"Duduk!" pinta mama sambil melotot menatapku.Jujur saja, aku sangat takut dengan sikap mama yang seperti ini. Sangat berbeda dengan sikap mama yang sebelumnya. Baru kali ini aku melihat mama dengan tatapan tajamnya."Selama ini mama selalu menganggap kamu yang terbaik untuk Ardi. Mama percaya bahwa kamu adalah perempuan baik-baik. Ternyata, mama telah salah menilai," ucap mama yang membuatku tak mengerti."Apa maksud Mama?""Jangan pura-pura tidak tahu! Selama ini mama telah tertipu dengan wajah polos kamu, Lily.""Lily nggak ngerti kenapa Mama begini? Ada apa sebenarnya, Ma? Apa Lily membuat kesalahan?""Ya," jawab mama dengan suara yang lantang."Apa, Ma? Kesalahan apa yang telah Lily perbuat?""Kamu yang berbuat salah, masih saja kamu tanya mama.""Lily benar-benar nggak tahu, Ma." Aku mulai berkaca-kaca karena sangat takut melihat amarah mama."Kamu dan Leni sama saja. Tidak ada bedanya. Memang susah, ya, mencari perempuan yang benar-benar baik hatinya.""Apa maksud Mama? Kenapa m
"Jawab, Lily!" bentak mama yang membuatku terkejut. Tangisku semakin deras."I–iya, Ma." Aku masih berusaha untuk menutupi pertemuanku dengan Alan. "Mama mau ngucapin terima kasih karena kamu telah berusaha mencarikan kado untuk mama, tapi mama kali ini kecewa sama kamu."Aku masih tersedu-sedu. Tak mampu lagi mengatakan apapun. Aku melihat Mas Ardi yang hanya terdiam menatapku. Ingin rasanya aku membongkar kelakuannya, tetapi aku tak memiliki bukti. Jika aku meminta ponselnya, pasti dia akan menolak dengan berbagai alasan. "Ma–maafin, Lily, Ma. Lily ...." Aku tak sanggup lagi berbicara. Jika sudah menangis begini, aku tak mampu mengatakan apapun lagi. "Mama kecewa dan sedih, tetapi mama juga senang," ucap mama yang membuatku bingung. Aku menatap mama sambil mengusap air mata."Sudah, Ma! Kasihan Lily!" kata papa sambil tersenyum."Kejutan!" seru Mas Ardi sambil mengambil sesuatu dari belakang sofa. Beberapa bungkusan yang aku tak mengerti apa isinya. Aku masih menatap mama dan pa
Hari demi hari aku lalui seperti biasa. Beban pikiran tentang Mas Ardi tak begitu mempengaruhi pikiranku. Aku sudah memiliki kesibukan sendiri sekarang. Sikapnya masih sama seperti sebelumnya. Hangat dan manis seperti suami setia pada umumnya. Sayangnya hingga hari ini aku tak kunjung mendapatkan bukti tentang perselingkuhannya. Aku belum mengetahui kata sandi untuk membuka layar ponselnya. Sebuah pesan masuk mengejutkanku yang sedang melamun.[Tolong besok ke sini, ya, Li!] [Siapa ini?][Vina.][Nomor kamu baru?][Iya. Ponselku diambil sama Alan.][Kamu dapat nomorku dari siapa?][Aku sempat menyalin nomormu di buku catatan kecilku. Besok tolong ke sini, ya, Li! Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Alan benar-benar membuatku terpuruk.][Iya, Vin. Tunggu aku pulang kerja, ya!][Iya, Lily.]Ada apa dengan Vina? Penasaran, aku menekan tombol telepon ke nomor Vina yang baru. Namun, Vina ta
"Vina?" Aku melihat Alan yang tersenyum sinis dan melepaskan pelukannya.Ketika aku ingin lari menghampiri Vina, Alan menahan tanganku. "Alan, ada Vina. Jangan seperti ini!" Vina berlari menghampiriku dan menangis di hadapanku. Dia menutup mulutnya seakan tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya."Lily, kamu ...," ucap Vina seraya menggelengkan kepala."Tidak, Vina. Kamu salah paham. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku dijebak, Vina. Aku dijebak sama Alan," terangku."Alan, tolong lepas tanganku!" Aku merasa tak enak hati karena ada Vina di sini, tetapi Alan tak kunjung melepaskan tanganku."Vina, biar aku jelaskan sesuatu kepadamu," kata Alan sambil menggenggam erat tanganku. Aku tak sanggup melihat air mata Vina yang terus menetes."Tidak, tidak. Kamu mau menjelaskan apa, Alan?" tanyaku. Jangan sampai Vina tahu kalau Alan mencintaiku. "Perempuan yang aku cintai selama bertahun-tahun adalah Lily. Dia adalah perempuan yang menarik perhatianku. Dialah yang mampu merebut hat
