"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem
Arsyil masih betah di dalam mobilnya yang terparkir rapi di parkiran gedung. Dia memainkan ponselnya, melihat foto-fotonya bersama Syifa ketika mereka masih bernaung di organisasi yang sama. Senyum mengembang di wajah tampan itu. "Aku bodoh ya, Syif. Kenapa bukan aku yang nikahi kamu? Kenapa harus aku serahkan kamu pada Furqon," ucapnya pada layar ponsel yang menampakkan foto Syifa yang tersenyum lebar."Arggh, lama-lama bisa gila aku." Arsyil mengacak kepalanya. "Hah, sebaiknya ngopi dulu deh." Arsyil pun hendak mengendarai mobilnya ke tempat tongkrongannya. Namun, sorot matanya mendapati dua pemuda yang berada dalam satu motor dan berboncengan mesra. "Furqon, Nada. Ngapain mereka?" Kening Arsyil berkerut, mengamati keduanya yang semakin tidak terlihat.Arsyil yang tahu mereka memang dekat semenjak di perkuliahan, pun hanya mendiamkan saja. Dia pun mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan.***Sesampainya di perpustakaan, Nada sengaja memperlambat Furqon dengan mengajaknya me
Syifa mengetuk pintu rumahnya, tidak lama, seorang ART membukakannya pintu. Dia tercengang mendapati Gusnita dan Arman tengah duduk di ruang tamu, beserta suaminya. "Baru pulang sayang?" ucap Gusnita yang langsung memeluk Syifa. "Iya, Bun. Loh, bunda sama ayah kapan datangnya? Kok Syifa tidak diberitahu sih!" tanyanya lalu duduk di samping sang suami.Furqon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia pun hanya tersenyum singkat pada sang istri yang berwajah masam padanya. "Bunda sama ayah kalian tipu yah. Katanya mau tinggal di rumah kontrakan dengan 2 kamar. Tapi, ini lihat," omel Gusnita lalu membawa menantu cantiknya duduk di sofa sebelahnya. Furqon kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu adalah sindiran untuknya, karena Syifa sendiri tidak tahu mereka akan tinggal di rumah luas dan megah seperti ini. "Furqon, jadi setelah 3 bulan, kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan studi kamu? Terus balik lagi kan ke Padang?""Enggak, Bun. Furqon dan Syifa sudah memutuskan kalau Fu
Syifa menarik nafas panjang, lalu berbalik arah mengejar Nada. Dia pun berdiri tepat di depan seniornya itu. "Asal kakak tahu yah. Alasan apapun pernikahan aku dengan bang Furqon, itu bukan urusan kak Nada. Dan, satu hal lagi. Lebih beruntung aku dibanding kakak, kenapa? Karena walaupun hanya sebatas pelarian saja, tetapi bang Furqon tetap menikahi aku. Bukan seperti kak Nada, iya kan."Syifa mengeluarkan unek-unek di dalam dadanya. Tidak sanggup lagi menahan amarah yang tertahan. Apalagi mendengar kata istri pelarian, membuat pikirannya kembali ke masa di mana dia hancur dan terpuruk, menyesali keinginannya untuk menikah dengan lelaki yang dia cinta.Nada pun tidak kalah naik pitam, dia ingin membalas ucapan Syifa. Tetapi, keduanya segera di lerai oleh penjaga Pustaka. Hingga mereka pun harus mengakhiri sesi sindir menyindirnya.Nada berbelok menuruni tangga, dan memilih keluar dari gedung. Sementara Syifa tetap melanjutkan mencari buku referensinya. "Sial!! Kenapa juga aku harus k
