Share

Part 7

Minggu pagi, Caliana mengantarkan ibunya menuju bandara. Tidak membuang banyak waktu karena setelah mengeluarkan kopernya dari dalam mobil, mereka langsung kembali pergi karena memang Nyonya Nurma sendiri yang memintanya.

“Jadi, bagaimana dengan Syaquilla?” tanyanya saat mereka sudah keluar dari area parkir bandara.

Carina mengedikkan bahu tanpa menoleh pada tantenya. Sabtu kemarin Qilla pergi ke Jakarta buat nganterin Granny sama Baba. Katanya nanti dia bakalan balik ke Bandung sama Papanya.”

“Jadi, dia bakalan tinggal sama Papa nya selama Granny sama Baba nya pergi?” tanya Caliana lagi ingin tahu. Carina menjawab dengan gelengan kepala. “Trus?”

“Carin gak tahu, Itan. Qilla bilang dia suka kalo Papa nya tinggal sama dia. Tapi dia juga bilang kalo dia risih.” jawab Carina dengan nada mencebik. “Lagian, kalo pun Papa nya tinggal di rumah sama dia. Gak jadi jaminan Papa nya dia bakalan selalu ada. Qilla bilang, Papa nya itu orangnya gila kerja.”

Caliana terkekeh. “Kalian anak kecil, tahu apa sama istilah gila kerja?”

“Itu Qilla sendiri yang bilang. Katanya, tiap kali dia ke Jakarta pun, dia jarang lihat Papa nya meskipun itu di akhir pekan.” Lanjut Carina lagi. Caliana hanya bisa ber’O’ saja mendengar penjelasan keponakannya.

Selebihnya, seperti biasa. Akhir pekan itu mereka habiskan untuk mengunjungi café dan berjalan-jalan di Mall.

Senin Pagi

“Buku pelajaran, baju ganti, seragam olahraga buat besok, baju ganti sama baju tidur.” Carina menggumam seraya menulis apa yang baru saja dikatakannya dalam buku catatannya. “Apa Carin perlu bawa koper kesini? Kok banyak amat yang mesti Carin bawa?” ia mendongak memandang Caliana yang baru saja menyodorkan nasi goreng di hadapannya.

“Bawa sekalian lemari baju kamu kesini.” Jawab Caliana datar. Ia kembali menuju lemari es dan mengeluarkan susu kotak dari dalamnya. Menuangnya ke dalam gelas sebelum memasukkannya ke dalam microwave.

“Kenapa gak Itan aja sih yang pindah dulu ke rumah? Kan kalo gitu, Itan yang repot.” Jawab Carina seenaknya.

Carina memandang keponakannya dengan sebelah alis terangkat. “Enak di kamu gak enak di Itan dong.” Cibirnya. “Lebih tepatnya, kenapa kamu gak tinggal aja di rumah sama bibi dan Itan tinggal disini sendiri. seenggaknya Itan gak perlu nyiapin sarapan buat kamu pagi-pagi begini.”

Carina memandang tantenya dengan bibir mengerucut. “Gak ikhlas banget sama keponakan sendiri.” ucapnya seraya menyuapkan nasi goreng ke mulutnya dan mengunyahnya keras.

Caliana mengedikkan bahu seraya berjalan kembali menuju kamarnya. “Kalo mau berangkat, bawa kunci cadangan. Gembok dari luar. Itan mau mandi.” Umumnya dan menutup pintu kamar dari dalam.

Lima belas menit kemudian, Caliana sudah tampak rapi dengan setelan kerjanya. Celana panjang bahan berwana hitam yang dipadu padankan dengan kemeja berwarna peach lengan panjang yang ia lipat sampai ke setengah siku. Bagian bawah kemeja ia masukan ke dalam celana sehingga menunjukkan perut rampingnya. Rambut hitam panjangnya digelung rapi dan dihias dengan jepitan sederhana yang tidak terlalu mencolok.

