Dengan tangan gemetar, Bagas memutar anak kunci. Dia menguakkan daun pintu sedikit, lalu menyusup masuk. Dadanya berdebar hebat, saat netranya menemukan tubuh yang teronggok di sudut gudang.
“Nay, Sayang …,” lirihnya memanggil nama wanita itu sambil berjalan cepat ke arah sudut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya menempelkan punggung tangan di kening sang wanita.
“Kenapa menyusul ke sini? Apa benar kamu hamil, Sayang? Nay …,” bisiknya seraya memeluk sang istri.
“Lepaskan aku, ba … jingan!” Dengan gerakan pelan, Rinay mendorong dada Bagas. Masih ada sisa tenaga yang dia punya. Bik Lastri tadi sempat memberinya segelas minuman hangat tadi.
“Jangan sentuh aku! Mulai sekarang, haram tanganmu menyentuh tubuhku!” ancamnya dengan suara serak.
“Jangan bicara begitu, Nay! Mas sayang sama kamu! Dengar, nanti Bik Lastri akan memberi kamu ramuan, kamu minum, ya! Biar cepat kuat dan pulih. Setelah kamu kuat, Mas akan mengantarkanmu pulang. Kamu tunggu di desa, Sayang! Seperti biasa. Ingat, kamu adalah istriku, akan tetap menjadi istriku, hem? Mas balik ke kantor dulu, ya! Nanti malam, Mas akan mengeluarkan kamu dari gudang ini. Kita bisa tidur bareng di salah satu kamar di rumah ini. Tapi, setelah Tatiana tidur, ya!”
Puih!
Semburan ludah Rinay tepat mengenai wajah pria itu.
“Kau meludahiku, Nay?” Bagas tersentak kaget. Dia meraba wajahnya yang basah terkena semburan ludah Rinay.
“Ya, kenapa? Kau tidak terima? Kau pantas mendapatkan itu! Bahkan sejujurnya aku ingin muntah di wajahmu itu! Kau pembohong! Kau penipu!” ketus Rinay dengan nada makin kasar. Tenaganya serasa kembali pulih setelah bertemu Bagas. Emosi yang melanda membuatnya merasa lebih kuat.
“Jangan kasar, gitu, Rinay! Aku ini suamimu!”
“Sekarang tidak lagi! Sejak aku tau siapa kau yag sebetulnya!” sergah Rinay dengan suara serak beriring tangis tertahan. Wanita delapan belas tahun itu berusaha keras agar tangis itu tak pecah sekarang. Apalagi di hadapan pria yang telah menghancurkan masa depan dan segala harapan.
Jangan salah paham, Mas bisa jelaskan!” Bagas mengulurkan tangan, hendak membelai kepala sang istri. “Dengar, sebenarnya Tatiana itu ….”
“Jangan sentuh aku!” bentak Rinay menepis tangan pria itu dengan kasar. Kalimat Bagas menggantung. Rinay memotong ucapannya.
“Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku sudah dengar semuanya dari mulutmu lewat teleponmu dengan ibumu tadi! Kau menipuku! Kau bilang itu vitamin penguat rahim, nyatanya itu obat penggugur kandungan! Kau bilang orang tuamu sangat merindukan cucu dariku, nyatanya ibumu sama sekali tak pernah mengharapkan aku!” lanjut Rinay dengan mata basah. Suaranya tersendat, sesekali terhenti untuk menarik napas berat.
“Nay …,” panggil Bagas pelan. Pria licik itu sedang berpikir keras bagaimana cara menaklukkan kembali istri sirinya ini.
“Kenapa kau tidak pernah talak aku seperti janjimu kepada orang tuamu, juga janjimu kepada istri barumu itu? Kenapa kau tak talak aku?” cecar Rinay dengan lantang.
“Karena aku mencintaimu, Nay! Aku sayang sama kamu!”
“Bohong! Kau sengaja tidak menalak aku karena kau ingin jadikan aku sebagai istri simpananmu! Perempun pemuas nafsumu! Pelepas dahagamu! Seperti yang dituduhkan oleh orang-orang di kampungku! Tuduhan mereka benar! Kau hanya ingin menjadikan aku budak nafsumu!”
“Itu tidak benar, Rinay!”
“Itu benar! Tak perlu kau membantah lagi! Sekarang, aku sudah tahu semuanya. Dengar, Tuan Bagaskara yang terhormat! Aku menolak menjadi budak nafsumu! Sekarang, aku hanya minta satu hal padamu, lepaskan aku!”
