Maura sedang asik memakan nasi gorengnya ketika Dara masuk ke paviliun dan mengamati menantunya dari balik tembok di dekat dapur, karena ia masuk lewat pintu belakang. Sebenarnya Dara sendiri penasaran mengapa Maura tidak kelihatan di rumah bagian depan. Lalu ia masuk ke paviliun sambil mengecek apa saja yang ada di paviliun. Tetapi ia malah melihat menantunya-Maura sedang asik makan. Ada rasa benci melihat menantunya itu. Sungguh, ia begitu membenci cara murahan Maura mendapatkan Mahen. Apalagi, Maura merebut Mahen dari adik kembarnya sendiri.Maura terkesan murahan dan licik secara bersamaan. Namun melihat Maura sekarang, sebagai wanita ia sedikit iba. Bagaimana wanita hamil itu masih bisa tersenyum disaat diperlakukan begitu buruk oleh semua orang bahkan keluarganya sendiri. Dara menyembunyikan wajahnya ketika salah satu pelayan bernama Rani datang dengan wajah tak bersahabat. Yang membuatnya terkejut, pelayan itu melemparkan sebua
Tubuh Maura langsung luruh setelah Rani pergi. Wanita dengan rambut sebahu itu menangis tergugu sambil memukul dadanya keras agar tak terlalu sesak. Tetapi percuma. Perkataan Rani begitu menamparnya.Ia memang salah, menikah dengan Mahen adalah salahnya. Itu semua ia lakukan agar Mauren terluka, agar Mauren tak bahagia seperti dirinya. Karena kehidupan Mauren begitu sempurna. Dilimpahi kasih sayang dari orang tuanya.Berbeda dengannya yang sudah seperti anak tiri. Kadang, ia sendiri berpikir kalau dirinya hanyalah anak angkat keluarga Sagara. Mungkin, ia bukan kembaran Mauren karena mereka sangat berbeda. Maura iri pada Mauren. Mauren selalu dilimpahi kasih sayang mereka. Semua keluarga Sagara menyanjung Mauren dan mengabaikannya. Itu sangat menyakitkan. Dara yang melihat Maura menangis, ikut menangis dari balik tembok. Sementara itu Maura masih menangis sambil membekap mulutnya sendiri. Berharap isakannya tidak terdengar pelayan lain.
Maura berjalan pelan menuju ruangan Mahen. Ia tidak mempedulikan tatapan penuh pertanyaan dari para pegawai yang menatapnya penasaran. Mungkin saja mereka heran, ada wanita hamil yang ingin menemui pimpinan mereka. Satu hal yang pasti, ia ingin meminta tanda tangan Mahen untuk bercerai lalu memulai kehidupan baru di tempat yang baru. Rasanya ia sudah tak sanggup untuk menghadapi dunia yang kejam ini. Saat memasuki lift, seorang lelaki bertubuh tegap ikut masuk lelaki lain juga ikut masuk. Aroma parfum milik lelaki itu menggelitik hidung sensitif Maura. Aromanya begitu maskulin dan menenangkan. Tidak mencolok tetapi tidak terlalu kalem juga. Seketika ia merasakan tendangan bayi di perutnya. Sepertinya si kembar menyukai aroma lelaki ini, batinnya pelan.Pada saat lift terbuka di lantai lima belas, semua keluar dan secara tidak sengaja mereka menuju ruang yang sama. Yaitu ruangan Mahen. "Selamat pagi Pak Liam dan Pak Yudha juga dan..."