Caliana melihat dapurnya sudah sepi dan bahkan tidak ada piring kotor bekas makan Carina. Dia tersenyum dan bangga sendiri pada kelakuan keponakannya. Caliana berjalan menuju pintu keluar, meraih kunci mobil yang biasa ia gantung di lemari gantungan kunci di dinding sebelah pintu dan mulai memanaskan mobilnya. Sambil menunggu mobil panas, ia kembali berjalan ke dapur dan menyiapkan sarapannya sendiri. Roti panggang dengan telur mata sapi setengah matang. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan sarapannya. Setelah itu Caliana kembali ke kamar untuk menggosok gigi dan kemudian bersiap memulai hari senin nya yang pastinya tidak santai.

Informasi mengenai kedatangan Adskhan sudah memang bukan hal yang baru bagi Caliana. Namun tetap saja, saat ia melangkahkan kaki memasuki gedung dan melihat kehebohan teman-temannya. Lagi-lagi ia dibuat terkejut.

Aura yang ia lihat saat memasuki ruangannya membuatnya mengangkat sebelah alis. Melihat para wanita berpenampilan layaknya model yang hendak catwalk itu biasa. Justru yang membuatnya ingin tertawa adalah saat ia melihat wajah para karyawan pria yang masam.

Caliana berjalan menuju kursinya. Seperti biasa memasukkan tas nya bagian bawah meja dan meraih mug  nya. Berjalan menuju pantry dan bersiap menyeduh kopi favoritnya.

Baru saja ia kembali ke mejanya dan meletakkan mug nya. Keheningan yang tak biasa muncul. dan ia bisa melihat sang pemilik perusahaan melewati ruangannya bersama dengan kepala cabang dan beberapa petinggi perusahaan. Termasuk Bu Shelly, atasan langsung Caliana.

“Kamu kelihatan gak seantusias temen-temen kamu, Na.” ucap Bu Shelly saat Caliana masuk ke ruangannya tak lama setelah wanita itu kembali ke ruangannya.

“Harus gitu Bu?” Caliana balik bertanya.. Bu Shelly yang sebelumnya fokus pada dokumen di hadapannya kini mendongak memandang Caliana yang duduk di seberang mejanya.

“Temen-temen kamu yang lain, terutama yang lajang. Itu kelihatan antusias banget waktu tahu kantor operasional dipindah kesini. Tapi kamu kelihatan biasa aja.”

“Memangnya saya harus gimana Bu? Tebar pesona?” tanya Caliana lagi.

Bu Shelly tersenyum seraya mengangguk. “Temen-temen kamu ngelakuin itu kan?”

Caliana menggelengkan kepala. “Berharap dilirik Owner trus dijadiin istri gitu?” Caliana memandang Bu Shelly, bu Shelly menganggukkan kepalanya. Caliana menggeleng. “Saya tipe Mulan, Bu. Bukan Cinderella.” Ucapnya dengan santai.

Bu Shelly mengerutkan dahi bingung. “Maksudnya?”

“Saya ini tipe-tipe pejuang, bukan penganut romansa kantor. Saya juga bukan Cinderella yang berakhir menikahi pangeran.”

Bu Shelly terkekeh lagi. “Kamu ini, memang unik.” Ucapnya.

Calina mengedikkan bahu. “Kalo saya boleh jujur, sebenarnya saya kurang nyaman kalo owner ada disini.” Jawabnya.

“Kenapa?”

“Aura nya jadi beda, Bu. Kayak naik roller coaster. Satu menit cekikikan, menit kemudian mendadak jaim. Lama-lama tetangga saya jadi punya kepribadian ganda.”

Mendengar jawaban Caliana, Bu Shelly tertawa terbahak. “Ya Allah, Na. Kamu ini.” Bu Shelly menyerahkan kembali laporan yang sudah dia periksa kepada Caliana. “Sana pergi ke temen-temen kamu yang punya kepribadian ganda.” Usirnya. Namun sebelum beranjak, Caliana kembali bertanya.