“Apa maksudmu lepaskan?”
“Talak aku! Lalu izinkan aku pergi dari sini! Jam lima sore ini masih ada Bus terakhir yang berangkat ke kampungku. Aku akan naik bus itu pulang!”
“Kau tidak sedih akan kehilanganku? Bukankah kau begitu tergila-gila pada ketampananku? Yakin, kau siap kalau aku talak?”
“Cih! Tergila-gila pada laki-laki seperti kau? Kalau bukan karena kau perkosa aku waktu itu, aku tidak akan pernah jadi istrimu! Karena kau sudah berstatus sebgai suamiku, maka aku berusaha menjalankan kodratku sebagai seorang istri. Aku berusaha mengabdi padamu! Aku belajar mencintaimu. Dengan tipu dayamu, aku berhasil kau taklukkan, aku jatuh hati padamu. Tapi, itu dulu. Sekarang aku sudah sadar siapa kau. Kau yang memang aslinya bajingan tetap saja bajingan! Talak aku sekarang!”
“Wah, kau sombong juga ternyata, ya! Kau pikir kau itu siapa? Sok kecantikan …. Seribu perempuan cantik seperti kau bisa aku dapatkan dengan uangku, tau kau! Denganmu, aku hanya terjebak! Orang kampung yang kolot itu memaksaku menikahimu! Kau pikir aku cinta padamu, begitu? Jangan besar kepala kamu, ya! Kau itu hanya perempuan kampung, yang kebetulan paling cantik waktu itu kulihat untuk ukuran orang kampung! Waktu itu juga karena aku kesepian, tak punya hiburan di kampungmu yang terpencil itu! Jangan kepeden kamu!”
“Kau sudah puas menelanjangi dirimu? Kau sudah puas menceritakan semua kebusukanmu, ha? Sekarang talak aku, lalu ijinkan aku pergi dari sini! Kenapa istrimu itu mengurung aku di sini? Talak aku! Lalu biarkan aku pergi!”
“Dengar sebenarnya aku bisa saja talak kau sekarang! Aku juga tidak butuh kau! Tapi, sayang sekali kau dalam keadaan hamil! Kok bisa kau hamil, coba! Padahal aku sudah memberimu obat anti hamil!”
“Tidak penting lagi kau bahas itu! Talak aku! Itu yang penting!”
“Kau pikir gampang talak kau begitu saja, hah! Keluargamu, warga desamu, juga perangkat-perangkat desa di kampungmu itu, akan menuntutku karena menceraikan kau yang sedang hamil. Kau gugurkan dulu kandunganmu itu? Setelah itu, aku akan talak kau. Cuma itu jalan satu-satunya!”
“Kau …. Kau sama saja dengan ibumu, juga istrimu! Kenapa kalian mempermasalahkan anak ini?”
“Karena aku, ibuku, juga istriku, tak mau ada bagian dari diriku yang tertinggal padamu setelah aku mentalak kamu, mengerti?”
“Licik! Kau jahat!”
“Kenapa? Kau merasa sedih harus kehilangan calon anakku yang ada di perutmu itu, hem? Hehehe … kau pasti sengaja mempertahankan dia, agar kau bisa mengikat aku, iyakan? Kau pikir aku akan mempertahankanmu demi anak itu? Sayang sekali, aku tak butuh anak itu, Rinay!”
