Akibat insiden teh yang tertumpah itu, Nazwa bersikeras meminta sang suami untuk membelikan baju untuk Risa. Setelah menyetujui permintaanya, pasangan gelap ini pun segera menuju butik langganan para artis, istri pengusaha, dan para istri pejabat.
Dulu, sebelum Nazwa jatuh sakit dan lumpuh. Hampir setiap minggu ia mengajak Risa untuk shopping di butik itu. Tapi, kini? Nazwa bahkan membiarkan suaminya pergi dengan Risa ke butik walaupun bersama supir dan juga asisten pribadi Arya di depan.Suasana di mobil terasa begitu canggung, tidak ada percakapan antara Risa ataupun Arya. Mereka tampak sibuk dengan ponselnya, dan hanya sesekali saling mencuri pandang.
"Ayo, Risa!" ajak Arya sambil berjalan mendahului setelah mobil mereka tiba di halaman butik."Haruskan kita, ke sini?" Risa berbisik dan sesekali melirik ke dua penggangu di mobil depan, takut jika mereka mendengar ucapannya."Tidak usah cemas, tidak akan ada yang curiga," jawabnya tanpa menoleh. Dengan langkah lesu, Risa mengikuti. Bukan ia tak bahagia belanja di tempat mewah seperti itu. Namun, ia hanya khawatir ada teman arisan Nazwa yang memergoki dirinya tengah bersama Arya. Sesampainya di dalam butik suasana tampak sepi, tidak ada satu pun pelanggan lain di sana. Risa melirik kepada Arya dengan tatapan penuh tanya. "Aku telah booking butik ini khusus untukmu, jadi kamu bisa memilih semua barang di sini dengan nyaman."Risa tersenyum sekilas, tanpa membuang-buang waktu ia mendekat ke arah deretan baju-baju mewah yang berada di hadapannya. Perasaan cemas di dalam hati Risa menguap begitu saja mengetahui Arya melakukan itu semua demi dirinya. Hatinya pun kembali berbunga saat Arya berkata, jika dia ingin melindungi wanita spesialnya dari gosip tidak menyenangkan yang mungkin saja tersebar jika ada kenalan yang memergoki mereka tengah berduaan. "Beli baju itu juga, aku harap kamu memakainya nanti malam," bisik Arya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah deretan lingerie menggoda berwarna merah menyala. Wajah Risa merona saat Arya menunjuk ke arah lingerie itu, fantasinya pun melayang pada saat-saat penuh gelora di antara mereka. "Mas, kalau yang ini, suka gak?" tanya Risa sambil memperlihatkan satu lingerie seksi dan mengedipkan sebelah mata. "Kamu tahu betul seleraku, aku jadi tak sabar," godanya sambil mencolek hidung mancung Risa. Dua jam pun berlalu, dan banyak barang pula yang telah dipilih oleh Risa. Matanya berbinar, jelas sudah jika wanita itu bahagia dengan kemewahan yang disuguhkan Arya kepadanya, dan melupakan rasa penyesalan yang sempat ia rasakan kepada Nazwa. "Aku keluar lebih dulu," ucap Arya sesaat setelah dia membayar semua barang yang dipilih Risa. Risa mengangguk sambil tersenyum, ia paham dengan maksud Arya. Sudah menjadi kebiasaan mereka saat berduaan di tempat umum, Arya selalu meminta Risa untuk menunggu sebelum dirinya keluar terlebih dahulu. Risa tak pernah komplain dengan hal itu karena ia sadar, jika keputusan Arya demi kebaikan mereka berdua. "Eh-eh denger deh. Kamu yakin, mereka cuman sebatas atasan, dan bawahan aja? Kalau aku sih gak yakin, mereka pasti ada sesuatu." Terdengar suara seseorang yang sepertinya tengah bergosip. Meski suaranya tak terlalu kencang, tapi Risa masih bisa mendengarnya karena jarak antara mereka hanya terpisahkan oleh sebuah lemari kaca yang mendisplay tas-tas mewah. Pada awalnya, Risa bersikap bodo amat, dan memilih untuk keluar menyusul Arya. "Aku sempat mengambil foto mereka saat memilih lingerie. Sepertinya, jika aku menunjukkan foto ini pada salah satu pelanggan kita akan ada gosip hangat dong," ucapnya lagi diiringi