Share

Bukan Istri Pilihan Ibumu
Bukan Istri Pilihan Ibumu
Penulis: Syifa Safaah

Pergi demi Andra

“Saya akan melunasi biaya operasi suami kamu. Tapi, dengan satu syarat," ucap wanita tua yang masih terlihat cantik itu pada Alana, “Tinggalkan Andra. Dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.”

Alana yang kini sudah basah kuyup akibat dibiarkan berdiri di depan pintu rumah, lantas tertegun mendengar ucapan sang ibu mertua.

Meninggalkan Andra? Bagaimana mungkin? 

Andra adalah suaminya. Terlebih saat ini lelaki itu sedang terbaring lemah di rumah sakit. 

“Ma, aku tidak bisa melakukan itu, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Andra yang sangat membutuhkanku saat ini. Apa tidak ada syarat lain?”

Mendengar itu, Nita sontak tertawa. “Alana, Andra itu anakku. Aku bisa merawatnya dengan baik,” tukasnya cepat.

“Dulu aku yang membesarkannya. Tapi setelah dewasa, dia malah jatuh ke dalam jerat perempuan miskin seperti kamu dan memilih pergi dari rumah ini. Sekarang lihat apa yang terjadi pada Andra? Kamu hanya bisa membawanya hidup susah. Kamu membuat Andra menderita. Jadi sebaiknya kamu tinggalkan dia. Biarkan Andra hidup bahagia dengan wanita yang lebih baik dari kamu,” lanjut Nita dengan nada tinggi. 

Alana menggeleng. “Tapi, aku dan Andra saling mencintai, Ma. Tolong jangan berikan syarat seberat ini. Aku berjanji akan berusaha membahagiakan Andra. Tolong jangan minta kami untuk berpisah. Apalagi saat ini aku sedang mengandung cucu Mama,” mohonnya sambil menangis.

Tanpa sadar, Alana bahkan mengusap perutnya.

Hal ini jelas membuat Nita tak senang. “Andra sudah tahu kamu hamil?” tanyanya menyelidik.  

Alana menggelengkan kepalanya. “Belum, Ma.” 

“Bagus. Kalau begitu gugurkan,” cetus Nita tanpa perasaan. 

Mata bening Alana membola, ia menggeleng dengan cepat. 

“Tidak, Ma. Aku tidak mau membunuh bayi ini. Ini buah cinta kami, dia tidak berdosa.”

Nita berdecih dengan kesal. “Andra itu lelaki sehat. Dia masih bisa mendapat banyak anak dari wanita lain. Kalau kamu benar-benar sayang pada anak saya dan ingin dia sembuh. Maka tinggalkan dia dan pergi jauh dari kehidupannya. Hanya itu.” 

Alana mengusap air matanya, kepalanya terangkat dengan wajah memohon. 

“Aku tidak bisa meninggalkan Andra, Ma. Aku mencintainya--” 

“--Terserah kalau kamu tidak mau meninggalkan anak saya. Maka silahkan cari uang ke tempat lain,” potong Nita lalu membalikan tubuhnya hendak masuk ke dalam rumah. 

Alana terhenyak mendengar perkataan ibu mertuanya.

Ke mana lagi Alana harus mencari uang untuk biaya operasi Andra? Ia tidak memiliki sanak saudara untuk dimintai pertolongan.

Sementara operasi Andra harus segera dilakukan malam ini juga. Jika tidak, nyawa Andra dalam bahaya.

Maka sebelum Nita benar-benar menutup pintu, dengan cepat Alana menahannya. 

“Tunggu, Ma.”

“Ada apa lagi?” sentak Nita. 

“Aku, aku bersedia meninggalkan Andra,” putus Alana pada akhirnya. Nita langsung menyunggingkan senyum kemenangan. “Tapi tolong bantu biayai operasinya, Ma. Dokter bilang Andra harus dioperasi secepatnya,” lanjut Alana. 

Nita tersenyum. "Kamu gak perlu khawatir. Aku akan urus semua, bahkan aku akan buat Andra melupakanmu segera."

Deg!

Sebagai seorang istri, Alana tahu ini pilihan yang berat. Meninggalkan suami yang dicintai dengan keadaan hamil. Tapi apa yang bisa Alana perbuat? Saat ini hidup dan mati Andra bergantung padanya. 

*** 

Kini, jarum jam di dinding rumah sakit menunjukan pukul dua pagi.  

Nampak seorang lelaki bertubuh tegap dan jangkung terbaring lemah di sebuah ranjang. Perlahan jari-jemarinya bergerak lembut. Bergetar seolah ingin menunjukan kalau ia telah sadar. 

“Al-ana..”

“Alana..” 

Suaranya bergetar memanggil nama wanita yang begitu ia cintai. Matanya menatap sekeliling, tapi ia tidak melihat siapapun di dalam ruangan ini. Ke mana istrinya? 

Kini ia memanggil dengan suara yang agak keras. Hingga membuat Nita dan suaminya yang sedang tidur di sofa, terbangun. Mereka terkejut mendengar Andra berteriak memanggil-manggil Alana. Nita dan Darma—suaminya, langsung menghampiri Andra saat melihat lelaki itu hendak bangkit untuk turun dari ranjangnya. 

“Andra! Kamu tidak boleh turun dulu. Kaki kamu masih sakit. Bekas operasi kamu belum sembuh betul, Ndra!” Nita menahan lengan Andra dengan panik.

“Istirahat, Andra. Dokter menyarankan kamu jangan terlalu banyak bergerak,” Darma menambahkan. Sembari membetulkan posisi Andra agar berbaring dengan benar.