*****
Bersambung
“Aku tidak ada maksud begitu! Aku hanya tidak tega melenyapkan darah dagingku sendiri! Aku tidak mau menjadi pembunuh! Sedikitpun aku tak peduli padamu!” lirih Rinay menurunkan volume suaranya. Air mata mulai berlinang di kedu pipi. Putus asa, dia mulai kehilangan semangat.“Begini saja, kalau kau memang tak ingin kehilangan janinmu, kau ikuti saranku! Kau pulang ke desa, pura-pura tak terjadi apa-apa di sini! Jangan pernah datang ke sini, cukup aku saja yang datang seminggu sekali ke desamu, seperti bisanya, kau mau?”“Tidak!”“Kenapa? Apa masalahnya bagimu, coba? Toh, aku tetap memberi kau dan juga keluargamu jatah belanja tiap minggu? Itu sebenarnya yang kau dan keluargamu inginkan, kan? Uang, kan? Apakah orang tuamu merasa kurang? Ok, aku akan tambah dua kali lipat. Bagaimana?”“Aku tidak mau! Dari tadi aku sudah bilang kalau aku tidak mau menjadi istrimu lagi! Aku jijik padamu, Tuan Bagas! Aku jijik pada senjatamu yang kau celup sana sini itu! Perutku mual bila ingat ternyata
“Kamu harus mengumpulkan tenaga dulu, biar kuat lari sebentar lagi. Biasanya jam lima sore, Nyonya mandi. Kira-kira setengah jam lagi. Non Tatiana biasanya asik nonton drama korea di kamarnya. Gunakan kesempatan itu untuk lari! Bibik ambil minum dan makanan buat kamu, ya! Biar kamu bertenaga dan kuat untuk lari,” tutur Bik Lastri mengembalikan semangat hidup Rinay. Perempuan itu lalu bangkit, kemudian berjalan menuju dapur. Menuangkan segelas air hangat ke dalam gelas, membubuhkan dua sendok gula putih ke dalamnya. Setelah mengaduk hingga gula hancur, dia meraih dua potong roti di atas meja dapur. Segera dia membawanya kembali ke dalam gudang. Rinay masih terkulai lemas di lantai gudang yang dingin dan kotor. Kepalanya terasa begitu berat, pandangannya berkunang-kunang. Wanita itu tak sanggup untuk duduk menegakkan tubuh, apalagi untuk berdiri. Tenaganya sudah terkuras habis karena berusaha melawan tadi. “Nduk, ayo, minum dan isi perut kamu sedikit, biar ada tenaga!” Bik Lastr
“Tidak, Bik! Aku enggak tega melihat wajah kecewa Bapak sama Ibuku, bila aku pulang ke kampung dengan situasi seperti ini. Aku kabur dari rumah suamiku, karena sumiku tak menerimaku. Tak menerima janin di perutku. Bagaimana aku bisa mengatakan hal ini kepada Bapak dan Ibu. Bagaimana caraku menjelaskan kalau ternyata suamiku sudah punya istri baru di kota ini, wanita pilihan orang tuanya, sedangkan aku dibuang begitu saja. Aku enggak tega, Bik!” “Iya, tapi kamu bisa apa? Kita ini orang miskin, lemah, enggak punya kekuatan apa-apa! Ingat, Nduk! Kita cuma bisa nerima kenyataan! Manut pada nasip yang sudah ditetapkan oleh Allah buat kita yang lemah dan miskin ini!” “Tidak, Bik! Aku yakin, Allah juga tidak mau melihat aku diinjak-injak seperti ini. Dia juga pasti ingin aku bangkit.” “Buktinya kita dia ciptakan menjadi manusia miskin, Nduk!” “Aku memang miskin, aku perempuan kampung yang sempat tertipu mulut manis laki-laki kaya tapi licik itu. Tetapi, aku bukan perempuan bodoh yang h
“Iya … iya, ayo!” Aman buru-buru membuka pintu gerbang. Membawakan tas kain milik Rinay yang tadi dia sembunyikan di pos jaga. Bik Lastri segera melambai ke sebuah beca yang melintas. “Tolong antarkan gadis ini ke Ladang Bambu Pancur Batu. Jalan Krakatau No 40 A. Ini ongkosnya, bisa, ya, Bang!” titahnya kepada sang supir beca. “Wah, jauh banget itu! Mana cukup dua puluh ribu,” tolak sang supir cepat. “Ya, sudah, ini, aku tambahi!” Aman mengeluarkan uang sepuluh ribu. “Lima ribu lagi, kalau enggak cari beca lain saja. Jauh itu, dibayar cuma segitu!” sungut sang supir. “Ya, sudah ini … ini! Antar sampai tempat, ya!” Aman menambahi lagi. “Sementara kamu tinggal di rumah anak bibik! Nanti bibik telpon dari sini, biar dia enggak kaget kedatanganmu! Baik-baik di sana, ya, Nduk!” Rinay memeluk Bik lastri, menyalam dan mencium punggung tangan bang Aman. “Non …! Nyonya …! Non Tatiana …! Nyonya …!” Terdengar Bik Lastri berteriak-teriak panik. Segera para penghuni rumah berhamburan