tawa renyah di akhir kalimat. Tentu saja ucapan mereka membuat Risa semakin naik darah. Wajahnya memerah, tangannya mengepal kuat karena menahan amarah. "Bukannya kalian di sini hanya, sebagai pelayan?" ujar Risa tiba-tiba membuat dua orang gadis yang tengah bergosip itu terkesiap melihat keberadaannya. "Ah, saya kecewa dengan pelayanan di toko ini. Pegawainya kurang ajar memotret pelanggan diam-diam seperti ini!" pekiknya sembari merebut ponsel yang berada di tangan salah satu gadis. "Ma-maaf, saya tidak sengaja," katanya, membela diri dengan kepala yang terus tertunduk. Risa tersenyum sinis mendengar ucapan mereka. Ia merasa muak mendengar ungkapan maaf yang lebih mirip sebuah pembelaan basa-basi. Mendengar adanya keributan, satu per satu karyawan berdatangan bersama salah satu supervisor toko. "Sumpah, saya kecewa dengan pelayanan di sini!" ungkap Risa tegas sambil menyerahkan ponsel yang berada di genggamannya kepada sang supervisor. Setelah itu, ia berjalan keluar. Amarah benar-benar tak dapat lagi Risa bendung. Ia berjalan sambil menghentakkan kaki dan membuat perhatian Arya tertuju kepadanya. "Kenapa?" tanyanya dengan nada cemas. "Salah satu karyawan sengaja memotret kita, dan tadi aku dengar mereka akan menunjukkan foto itu kepada salah satu pelanggan artis mereka agar menjadi gosip," jawab Risa masih dengan nada kesal. "Kurang ajar!" pekik Arya murka. Malas dengan keributan yang terjadi, Risa lebih memilih untuk diam dan menunggu di dalam mobil sambil kembali mengatur amarah. Jauh di dalam hatinya Risa merasa lega, dan sangat bersyukur karena sempat mengetahui ulah pegawai-pegawai nakal itu. Jika tidak, maka semua akan berantakan! Gosip akan menyebar, dan hal itu pasti akan sangat merugikan serta mencoreng nama baik Arya yang terkenal setia terhadap istrinya di mata publik. "Apa saya perlu melaporkan kejadian barusan, Pak?" tanya Budi—asisten pribadi Arya. Sesaat setelah sang bos kembali. "Tidak perlu, saya sudah mengurusnya, dan hari ini menjadi hari terakhir untuk kita belanja ke sana.""Tapi, Pak. Bukannya itu butik langganan, Nazwa, ya? Dia kurang suka belanja di tempat lain," ucap Risa setelah mendengar penuturan Arya. "Saya yang akan bicara pada Nazwa. Saya yakin dia akan mengerti."Risa pun bungkam mendengar jawaban dari Arya karena ia tahu betul tidak ada gunanya untuk membantah Arya jika dalam keadaan marah. Terlebih, masih ada supir dan asisten pribadinya yang bersama mereka. Diam menjadi hal paling benar yang dapat Risa lakukan saat ini. Setibanya di kantor, Arya bergegas menuju ruangannya bersama Risa. Tanpa mengindahkan raut kebingungan Risa, Arya langsung menarik tubuh seksi itu ke dalam dekapannya. "Kemarilah, aku butuh kamu!" "Tapi, Mas --"
"Geli, Mas Arya. Sudah cukup! Kita di kantor loh," tolak Risa saat Arya tiba-tiba memeluk dan menghujaninya dengan ciuman. Sekuat tenaga Risa mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan Arya. Risa khawatir ada seseorang yang melihat mereka tengah bermesraan. "Sebentar saja, Risa. Aku mohon," ucapnya lirih dan terus memeluk dengan erat. Arya melepaskan pelukan, perlahan dia mengecup leher jenjang Risa hingga membuat desah lembut lolos dari bibir semerah delima itu. "Hanya kamu yang mampu menjadi peredam amarahku, Risa sayang," bisik Arya dengan napas yang menderu. Risa hampir terbuai dengan sentuhan demi sentuhan yang dirasakannya. "Mas, ah, kamu membuatku basah," desah Risa menggoda. Merasa keinginannya akan bersambut, dalam sekali ayun Arya mengangkat tubuh Risa dalam gendongannya. Dia menghempaskan tubuh sang kekasih ke sofa, dan membuat Risa berada dalam kungkungannya. Perlahan Arya membelai wajah cantik yang kini berada tepat di hadapannya, gairah Arya semakin tertantang sei