"Ini untuk ongkos pulang. Perusahaan akan mentransfer uangnya setelah ini," katanya datar. Bukannya menerima, Maura membuang uang itu hingga berserakan di lantai. Ia menatap Mahen penuh amarah. Namun ia tidak dapat berbuat apapun. "Saya bukan pengemis Tuan." Setelah mengatakan itu ia pergi begitu saja. Semua yang ada di situ hanya menatap punggung Maura dengan tatapan berbeda. Mahen sendiri tampak begitu acuh meski melihat Maura yang berjalan kesusahan. Maura menangis sepanjang jalan. Ia berhenti di sebuah kursi kecil di sebuah taman. Di situ ia menumpahkan tangisannya. Lagi-lagi dadanya sesak karena begitu perih luka yang Mahen torehkan. Jika bertemu dengannya saja Mahen tidak mau, maka bagaimana ia bisa meminta tanda tangannya? Selesai menumpahkan emosinya, Maura segera pulang. Saat ia menunggu taksi, sebuah mobil hitam merk Alphard berhenti di depannya. Ternyata itu adalah ibu mertuanya. "Masuk," titah Dara tegas. Maura
"Sudah saya bilang kamu tidak usah membuatkan saya makanan. Saya biasa sarapan sama Mauren. Apa kamu tuli?" Suara bariton itu menggema ke seluruh ruangan. Para pelayan menunduk takut, beberapa yang lain berpura-pura tidak mendengar bos mereka yang sedang marah. Sementara itu, seorang wanita dengan perut buncitnya hanya menghela napas pelan. Ini sudah ke seribu kalinya suaminya menolak 'makanan' yang sudah susah payah ia buat. "Oke--" "Jalang. Berkali-kali saya bilang. Kalau saya tidak mau melihat kamu di pagi hari! Saya muak melihat wajah kamu! Kamu itu pembawa sial!" maki Mahen cepat. "Mas, tap--" "Diam kamu! Diam! Saya sudah pernah bilang bukan, kalau setiap pagi saya tidak ingin melihat wajah kamu." "Maaf." "Mulai besok, jangan muncul di hadapan saya lagi. Entah itu pagi, siang atau sore!" titah Mahen tak bisa dibantah. Wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca. Dadanya sesak menahan luka yang terus tergores, bak tergores sembilu. "Dengar pelay
Maura yang dipojokan seperti itu tak bisa berbuat apapun. Bahkan untuk mengangkat wajahnya ia tak sanggup. Ia hanya bisa menerima hinaan mereka dengan sabar. Karena pada kenyataanya memang seperti itu. "Nggak bisa jawab 'kan? Sekarang jangan salahkan kami kalau kami tidak menghormati Nona Maura. Karena dia tidak pantas dihormati. Tidak ada wanita baik yang merebut calon suami saudaranya sendiri." Setelah mengatakan itu, Dini pergi diringi pelayan yang lain. Hanya Bi Murni saja yang masih setia bersama Maura. "Nya--" "Aku tahu aku salah Bi. Bibi jangan membela aku. Aku salah Bi, nyatanya aku memang merebut Mahen dari Mauren." Maura kembali menangis. Rasa bersalah dan sesal menyelinap di hatinya. "Sekarang, tolong beresin semua ya Bi," pintanya pelan. Tanpa menunggu jawaban Bi Murni, Maura pergi ke kamarnya yang berada di belakang rumah besar Mahen. Wanita hamil itu tinggal di paviliun para pembantu. Jika kalian bertanya mengapa Maura
Siang ini Mauren tengah menyuapi kekasihnya dengan telaten. Sementara kekasihnya tersenyum nakal padanya. Hal itu membuat pipinya merona. "Kamu lucu!" puji Mahen sambil mengusap pucuk rambut kekasihnya. Kehadiran Mauren membuatnya melupakan kemarahannya pada Maura tadi pagi. "Ish, apaan sih Yang. Jadi berantakan ini," keluh Mauren kesal. Mahen malah tertawa kecil. "Abis kamu ngegemesin," godanya disertai senyuman nakal. Blush Pipi Mauren merona lagi. Memang hanya Mahen yang bisa membuatnya terbang melayang. Ia terkejut ketika tubuhnya melayang dan berpindah tempat berada di pangkuan Mahen. Sekarang ia berada di hadapan Mahen. Mauren sedikit memberontak karena takut kalau ada orang yang tiba-tiba masuk. "Ish Yang, ini kantor. Jangan macam-macam deh," katanya sambil memberontak minta turun. "Jadi kalau bukan di kantor boleh begitu?" goda Mahen. "Y-ya nggak gitu juga Yang," elak Mauren."Jadi mau n
Maura tak tahu harus bagaimana untuk mendapatkan tanda tangan Mahen. "Biar aku yang urus ya Vi. Semoga aja Mahen mau langsung tanda tangan." "Oke, besok aku kirim dokumennya ke kamu." Vian menghela napasnya. "Terus rencana kamu gimana?" "Mau cari rumah sama bikin usaha gitu," jawab Maura tak yakin. Alis Vian mengernyit melihat ekspresi Maura yang tak yakin. "Aku punya saudara yang jual rumahnya di Jogja. Kira-kira kamu mau nggak?" Maura langsung mendongak antusias mendengarnya. Matanya sedikit berbinar karena merasa mendapat angin segar. "Apa kamu bisa bantu aku buat beli?" "Bisa banget. Nanti sekalian aku urusin balik namanya. Rumahnya lumayan gede, dua lantai. Di perumahan lagi. Jadi tetangga nggak ada yang usil, atau julid. 'Kan mereka sibuk kerja. Menurutku harganya nggak terlalu mahal buat holkay kaya kamu," ujar Vian menambahkan. "Tapi, kandunganku udah gede. Kalau rumah di pinggiran Jakarta ada Vi?" Vian