Share

Bukan Istri Idaman
Bukan Istri Idaman
Penulis: Bintang Aldebaran

1. Seminggu Setelah Menikah

Seminggu yang lalu adalah hari pernikahanku dengan Mas Ardi. Satu minggu yang lalu pula aku mengatakan kepadanya kalau sedang datang bulan. Jadi, kami belum merasakan manisnya malam pertama. Suamiku itu tidak marah. Dia justru sabar menunggu sampai benar-benar bersih.

Aku mengenal suamiku dari orang tuaku. Kedua orang tua kami adalah teman akrab sejak lama. Jadi, mereka ingin membuat hubungan ini lebih dekat dengan cara menikahkanku dengan Mas Ardi. Kami diberi waktu tiga bulan untuk mengenal satu sama lain sebelum menikah. Bagiku, tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk mengenal Mas Ardi. Dia orang yang baik dan sabar. Saat itu juga aku merasa bahwa pilihan orang tuaku sudah tepat.

Setelah menikah, aku dan Mas Ardi tinggal di rumah mertuaku. Kedua mertuaku orang yang sangat baik. Mereka memperlakukanku seperti anak kandung sendiri. Aku merasa beruntung karena mendapat suami sekaligus mertua yang menyayangiku dengan tulus. Aku rasa masa depanku dengan Mas Ardi akan cerah karena pikiran kami yang selalu sejalan.

"Ardi belum pulang, Li?" 

"Belum, Ma. Tadi Mas Ardi sudah mengabari Lily kalau lembur."

"Oh, begitu? Mama temenin, ya?"

"Mama tidur saja nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa mama temenin. Mama belum ngantuk."

Aku dan mama duduk di sofa. Kami bercerita banyak hal layaknya seorang anak dengan ibu kandung. Hidupku sangat beruntung mendapat mama mertua yang baik hati. 

"Li, Ardi, kok lama, ya?" Sepertinya mama sudah mulai mengantuk.

"Mama tidur saja nggak apa-apa."

"Ini hampir jam sebelas, loh, tapi dia belum pulang juga."

"Mungkin saking banyaknya pekerjaan, Ma."

"Coba kamu telepon!"

"Nggak aktif, Ma. Tadi Lily sudah ngirim pesan berkali-kali juga belum dibaca. Kayaknya baterai ponselnya habis, deh, Ma."

"Mama ngantuk, Li."

"Mama tidur saja!" Aku mendengar suara deru mobil suamiku. "Tuh, Mas Ardi sudah pulang, Ma."

"Ya sudah, mama ke kamar dulu, ya?"

"Iya, Ma."

Aku menyambut suamiku dengan penuh bahagia. Dia begitu lelah karena pekerjaan di kantor. Suamiku bekerja sebagai manajer keuangan. Aku meraih tasnya dan membawanya ke kamar.

Setelah kusiapkan air hangat untuknya, aku segera menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Pakaian yang telah ia kenakan tadi, aku bawa ke belakang. Namun, aku merasa seperti ada yang aneh. 

Aku mengendus-endus kemeja biru suamiku itu. Seminggu menikah dengan Mas Ardi, aroma parfumnya tidak seperti ini. "Parfum baru mungkin, ya?" gumamku. Aku letakkan pakaian itu ke keranjang kotor dan mengabaikan aroma parfum itu.

Ketika masuk ke kamar, aku melihat suamiku sudah selesai mandi. "Mas, aku sudah bersih," bisikku. Aku merasa kasihan kalau suamiku belum sempat menikmati malam pertama.

"Dek, aku capek. Kapan-kapan saja, ya!" katanya sambil mengusap lembut kepalaku.

"Oh, iya, nggak masalah, Mas."

***

Hari ini suamiku kembali memberitahuku kalau dia sedang lembur. Seperti biasa, aku menunggunya di ruang tamu. Kali ini tanpa mama karena mama mengeluh sakit kepala tadi. Pukul sebelas, Mas Ardi tiba. Wajahnya lesu sekali. Aku tidak tega melihat suamiku yang selalu kelelahan seperti ini.

Aku melakukan kegiatan seperti biasa. Menyiapkan apa yang diperlukan oleh suamiku. Namun, kali ini aku tidak memberikan kode kepadanya. Melihat wajahnya yang lelah, pasti dia tidak akan meminta. Jadi, aku tawarkan untuk memijit tubuhnya saja hingga suamiku itu tertidur pulas. 

