Pada kisah cintanya yang berakhir dikhianati oleh ibu putrinya sendiri. tapi patutkah Adskhan menyalahkan putrinya atas semua yang dilakukan mantan istrinya dulu? Adskhan turut mengalihkan pandangan dan melakukan hal yang sama seperti sang putri. Memandang keluar jendela.

Tidak. putrinya tidak bersalah. Walau bagaimanapun Syaquilla tidak pernah meminta untuk dilahirkan dengan orangtua sepertinya dan mantan istrinya. Putrinya itu terlahir dalam keadaan bersih, suci dan tanpa dosa. Adskhan lah yang salah disini karena sudah mengabaikannya hanya karena melihatnya membuat ia merasa melihat wanita itu.

Bisakah ia menebus kesalahannya? Masihkah ia punya waktu untuk membuat putrinya itu kembali ke sisinya? Masihkan putrinya itu mau memaafkannya?

“Papa?” suara Syaquilla yang lirih dan terdengar malu-malu membuat Adskhan menoleh. “Qilla boleh nginap di tempatnya Itan kan, Pa?” tanya gadis itu ragu-ragu. “Qilla udah siapin semua buku sama keperluan Qilla buat sekolah besok. Tapi kalo Papa gak ngijinin, Qilla ikut pulang sama Papa.”

Untuk pertama kali dalam tiga belas tahun sejak putrinya lahir. Sepertinya ini kali pertama gadis itu membuat permintaan secara langsung pada Adskhan. Haruskah Adskhan menolaknya? Apakah jika ia mengijinkannya putrinya akan menganggap bahwa ia tidak ingin menghabiskan waktu bersamanya?

Adskhan memandang putrinya dalam kegelapan mobil. “Kamu yakin gak akan ngerepotin Itan?” ia balik bertanya. Syaquilla terdiam seraya memandangi jarinya yang bertaut. “Papa gak akan larang kamu nginap di rumah Itan kalo kamu memang nyaman disana. Dan selama kamu gak ngerepotin Itan dan Itan nya gak ngerasa di repotin. Papa ijinkan.” Lanjutnya lugas.

Syaquilla mendongak dan tersenyum. Kepalanya mengangguk antusias. “Qilla janji gak akan ngerepotin Itan kok.” Janjinya. Adskan hanya menganggukkan kepalanya, turut tersenyum kepada putrinya. Tanpa sadar Adskhan mengulurkan tangan dan mengusap kepala putrinya. Syaquilla yang terpesona tampak diam saja dan hanya memandang wajah sang ayah.

Sudah sebesar ini, batin Adskhan. Ia tidak menyangka, bayi mungilnya tumbuh dengan begitu cepat dan menjadi gadis yang cantik. Ia merasa malu karena selama ini tidak menghabiskan waktu untuk mengenal putrinya. Dan ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau selama ini ia merasa cemburu karena Syaquilla jauh lebih dekat dengan pamannya yang merupakan sepupu Adskhan sendiri.

Ia akan menebus kesalahannya. Sejak saat ini, ia berjanji akan lebih memperhatikan putrinya. Akan lebih menyayanginya. Itulah alasan kenapa ia memutuskan untuk tinggal di Bandung saat kedua orangtuanya pergi. Tapi ia sendiri bingung harus memulainya darimana.

Adskhan melihat mobil yang sejak tadi mereka ikuti. Caliana. Entah ini yang disebut takdir atau bukan. Tapi sosok yang beberapa waktu ini mengusik pikirannya membuatnya terkejut karena ternyata telah mengenal putrinya lebih dulu. Caliana bahkan selangkah atau beberapa langkah lebih maju daripada dirinya. Bisakah dia membantu Adskhan untuk mengambil kepercayaan Syaquilla?

Ya. Ia rasa bisa. Caliana dan juga keponakannya, Carina, bisa menjadi jembatan penghubung antara ia dan Syaquilla.

Mobil mereka terus mengikuti mobil yang dikendarai Caliana. Adskhan sedikit mengernyit ketika Caliana menepikan mobilnya di parkiran jajanan kaki lima. “Kita makan disini?” Adskhan memadang putrinya ragu. Lalu memandang berkeliling melihat situasi.

Syaquilla yang hendak keluar dari mobil kini menoleh memandang ayahnya dan menganggukkan kepala. “Ini tempat langganannya Itan, Pa. makanannya enak kok.” Ucapnya lagi tampak antusias. Cukup, melihat raut senang seperi itu membuat Adskhan tidak ingin banyak berkata. Akhirnya ia pun turun meninggalkan mobil. Di luar, Carina sudah mengulurkan tangannya kepada Syaquilla dan mereka kembali mengikuti kemana Caliana berjalan.

“Karena Om yang paling kaya disini, jadi Om yang traktir kita makan ya?” ucap Carina pada Adskhan saat mereka masuk ke salah satu tempat berdindng spanduk bergambarkan macam ungags yang bertuliskan Cak Muh dalam huruf besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status