Share

02. Awal kisah

Maura yang dipojokan seperti itu tak bisa berbuat apapun. Bahkan untuk mengangkat wajahnya ia tak sanggup. Ia hanya bisa menerima hinaan mereka dengan sabar. Karena pada kenyataanya memang seperti itu.

"Nggak bisa jawab 'kan? Sekarang jangan salahkan kami kalau kami tidak menghormati Nona Maura. Karena dia tidak pantas dihormati. Tidak ada wanita baik yang merebut calon suami saudaranya sendiri." Setelah mengatakan itu, Dini pergi diringi pelayan yang lain.

Hanya Bi Murni saja yang masih setia bersama Maura. "Nya--"

"Aku tahu aku salah Bi. Bibi jangan membela aku. Aku salah Bi, nyatanya aku memang merebut Mahen dari Mauren." Maura kembali menangis. Rasa bersalah dan sesal menyelinap di hatinya. "Sekarang, tolong beresin semua ya Bi," pintanya pelan.

Tanpa menunggu jawaban Bi Murni, Maura pergi ke kamarnya yang berada di belakang rumah besar Mahen. Wanita hamil itu tinggal di paviliun para pembantu.

Jika kalian bertanya mengapa Maura tinggal di paviliun pembantu. Maka jawabannya adalah, karena Mahen sangat membenci Maura. Ia tak ingin kehadiran Maura merusak moodnya.

Namun dasar Maura bebal. Ia pikir kehamilannya bisa membuat Mahen jatuh cinta padanya. Karena kalau Mahen jatuh cinta padanya, maka Mauren akan menderita.

Ia berusaha sekuat mungkin membuat Mahen jatuh cinta padanya, walau ia tak mencintai Mahen. Tetapi Mahen malah makin benci kepadanya dan membuat hidupnya bak di neraka.

Bi Murni sendiri hanya bisa menghela napasnya pelan. Wanita paruh baya itu hanya bisa mendoakan kebaikan untuk majikannya itu.

Meskipun ia tahu yang dilakukan Maura itu salah, tetap saja menurutnya perlakuan Mahen itu juga salah. Tak sepantasnya Mahen memperlakukan istrinya dengan buruk.

Mereka hanya menyukai Mauren, yang sejatinya kekasih dari Mahen. Harusnya hari itu Mauren yang menikah dengan Mahen. Tetapi Maura menjebak Mahen hingga akhirnya Maura lah yang menjadi pengantin hari itu.

Di sisi lain, Maura menangis sambil meringkuk di sofa single di kamarnya. Sudah tujuh bulan ia menyandang status menantu dari keluarga Sudjono. Tetapi ia tetap tak diperlakukan dengan baik. Niatnya ingin melukai Mauren, tetapi nasib tetap tak berpihak padanya.

Dari kecil, ia tak dianggap oleh orang tuanya dan kakaknya. Adiknya juga ikut membencinya tanpa sebab. Sungguh, ia merasa dianak tirikan oleh orang tuanya.

Ia bahkan sudah mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian mereka tetapi semua percuma. Saat ia meraih berbagai penghargaan atau memenangkan sesuatu. Bukan pujian yang ia dapatkan. Melainkan sebuah makian karena membuat Mauren iri.

Kehabisan ide, pada saat malam pengantin. Ia menjebak Mahen yang notabenenya adalah calon adik iparnya dengan memberinya obat perangsang.

Mauren sendiri sempat histeris melihat ia dan Mahen sedang tidur di kamar pengantin yang harusnya jadi kamar pengantin miliknya. Malam itu terjadi kegaduhan di kediaman Sagara.

Keesokan harinya ia yang menikah dengan Mahen, bukan Mauren. Itu semua terjadi krena tuntutan keluarga besar Sagara dalam garis besar bukan orang tuanya. Orang tuanya sendiri sebenarnya tak setuju dengan ide itu. Namun 'mereka' memaksa Mahen agar bertanggung jawab.

Saat acara akad dilangsungkan, hanya segelintir orang yang hadir karena memang Mahen dan Mauren ingin acara yang sakral dan penuh khidmat. Mereka yang hadir hanya keluarga besar dan para sahabat dekat saja.

Keluarga Sudjono yang dari awal tidak menyukai Maura hanya bisa pasrah. Bahkan pesta resepsi yang akan dihelat di sebuah hotel, langsung dibatalkan oleh Tuan dan Nyonya Sudjono.

Saat itu ia pikir ia sudah berhasil merobohkan salah satu kebahagiaan Mauren, tetapi ternyata salah. Justru ia yang menderita, Mahen membuatnya merasakan neraka dunia.

Atas kekuasaannya, keluarga Sudjono mengumumkan bahwa pernikahan Mahen diundur karena ada halangan. Mereka menyembunyikan dirinya yang berstatus istri sah Mahen. Jadi sampai sekarang tidak ada yang tahu kalau Mahen sudah menikah. Kecuali keluarga besar mereka saja.

Sejak kejadian itu juga kedua orang tuanya semakin membencinya. Mereka bahkan mengeluarkan namanya dari kartu keluarga.

Padahal menurutnya, ia hanya berjuang untuk disayangi. Itu saja, tetapi mengapa sulit? Mengapa tak ada yang mengerti dirinya? Mengapa mereka hanya peduli pada Mauren saja?

Lelah menangis, Maura mengambil beberapa berkas pernikahannya dengan Mahen. Mungkin ini jalan untuk melepaskan Mahen. Mungkin ini saatnya ia menyerah.

Wanita hamil itu lekas mengecek isi rekeningnya untuk jaga-jaga. Ternyata masih ada sedikit. Bisa untuk membeli rumah subsidi di pinggir kota. Sisanya bisa ia gunakan untuk biaya persalinan dan membuka usaha kecil.

Mungkinkah ini saatnya menyerah?

Benar, sudah saatnya ia berhenti mengejar cinta dari orang yang selalu menyia-nyiakan kehadirannya. Ia mengutak-atik ponselnya untuk  menghubungi seseorang.

[Hallo, Ra. Kenapa?] tanya seseorang dari seberang sana.

[Gue butuh bantuan Lo. Kita ketemu siang ini bisa?]

[Bisa, siang ini ketemu di Citos Kafe mau? Gue ada makan siang di sana.]

[Oke, kita ketemu di sana ya. Bye.]

[Oke.]

Tut Tut

Telepon terputus setelah mereka sepakat. Maura menghela napas lega. Saat tendangan kecil terasa di perutnya, ia mengelus perut buncitnya itu pelan.

"Kalian baik-baik ya di dalam. Mama akan berusaha jadi yang terbaik buat kalian walaupun tanpa Papa. Maafin Mama ya kalau kalian terpisah dari Papa. Ini salah satu jalan agar Papa kalian bahagia."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status