Risa terpaku dengan raut wajah pucat. Tulisan di sebuah kertas dengan tinta semerah darah itu membuatnya teramat ketakutan. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel kemudian cepat menghubungi Arya. Panggilannya tersambung, tapi Arya tak menerima panggilan itu, membuat Risa semakin cemas dan ketakutan. Bayangan-bayangan buruk pun terus berkelindan dalam benaknya. Dalam sekejap Risa menjerit saat ia terbayang jika saat ini Arya tengah bersimbah darah di tangan Dika. "Enggak, enggak mungkin! Dasar, Dika brengsek!" pekik Risa histeris. Untuk beberapa saat Risa tenggelam dengan perasaan kalutnya. Rumah besar yang sengaja Arya berikan untuknya seakan berubah menjadi rumah menyeramkan berisi para psikopat yang tak segan-segan untuk menghabisi nyawa dirinya. Risa menutup kedua mata, dan telinga, berharap apa yang dibayangkannya akan menghilang. Namun, semakin ia mencoba wajah Dika justru semakin jelas menghantui. "Kamu gak akan pernah bisa buat nyakitin aku!" pekik Risa, sembari mele
Risa tertidur pulas dalam dekapan Arya. Namun, lelaki itu masih terjaga. Dia terus menatap lekat wajah cantik sang kekasih. Bulu mata lentik, hidung mancung, dan bibir tipis semerah delima itu tampak indah dipandang. Layar ponselnya berkedip, Arya beringsut lalu meraih ponsel yang berada di atas nakas. Nama Nazwa terlihat di layar itu. Dia menghela napas dalam sebelum meraih dan menerima sambungan telepon dari sang istri. "Iya, Sayang?" ucap Arya sesaat setelah dia berada di luar kamar. "Apa kamu sudah makan, Sayang?" tanya Nazwa penuh perhatian di ujung telepon. "Aku sudah makan, dan sekarang aku merasa sangat lelah."Kebohongan demi kebohongan lain terus terlontar sempurna dari mulut Arya. Tujuannya hanya satu, dia tak ingin Nazwa curiga kepadanya. Dan terus berpikir jika dirinya adalah seorang suami pekerja keras yang penuh tanggung jawab. "Kalau begitu istirahatlah, Sayang. Besok kita berjumpa di rumah."Arya mengembuskan napas lega mendengar Nazwa mengatakan hal itu. "Kamu
Rencana untuk segera kembali ke rumah kembali Arya urungkan. Setelah merebahkan tubuh Risa di sofa, Arya bergegas menuju halaman."Brengsek! Berani-beraninya dia melakukan ini!" gumam Arya sambil meremas poster dengan gambar menyeramkan itu. Dia melangkah ke luar pagar sambil mengedarkan pandangan keseluruh arah, dia berharap ada sesuatu hal yang bisa menjadi bukti untuk menangkap sang peneror. Meskipun dalam hatinya dia meyakini jika Dika lah yang menjadi biang kerok dari semua teror itu, tapi jika tidak ada bukti itu hanya akan menjadi sebuah tuduhan tak berarti. "Lihat saja aku akan menangkapmu cepat atau lambat!" Arya mengepal kuat, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam penuh bara amarah. ***Tubuh Risa kembali menggigil, wajahnya pucat karena terus terbayang gambar menyeramkan di poster tadi. Meskipun Arya terus memeluknya, tetap saja rasa takut itu tak kunjung pergi meninggalkannya. "Hari ini kamu tidak perlu masuk kantor, ikutlah bersamaku ke rumah."Risa menoleh, menatap
Risa hampir saja membuka mata karena terkejut dengan perkataan Arya. Beruntung, ia masih mampu menahan diri meskipun degup jantungnya kini berdetak tak karuan. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan, Risa?" tanya Nazwa dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. "Apa kita perlu menghubungi, Dokter?" lanjut Nazwa cemas. Perlahan Arya merebahkan tubuh langsing Risa di ranjang, setelah itu dia membawa Nazwa keluar kamar. "Aku ingin bersama sahabatku, Sayang," protes Nazwa. Namun, Arya tak mengindahkan ucapan sang istri. Dia terus menjauh dari kamar yang kini ditempati Risa, dan membawa Nazwa untuk berbicara hanya berdua saja di taman. Nazwa menatap Arya dengan tatapan sendu, dan ia hampir saja menangis. "Aku hanya ingin bersama dengan dia," lirih Nazwa berucap. "Sayang, biarkan dia istirahat dan beri kesempatan, Risa untuk menenangkan diri," bujuk Arya sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Nazwa. Arya menggenggam tangan Nazwa erat, tatapannya lembut dan seakan penuh cinta. Lagi-la