Bab 13. Rinay Mendapat Pekerjaan “Enggak usah minta maaf, Pa! Papa benar, Rinay itu lebih sempurna dari saya. Buktinya dia udah bisa hamil, anaknya Mas Bagas, cucu Papa. Sedangkan saya belum tentu. Saya mundur saja, Pa! Karena biar bagaimanapun, saya enggak mau dimadu. Sejak awal saya bilang, saya mau nikah sama Mas Bagas kalau dia talak perempuan kampung itu. Saya enggak mau berbagi suami, Pa. Jadi, lebih baik saya saja yang mundur!” tutur Tatiana dengan suara bergetar, seolah sedang begitu menderita. “Ya, tidak bisa, dong! Kamu itu menantu pilihan kami, biar saja Rinay yang pergi. Enggak usah dicari, toh, dia enggak hamil lagi. Enggak ada lagi ikatan antara Bagas dengan dia. Sudah, ayo makan, lupakan perempuan itu!” tukas Rahayu menyudahi. ** “Makan dulu, yuk! Biar kamu kuat! Kamu sedang hamil, janinmu butuh nutrisi!” Rina, putri Bik Lastri menghenyakkan bokongnya di tepi kasur kecil. Rinay berbaring dengan menghadap ke arah dinding di sana. “Aku tidak lapar, Kak. Terima kasi
Sekilas pria itu terlihat sangat angkuh. Dua orang wanita berdiri tak jauh dari meja makan. Keduanya mengenakan seragam kemeja berwarna biru dan celana panjang warna senada. Mereka adalah para ART di rumah ini. “Namanya Pak Aldo, semoga dia mau menerima kamu menggantikan babysitter yang akan cuti mulai hari ini, ayo, kita dekati!” ajak Heri melanjutkan langkah, Rinay mengikuti dengan hati berdebar. Dari kejauhan dia belum bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk wajah dan perawakan sang Bos, namun dia sudah bisa merasakan betapa kaku dan dinginnya sikap pria itu terhadap ART yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Dua pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan itu terlihat begitu patuh padanya. “Selamat pagi, Pak!” sapa Heri menghentikan langkah setelah jarak merek tinggal beberapa meter saja. Rinay juga menghentikan langkah. “Hem, kau menemukan babysitter pengganti itu?” jawab sang Bos, lalu balik bertanya. Matanya tetap fokus ke layar ponsel di tangannya, sedikitpun ta
“Namanya Deo, usianya baru tujuh bulan. Perkembangan fisiknya sangat lambat. Karena terpaksa berpisah dengan ibunya. Kamu tentu sudah tahu kalau Nyonya meninggal sebulan setelah melahirkan dia. ASI terpaksa diganti dengan susu formula. Entah karena susunya yang belum tepat, atau karena dia merasa kehilangan pelukan hangat ibunya. Sehingga pertumbuhan fisiknya sangat lambat. Tubuhnya juga sangat kurus seperti ini,” papar Suster Lina menerangkan kondisi sang putra majikan. Rinay mengangguk, sesekali menelan saliva. Rasa iba pada bayi itu seketika mengaduk hatinya. Deo terlihat seperti bayi yang kena gizi buruk. “Apakah kamu yakin bisa menggantikan saya selama seminggu ini untuk merawatnya?” tanya Suster Lina terdengar ragu. Rinay menoleh kepada Bik Yuni. Wanita itu mengangguk pasti. “Insya Allah saya bisa,” sahut Rinay akhirnya, meski sedikit ragu. Namun karena Bik Yuni begitu percaya padanya, tumbuh keberanian untuk meneruskan saja. “Baiklah. Nama kamu siapa?” “Saya Rinay,
“Bapak …?” Bik Yuni dan Suster Lina bergumam bersamaan. Wajah keduanya terlihat tegang. Hanya Rinay yang bersikap biasa saja. Suster Lina yang sudah melepas Deo, membuat Rinay lebih leluasa mengatur posisi bayi itu di dalam dekapannya. Mulut mungil bayi malang itu mulai menyedot kepala dot, pelan dia menghisap isinya. Begitu tenang dan perlahan. Sesekali dia seperti tersedak. Aldo melangkah masuk. “Bik, tolong carikan pasfhoto Nyonya! Mungkin saat bersih-bersih, Bibik pernah menemukannya! Saya butuh sekarang!” perintah Aldo kepada Bik Yuni. “Sepertinya saya pernah lihat di laci lemari hias Nyonya. Sebentar saya ambilkan!” Bik Yuni langsung bergerak menuju kamar utama. “Dan kamu, kenapa belum berangkat juga? Penggantimu sudah datang, kenapa masih menunda?” Aldo mengalihkan tatapannya kepada Suster Lina. “Eem, saya … saya merasa berat meninggalkan Den Deo, Pak. Saya khawatir dia tidak bisa mengurus Den Deo! Saya merasa tidak tenang.” Suster Lina berkata dengan nada penuh tekana