"Abah, cegah Viana, Bah," pinta Sarah, tidak ingin melihat putri semata wayangnya menjadi perusak rumah tangga orang lain. Handoko hanya diam saja. Dia mendukung apapun keputusan yang diambil Viana. Toh, putrinya sudah dewasa, dia pasti mengetahui mana yang baik dan buruk untuknya."Abah," teriak Sarah kesal. "Biarkan saja dia begitu, sayang. Dia sudah dewasa. Dan lelaki yang dia pertahankan juga lelaki hebat, apa salahnya dia berjuang." Sarah hanya bisa menghempas nafas kasar mendengar jawaban sang suami. Dia pun memijit pelipisnya, mendadak kepalanya pusing. "Ya Tuhan, semoga putriku segera sadar bahwa tindakannya itu salah," harapnya dalam hati. Viana telah sampai di kampus. Dia tanpa sengaja bertemu dengan Fahri, meminta di mana alamat rumah Furqon. "Aku nggak tahu di mana, Vi. Kamu tanyakan sendiri saja pada orangnya langsung," jawab Fahri. "Ri, kalau nomor aku tidak di blokir sama Furqon, sudah dari kemarin aku bisa bicara dengannya. Cepat lah, Ri. Aku mau tahu dia ada di
Syifa menghubungi suaminya untuk segera di jemput di taman gedung A. Tubuhnya yang lelah, hanya bisa tertunduk lesu, sembari bersender di bangku taman sembari sesekali melirik area parkir berharap sang suami segera datang. "Hah." Menghela nafas berat, Syifa masih terngiang-ngiang ucapan Nada yang mengatakan dirinya hanya seorang istri pelarian. Syifa yakin, sang suami lah yang memberitahu tentang hal itu. Karena, siapa lagi yang akan mengetahuinya jika bukan Furqon sendiri. "Sedekat itu kah bang Furqon sama kak Nada, sampai menceritakan alasannya menikahi aku," lirih Syifa lemah. Tidak berapa lama, sepasang tangan menutupi kedua matanya. Tangan kekar namun lembut itu sudah bisa ditebak oleh siapa orangnya. "Bang Furqon," ucap Syifa dan sang pemilik tangan pun tertawa karenanya. "Sayang," sapa Furqon kemudian dan duduk di samping Syifa, lalu mengecup kening istrinya lama. Syifa yang hatinya semula galau, lantas luluh mendapat perlakuan romantis suaminya itu. Sekejap, masalah yan
Furqon kembali ke dalam kamarnya. Dia masih mendapati Syifa yang masih fokus dengan skripsinya. Dia pun memperhatikan bagaimana Syifa yang terlihat begitu cantik malam itu. Dengan memakai pakaian tidur dress tanpa lengan, membuatnya sangat cantik. Furqon pun terkekeh sendiri karenanya. "Walaupun aku nggak mendapatkan Viana yang cantik, berpendidikan, banyak incaran para lelaki dan pastinya sekufu dengan keluargaku. Setidaknya, Allah pun telah menghadiahkan aku, memberikan bidadari seperti Syifa," ucapnya dalam hati. Furqon pun kembali bersender di tempat tidur, setelah membereskan berkas-berkasnya ke dalam map kecil. Sembari memainkan gawainya, Furqon dengan setia menunggu istrinya itu selesai."Hoamm." 2 jam berlalu, Syifa menguap, merasakan kantuk yang sudah menjalar di kedua matanya. Dia pun melirik ke arah tempat tidur, di mana Furqon masih setia menunggu dirinya. "Loh, abang belum tidur? Kenapa abang nggak tidur duluan saja?" tanyanya lalu melirik benda bundar yang menghiasi
Syifa keluar dari ruangan dengan wajah berseri. Dia melompat kegirangan karena skripsinya telah Acc untuk bisa diagendakan. Tangannya lekas meraih benda pipih, segera menghubungi sang suami yang sekarang tengah berada di kantornya."Abang, Syifa acc, Syfia acc," ucapnya kegirangan.Furqon yang di sebrang sana tersenyum mendengarnya. Betapa dia ikut bahagia melihat istrinya bahagia."Alhamdulillah sayang. Selamat ya, perjuangan kamu sebentar lagi hampir selesai. Ya sudah, sekarang kamu segera agenda, biar jadwal munaqasahnya cepat keluar," jawab Furqon dan langsung dituruti olehnya.Syifa pun menuju akademik, dan tanpa sengaja bertemu dengan Nada kembali. Dia yang sudah beberapa hari terakhir tidak lagi bertemu gadis itu, lantas merasa muak sekarang."Ck, ngapain lagi sih dia di sini." Syifa pun mengurungkan niatnya untuk ke akademik. Dari pada dia mencari perkara dengan bertemu Nada, Syifa lebih baik menghindar.Lan