Ucapan Arya terus terngiang-ngiang bagaikan lagu yang diputar tanpa henti. Risa menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. "Kenapa dia membawaku ke sini? Apakah dia ingin membuatku tak nyaman berada di sini?" gumam Risa penuh tanya. Ia masih saja bergeming sambil bersandar pada bantalan ranjang. Entah sudah berapa lama ia berada di sana, dan sampai saat itu pun Arya sama sekali belum menemui dirinya. Pintu terbuka! Sosok wanita dengan seragam serba putih berjalan menghampiri. Ia tersenyum sambil menundukkan kepala. "Perkenalkan, saya Sari dan mulai hari ini, bersama beberapa bawahan saya yang lain akan melayani Anda dengan sepenuh hati," ungkap sang wanita mulai memperkenalkan diri. Risa mengerutkan kening sambil menyipitkan kedua matanya, "Tunggu! Apakah kalian pelayan baru di rumah ini?" tanya Risa penasaran. Sari mengangguk sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu bekerja di sini? Sebelumya aku tak pernah melihat keberadaanmu.""Sejak tadi pagi, dan kami diberikan p
Suasana rumah mewah itu mulai sepi. Diam-diam Arya menyelinap keluar dari kamar setelah memastikan jika Nazwa sudah tertidur dengan pulas. Dengan langkah lebar-lebar dia bergegas menuju kamar di mana Risa berada. Namun, langkahnya terhenti saat dia melewati taman dan mendapati Risa tengah duduk seorang diri. Senyumnya merekah, didekatinya sang kekasih lalu duduk tepat di sampingnya. "Kenapa di sini?" Risa menoleh sesaat, lalu kembali fokus menatap langit malam yang sekelam hatinya. "Kenapa, Mas memberiku pelayan pribadi? Apa, Mas tak takut ada yang curiga?" ujar Risa, langsung melayangkan pertanyaan alih-alih menjawab pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan Arya. Wajah cantik itu terlihat sendu, meski tidak terlalu pucat tetap saja sisa-sisa ketakutan masih tampak nyata dari raut wajahnya. Arya menatap lekat wajah kekasihnya itu, ada desir hangat di dalam dadanya. "Nazwa sudah setuju, bahkan dia yang meminta aku untuk mencarikan pelayan pribadi untukmu.""Benarkah?!"Arya mengang
Aroma yang menggugah selera seketika menyeruak saat dua orang pelayan masuk ke dalam kamarnya dan membawa satu nampan penuh sarapan untuk Risa. Dengan malas ia mendudukan tubuh sambil bersandar pada bantalan ranjang. "Tubuhku rasanya lemas sekali," gumam Risa sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Pergumulannya bersama Arya semalam benar-benar membuat Risa sangat kewalahan. Meskipun awalnya Risa menolak, tapi tetap saja ia tak bisa berkutik jika Arya sudah berada dalam satu kamar bersamanya. "Untuk pagi ini, Anda diminta sarapan di dalam kamar," ungkap salah satu pelayan sambil menyimpan nampan pada meja. Dahi Risa berkerut, "Siapa yang memberi, perintah?""Tuan Arya."Risa hanya mengangguk-angguk kecil, mengetahui siapa yang memberi perintah. "Baiklah, aku akan sarapan di sini. Tapi ada satu hal yang harus kalian lakukan.""Apa yang harus kami, lakukan?"Risa beranjak dari ranjang, berjalan menuju meja kemudian menuangkan kopi hangat ke dalam sebuah cangkir. Ia sempat m
"Rupanya kamu belum cukup mengenalku, Nazwa. Sejak dulu aku selalu begini jika tengah tertekan. Diam seorang diri, dan membiarkan semua rasa ketakutan yang membuatku depresi menguap dengan sendirinya." Risa beralibi. Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya. Sama seperti yang tengah Risa lakukan. Ia terus berbohong banyak hal kepada Nazwa, dan sedikitpun tak merasa bersalah. "Maafkan aku, Risa. Karena aku, kamu jadi seperti ini," ucap Risa sendu. Rasa bersalah terus menghantui hari-hari Nazwa. Kadang, ia selalu menyalahkan dirinya karena menurut saja ketika sang ayah merekomendasikan Dika untuk merawatnya. Andai saja ia tahu sifat asli Dika sejak lama, bisa saja Nazwa menolak tegas keinginan ayahnya itu. "Sudahlah, Nazwa. Aku baik-baik saja," ungkap Risa sambil tersenyum. "Hmm, tapi. Apa kamu ingin keluar dari kamae?"Mata indah Risa berbinar, terus berdiam diri di kamar memang membuatnya bosan. "Apakah, Arya akan baik-baik saja? Aku takut dia akan murka kepadamu." Ris