Ketika aku menyelimuti suamiku, aku melihat sebuah tanda merah di dadanya. "Apa ini?" tanyaku dalam hati. 

Pikirku itu adalah sebuah luka atau goresan. Jadi, aku mengabaikannya dan memilih tidur saja. 

***

"Mas?"

"Iya, Dek?"

"Itu dadanya kenapa? Kok, merah?" tanyaku kepada Mas Ardi yang sedang mengenakan kemeja dan akan bersiap ke kantor.

"Mana?"

"Itu. Coba bercermin!"

Mas Ardi memperhatikan dirinya di cermin dengan saksama. Raut wajah suamiku berubah menjadi panik seketika. "Oh, i–ini digigit serangga, Dek. Habisnya gatal, sih. Jadi, aku garuk. Eh, malah melebar gini merahnya."

"Oh. Sudah dikasih salep?"

"Belum, Dek. Habis ini aku kasih salep."

Setelah suamiku sarapan dan berangkat kerja, hanya ada aku dan mama di rumah. Papa mertuaku juga bekerja, tetapi di tempat yang berbeda. Mama sedang membawa pakaian kotornya ke belakang. Seperti biasa, aku meminta mama agar meletakkannya saja. Urusan cuci mencuci, biar aku yang mengerjakan.

Kami tidak memakai jasa asisten rumah tangga di sini karena menurut mama itu tidak terlalu perlu. Sebelum ada aku, mama lebih suka mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Rumah ini juga tidak begitu luas. Jadi, tidak akan begitu melelahkan. 

"Li?"

"Iya, Ma?"

"Kamu pakai lipstik apa?"

"Kenapa memangnya, Ma?"

"Kok, sampai membekas begitu di kemejanya Ardi?" tanya mama dengan wajah yang menggoda. "Dua lagi," lanjutnya sambil tertawa kecil.

Aku sedikit terperangah karena aku sama sekali tidak mengecup suamiku, lalu bagaimana bisa ada bekas lipstik di kemeja suamiku? Apalagi ada dua bekas kecupan di sana.

"Li?"

"I–iya, Ma?"

"Maaf, ya, kalau pertanyaan mama bikin kamu malu!" 

"Nggak, kok, Ma." Aku tersenyum menutupi kebingunganku.

"Mama pengin cepat punya cucu biar suasana di rumah ini rame. Rasanya kayak sepi banget apalagi Ardi itu anak tunggal. Sudah lama mama nggak nimang bayi," kata mama.

"Doakan, ya, Ma, supaya Lily dan Mas Ardi bisa segera memberi mama dan papa cucu."

"Tentu saja. Doa terbaik untuk kalian," ucap mama sambil tersenyum.

Mama pergi meninggalkan aku di tempat cucian. Aku segera melihat kemeja Mas Ardi yang dihiasi dua tanda kecupan. Sangat jelas terlihat. Dadaku merasa sesak. Kami adalah sepasang pengantin baru. Tidak mungkin jika ada orang lain dalam rumah tangga kami. Rasanya ini seperti mimpi. Aku menghirup aroma kemeja suamiku. Aromanya parfumnya sama seperti aroma parfum kemarin. 

Aku bergegas ke kamar dan memeriksa dua parfum Mas Ardi. Aromanya tidaklah sama dengan aroma yang menempel di kemeja itu. Setahuku, Mas Ardi hanya memiliki dua parfum saja. Dulu Mas Ardi penah bilang kalau dua parfum ini adalah aroma kesukaannya dan tidak akan pernah diganti.

Ponsel yang tergeletak di meja segera kuraih. Aku ingin menelepon Mas Ardi. Kutekan foto profil Mas Ardi dengan gambar yang bertuliskan inisial 'A&L'. Namun, aku mengurungkan niat untuk melakukannya. 

Hatiku diselimuti rasa gelisah menunggu kepulangan Mas Ardi. Waktu terasa berputar sangat lama. Pikiranku sudah kacau, tapi aku berusaha menutupinya dari mertuaku. Jangan sampai mereka tahu sebelum aku tahu kejelasannya langsung dari Mas Ardi. 

Sambil menunggu Mas Ardi pulang, aku membuka beberapa media sosial milikku. Sudah lama juga aku tidak mengintip profil media sosial milik Mas Ardi. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada foto-fotonya saja dan beberapa foto yang bertuliskan inisial 'A&L'. Namun, aku tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Bukankah waktu itu aku menandainya di foto pernikahan kami? Kenapa fotonya nggak ada di profil Mas Ardi?" tanyaku kepada diri sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status