Nazwa masih belum percaya dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui. Selama ini, dokter pribadi yang merawatnya adalah seorang dokter perempuan. Maka, saat Nazwa melihat Dika yang akan menggantikan Dokter Sarah membuat ia sedikit merasa canggung. "Sayang, aku ingin bicara kepada, Ayah," ungkap Nazwa dengan sorot mata sendu. "Untuk apa? Sudah tidak apa-apa. Ayah pasti tahu apa yang terbaik untuk, Putrinya," ungkap Arya sambil merebahkan tubuh ringkih Nazwa di ranjang. Arya menempatkan dirinya tepat di sebelah Nazwa, meskipun saat ini amarah hampir membakar sebagian hatinya. Namun, dia berusaha tetap tenang di hadapan Nazwa, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. "Tapi, apa kamu yakin?" tanya Nazwa ragu. "Kamu tahu kan bagaimana sifat, Ayah?"Nazwa terdiam, tentu saja ia tahu bagaimana sifat sang ayah yang jika telah memutuskan satu hal pantang sekali untuk kembali menarik keputusannya. "Maaf, jika mulai besok kehadiran, Kak Dika membuatmu tak nyaman," ucap Nazwa parau.
Berulang kali Risa menatap pantulan dirinya pada cermin. Mengenakan baju tidur transparan dengan belahan dada rendah membuatnya tampak begitu seksi, dan menggoda. Namun, Risa menyadari ada satu hal yang mengganjal di dalam hatinya. Risa terdiam. Selama satu tahun berkencan dengan Arya ini adalah kali pertamanya menginap di rumah itu dengan status kekasih bayangan Arya. Risa bimbang di antara dua pilihan, menyenangkan kekasihnya atau menghargai Nazwa yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. "Wah, kamu seksi, Sayang.""Mas Arya!" pekik Risa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Menarik lengan Arya lalu mengunci pintu. Risa menatapnya selintas, lalu berbalik tak mengacuhkan Arya yang tampak bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya. "Hei, kemarilah."Namun, Risa tetap tak acuh terhadap Arya. Ia memilih untuk berjalan menuju jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Arya tertawa melihat reaksi Risa yang tak seperti biasanya, "Kamu kelihatan kesal, ada apa?"Sesuatu yang lembut m
Nazwa mengatupkan mulutnya saat mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Dika bersama Nazwa dalam satu kamar yang sama, terlebih Risa hanya mengenakan handuk membuat sebuah prasangka tersendiri dalam benak Nazwa. "Ma-maaf aku sudah mengganggu. Lanjutkan saja, dan jangan lupa tutup pintu kamar," ucap Nazwa sambil mengulum senyum, lalu memberikan isyarat kepada pelayannya untuk segera mendorong kursi rodanya menjauh. Dika berdecak, dia beralih menatap Risa yang masih saja tak sadarkan diri. Dengan kesal dia membopong tubuh Risa, dan merebahkannya di ranjang. "Bangunlah jalang, dan katakan dengan siapa kamu bercinta!" "Hei, siapa yang kamu sebut jalang?!" pekik seseorang dari ambang pintu. Dika menegakkan tubuh lalu menghadap ke arah sumber suara, dua pria yang sama-sama berparas tampan itu pun saling beradu pandangan. "Apa masalah Anda, Tuan?" tanya Dika sambil menelengkan kepala. "Apa yang sudah kamu lakukan, kepadanya?"Masih dengan tatapan sinis, Arya melangkah mendekati