“Ada owner disini, jam kerja masih tetep kan Bu? Gak ada lembur-lembur, gitu?”

Bu Shelly mengangkat bahu. "Jika dibutuhkan." Jawabnya datar. "Kenapa?"

Caliana menggelengkan kepala. "Saya mesti pulang cepet, Bu. Keponakan saya gak ada yang jagain. Kalo mendadak ada lembur, saya bingung."

"Kamu atur-atur aja. Kalo bisa dibawa ke rumah ya bawa ke rumah.” Jawab bu Shelly masih dengan nada santainya. Caliana mengangguk dan pamit meninggalkan ruangan.

Caliana menghempaskan tubuhnya ke atas kursi. Menghembuskan napasnya dengan lelah. Kepalanya berdenyut nyeri karena terlalu banyak berpikir.

Bagaimana tidak. mendadak sang big boss meminta laporan seluruh transaksi penjualan dan pembelian bahan baku dalam waktu singkat. Padahal itu bukanlah bagiannya. Maksudnya, Caliana hanya memegang tanggung jawab laporan untuk dua proyek saja, sementara sang boss memintanya, ralat. Menyuruhnya mengerjakan laporan delapan proyek? Ya Tuhan, dihari-hari biasa saja butuh empat kepala untuk mengerjakan itu semua.

Suara deringan ponselnya di dalam laci meja terdengar nyaring. Begitu kontras dengan ruangannya yang sunyi. Ia membuka laci dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya sebelum menekan tombol.

"Itaaannn...." Seruan marah Carina mendengung di telinganya yang sudah pusing.

"Yes, Moana?"

"Ini udah jam berapa? Kenapa belum pulang?" Cebiknya kesal. Caliana memijit pelipisnya pelan sebelum melirik jam tangannya. Ya ampun, ternyata sudah pukul tujuh lewat. "Mau pulang jam berapa emang? Emang Itan gak khawatir sama keponakan Itan yang satu ini?”

Caliana memutar bola matanya. “Iya, bentar lagi pulang. Masih beres-beres ini.” Jawab Caliana datar. "Minta anterin siapa kek yang ada di rumah. Biar sekalian pulang bareng ke tempat Itan. Ntar kita makan di warungnya Cak Muh.”

"Qilla ikut boleh? Dia katanya mau ikut nginap di rumahnya Itan?” tanya Carina ragu. Caliana mengerutkan dahi.

“Tapi kan bapaknya ada disini, Rin.” Tegur Caliana.

“Kan Carin udah bilang sama Itan kemarin. Lagian Carin juga lagi di tempatnya Qilla nih.” Lanjut keponakannya itu.

“Ya udah, terserah.” Jawab Caliana menyerah. “Itan sholat Isya dulu sambil nungguin kalian.” Jawabnya.

“Tapi Itan, kata Qilla gak apa-apa kita gak ganti baju lagi? Kita udah pada pake piyama ini.” Keluh Carina.

Caliana memutar bola matanya. “Selama kalian pake baju, gak masalah.” Ketusnya lelah. "Kalo malu, tutupin pake jaket aja. Kan bisa?” Jawab Caliana santai. "Cepetan kesininya, Itan juga udah laper. Nanti kalo Itan kurus trus Oma marah, Itan aduin kalian." Lanjutnya dengan nada mengancam.

"Ye.. itu mah maunya Itan kali, kurus kering kayak model. Ya udah, kita berangkat." Tanpa menunggu jawaban Caliana, ponsel dimatikan.

Caliana kembali melihat layar di depannya. Menyimpan beberapa file dan memindahkannya ke dalam flashdisk yang ada di mejanya. Sambil menunggu data berpindah, ia beranjak naik ke lantai atas untuk melakukan kewajibannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status