"Kamu marah sama aku karena aku ketemu sama Alan, begitu?""Iyalah.""Itu pun aku nggak tahu kalau Alan yang mengirim pesan. Andai saja aku tahu itu Alan, pasti aku tidak akan menemuinya, Mas.""Halah, bohong.""Lebih parah mana ketimbang selingkuh?" tanyaku yang mulai tersulut emosi."Dek, aku sudah tidak selingkuh lagi. Kamu jangan pernah mengungkit tentang itu!" ucap Mas Ardi geram."Oh, sudah tidak selingkuh lagi?""Ya. Kenapa? Aku sudah berusaha buat berubah, tetapi kamu malah berusaha untuk dekat lagi sama Alan," ucapnya yang membuatku begitu muak.Kali ini Mas Ardi memarahiku panjang lebar. Aku mendengarkannya sampai berhenti berbicara. Mas Ardi memang pandai sekali menutupi kelakuannya. "Sudah bicaranya?" tanyaku ketika Mas Ardi berhenti berbicara. Dia menyalahkan aku. Mas Ardi tidak bercermin bagaimana dirinya. "Mas, kamu memarahi aku seperti itu apa tidak berkaca kamu seperti apa?" tanyaku lagi."Apa maksudmu, ha?""Leo itu siapa?""Kenapa kamu tanya tentang dia? Leo itu t
"Tolong tetaplah bersamaku apapun yang terjadi!""Ha?" Aku terkejut. Padahal, aku akan merencanakan sebuah perpisahan dengannya karena sudah mengumpulkan bukti. "Kenapa kamu bilang gitu, Mas?""Ya ... aku cuma ingin ditemani sama kamu, Dek.""Kamu ada masalah apa? Jawab jujur!""Kamu sudah tahu kebenaran soal Leo?" tanya Mas Ardi menatapku sendu."Aku tahu, Mas.""Kamu tahu siapa Leo sebenarnya?""Aku tahu.""Itu—""Nggak perlu sebut namanya, aku sudah tahu, Mas.""Kamu nggak marah?" tanyanya. Kali ini Mas Ardi yang menggenggam erat tanganku."Ya, marah, Mas.""Terus kalau marah, kenapa kamu bersikap seolah-olah nggak tahu apa-apa?""Gini, loh, Mas. Aku sudah pernah kecewa dan sakit hati sama kamu sebelumnya. Kamu berjanji akan mencintai aku, 'kan? Kamu berjanji nggak akan selingkuh lagi, 'kan? Tapi kamu mengulangi hal itu lagi. Kamu buat aku kecewa lagi. Ha
"Lily? Kamu ... kamu ...." Mas Ardi tampak begitu takut."Kebenaran tentang apa yang dikatakan Alan?""Itu hanya—""Kebenaran tentang perselingkuhannya dengan Leni. Apa kamu sudah tahu?" sahut Alan menyela ucapan Mas Ardi.Aku menatapnya datar. "Ya. Aku sudah tahu," kataku spontan. "Lalu?"Alan tampak kikuk. Mungkin ia bingung melihat ekspresiku yang biasa saja. "Ya sudah. Itulah kebenarannya. Aku pergi dulu."Alan pergi begitu saja. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tak mungkin jika kebenarannya hanya itu saja. Pasti ada hal lain."Mas, kebenaran apa, sih?" "Ya itu tadi, Dek. Alan pikir kalau aku tidak memberitahumu tentang ini.""Oh." Dua orang ini sama saja. Aku pura-pura percaya daripada harus berdebat. Suatu saat, aku akan mencari tahu kebenaran itu sendiri.Ah, aku lupa tidak menanyakan kabar Vina. Semoga saja dia baik-baik saja. Aku sangat ingin bertemu dengannya untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkin untuk saat ini dia masih marah kepadaku. ***Tak terasa suda
Aku menunjuk sebuah kotak berwarna coklat yang terletak di samping pot bunga. Ketika papa akan memeriksa, mama mencegahnya. Mama takut kalau itu hanya sebuah jebakan."Ini sudah malam, Pa. Lebih baik nggak usah keluar, deh. Terlalu bahaya apalagi ada kotak nggak jelas begitu.""Seperti sebuah paket, ya, Ma?" Aku masih mengamati kotak itu lekat-lekat."Mana ada seorang kurir mengantar paket malam-malam? Mana pakai ketuk-ketuk pintu lagi. Itu sudah pasti orangnya melompati pagar dan sudah pasti orang nggak bener," kata mama."Ini pasti ada orang iseng," sambung papa. Benar juga. Tidak mungkin jika ada yang mengantar paket malam-malam begini. Ini sudah lewat dari jam sepuluh. "Kita kembali ke kamar saja. Besok pagi saja kita periksa!" pinta mama. "Sebentar, papa telepon petugas keamanan dulu. Biar mereka bantu memeriksa kotak itu," ujar papa."Oh, iya, ide bagus, Pa."Selang beberapa menit kemudian, du