Risa tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu membuat Dika teramat sangat jijik. Dia terus mengumpat di dalam hati, terus merutuki kebodohannya yang dengan mudah masuk ke dalam drama yang diciptakan oleh Arya, dan Risa. "Wah, saya bahagia melihat pemandangan ini. Selamat untuk hubungan kalian," ucap Bramantyo sembari bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Dika. Dika masih terdiam, dan saat Bramantyo sudah tak ada dalam jarak pandangannya dia langsung menghempaskan tangan Risa dari lengannya. "Nazwa, dengarkan saya, mereka telah bermain gila di belakangmu," ucap Dika sambil menggenggam tangan Nazwa. Nazwa terkesiap, ia menatap penuh tanya ke arah Arya. Melihat hal itu, Arya bergegas melepaskan genggaman tangan Dika. "Setelah menikmati malam panjang bersama, kamu tega fitnah kami? Apa kamu lupa bagaimana aku begitu kesakitan kamu paksa bercinta sepanjang malam?" ucap Risa lirih, bahkan ia pura-pura menangis. "Hei, jalang, apa yang kamu ucapkan!" pekik Dika, bahkan dia hampir menamp
Risa sangat merindukan hadirnya Arya di setiap malam-malam panjang, yang acap kali membuatnya kesepian. Dan malam ini, harapannya akhirnya bersambut. Risa mencoba membayangkan apa saja yang akan terjadi malam nanti, dan hal itu membuatnya semakin tak sabar. "Aku akan membuatmu melayang, Mas," gumam Risa saat ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Seksi, cantik, dan menggoda. Kesan pertama yang akan selalu Risa tampilkan di hadapan Arya. Maka, saat Arya telah berada dalam dekapannya sudah dapat dipastikan lelaki itu akan terus terbuai dalam gelora yang tak berkesudahan. Risa bergegas ke arah pintu saat ia mendengar suara deru mesin mobil. Senyumannya merekah menatap sosok lelaki bertubuh tegap, dengan dagu terbelah yang membuat gelenyar-gelenyar rasanya semakin terpacu. Pintu terbuka. Tanpa malu-malu Risa berlari ke dalam dekapan Arya, "Kenapa lama sekali?" tanyanya manja. "Kamu sudah tak sabar, Sayang?" tanya Arya, sambil membalas dekapan Risa. Risa tersenyum dan mengangguk
Gaun malam dengan belahan dada rendah, make-up bold, serta rambut yang dibiarkan terurai membuat Risa semakin memesona. Ia berjalan dengan anggunnya menuju tempat di mana pesta itu diadakan. "Selamat malam, Om," sapa Risa anggun kepada Bramantyo yang tengah menyapa tamu bersama Nazwa. Bramantyo terdiam, dia menatap penampilan Risa dengan dahi yang berkerut, begitupun dengan Nazwa yang menatapnya dengan tatapan aneh. "Sstt, Risa kemarilah," bisik Nazwa memberikan isyarat untuk mencondongkan tubuh. "Apa penampilanku aneh?" tanya Risa memastikan. Nazwa mengangguk, ia pun terkekeh saat melihat reaksi ayahnya yang tampak kesal melihat penampilan Risa. "Kamu, pergilah ke kamarku dan ganti pakaian dengan yang lebih tertutup," saran Nazwa berbisik. "Baiklah," ucap Risa mengiyakan, tanpa membuang waktu ia berjalan menjauh dari pesta. Namun, alih-alih mengganti pakaian Risa justru berniat membuat keributan. Ia berjalan menuju taman, merogoh petasan lalu hendak menyulutnya dengan korek a
"Jangan harap bisa melarikan diri dari saya, bajingan!" "Ma-maafkan saya, Tuan."Namun, ungkapan maaf dari pelayan itu hanya membuat amarah Arya semakin memuncak. Arya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sadar jika posisi mereka tengah berada di tempat terbuka dia kembali menarik tubuh pelayan itu ke tempat yang dirasa aman. Gudang penyimpanan menjadi pilihan Arya, dibantingnya tubuh sang pelayan pada tumpukan kardus-kardus yang tersusun rapi. "Ampun, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja." Dia bersimpuh di hadapan Arya, memohon pengampunan. "Apa ada yang menyuruhmu untuk memata-matai kami?" selidik Arya, dan tak peduli dengan raut ketakutan pemuda di hadapannya. Pelayan itu mendongak, dia menatap Arya dengan sorot mata memelas. "Ti-tidak ada, Tuan. Saya hanya tidak sengaja lewat lalu merekam kalian," jawabnya tergagap. Arya menyeringai. Tiba-tiba dia telah berjongkok di hadapan pelayan itu sambil mencekiknya kuat. "Berikan ponselmu, jika kamu masih ingin hidup!""Po-ponsel