“Di mana Alana, Ma? Pa? Kenapa Andra tidak melihat dia?” 

Nita berdecak dalam hati. Orang pertama yang Andra tanyakan pasti Alana. Sepertinya wanita itu sudah berhasil menguasai hati dan pikiran Andra. 

Darma pun memasang wajah malas saat mendengar nama Alana. Menurutnya, nama Alana bahkan tak pantas untuk sekadar disebut-sebut di dalam keluarga mereka.  

Kedua orang tua Andra memang sangat membenci Alana, karena mereka menganggap kalau Alana sudah membuat Andra memilih meninggalkan rumah demi menikah dengannya. 

Padahal dulu Andra sudah mau dijodohkan dengan anak rekan bisnis mereka. Tetapi Andra menolaknya dengan tegas. Lantas pergi dari keluarganya, dan menikah tanpa restu dengan wanita miskin seperti Alana.

“Ma? Aku sedang bertanya. Di mana Alana?” 

“Alana sudah pergi, Ndra,” Nita menjawab pelan. Sambil menampilkan wajah sedih di depan Andra.

“Pergi? Pergi bagaimana maksudnya?” Andra bertanya panik. 

“Dia pergi meninggalkan kamu bersama laki-laki lain.”

Kali ini, Darma yang menjawab.

Kening Andra sontak berkerut mendengar ucapan Papanya.  

Alana sangat mencintainya. Mana mungkin ia akan tega meninggalkan Andra? Orang tuanya pasti bohong. Alana tidak pernah meninggalkannya.

“Tidak mungkin! Aku tidak percaya. Alana tidak akan melakukan itu!”

“Tapi memang itu yang terjadi, Ndra. Alana sendiri yang bilang pada Mama dan Papa. Kalau dia tidak mencintai kamu lagi. Dia bosan hidup susah bersama kamu. Lebih lagi karena kecelakaan itu, kedua kaki kamu bermasalah. Alana bilang dia tidak mau memiliki suami yang cacat dan tidak berguna," ucap Nita, "Untuk itu dia pergi dengan kekasih barunya yang bisa memberinya kemewahan. Alana benar-benar pergi, Ndra. Dan dia ingin cerai dari kamu.”

Deg!

Kepala Andra tetap menggeleng dengan tegas. “Bohong! Alana tidak mungkin bilang begitu sama Mama. Kalian pasti bohong. Kalau Mama dan Papa tidak mau memberitahu di mana Alana. Maka biar Andra sendiri yang pergi mencarinya!” Andra berusaha kembali bangkit.

Tapi tangan Nita dengan cepat menahannya lagi. “Jangan, Ndra. Ingat kaki kamu. Bisa fatal akibatnya kalau kamu memaksakan banyak bergerak saat ini.”

“Aku mau mencari Alana, Ma. Aku ingin memastikan kalau semua yang kalian bilang itu tidak benar. Alana pasti ada di rumah saat ini!” tegas Andra.

“Kamu jangan keras kepala, Andra. Sudah berapa kali Papa bilang sama kamu. Alana itu bukan gadis yang baik. Dia hanya memanfaatkan kamu untuk menguras harta keluarga kita. Buktinya, dia tidak tahan hidup miskin dengan kamu, ‘kan? Dia malah pergi dengan laki-laki lain di saat kaki kamu sedang tidak berdaya seperti ini,” Darma mencoba mempengaruhi pikiran Andra agar anaknya itu percaya kalau Alana memang bukan wanita baik-baik. 

“Biarkan aku pergi dan memastikan, Pa. Karena hatiku sangat yakin kalau Alana tidak mungkin meninggalkanku begitu saja.”

“Tapi sekarang masih gelap, Ndra. Kamu juga baru sadar. Mama khawatir sama kamu,” Nita menyentuh lengan Andra yang terbaring dengan mata yang memanas. 

“Oke. Kalau kamu memang tidak percaya pada kita. Silakan cek sendiri ke rumah kontrakan kalian. Tapi, tunggu sampai kamu mendapat izin dari rumah sakit. Dan Papa pesankan satu hal sama kamu. Jangan menangis jika nanti kamu mendapati kenyataan kalau Alana memang menghianati pernikahan kalian.” Darma berkata dengan tegas.

Andra meneguk ludahnya kasar. Ia menatap nanar pada Darma yang berlalu keluar dari ruang rawatnya. 

Hatinya tetap teguh. Ia tak akan percaya Alana pergi meninggalkannya sebelum Andra melihat buktinya sendiri.

Empat hari kemudian, Andra pun diizinkan untuk keluar dari rumah sakit meski kondisinya masih belum sepenuhnya pulih.

Mobil milik Nita sudah terparkir rapi di depan sebuah rumah kontrakan yang nampak kumuh dan sederhana. Rumah dimana Andra dan Alana tinggal berdua dan menjalani kehidupan mereka setelah menikah.

Nita berdecih dalam hati, manakala matanya berpendar menatap rumah itu. Ia tidak menyangka jika Andra mau tinggal di rumah yang bahkan menurut Nita lebih pantas disebut kandang ayam. 

Padahal dulu Andra hidup berkemewahan. Andra dulu menjabat sebagai kepala manajer keuangan di kantor milik Darma. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Alana yang merupakan salah satu karyawan di sana. Kecantikan dan kelembutan hati Alana, mampu meluluhkan perasaan Andra. 

Dengan berani, Andra berani mengenalkan Alana pada kedua orang tuanya. Namun yang didapat bukanlah doa restu, melainkan tatapan menghina dan makian yang mereka lontarkan pada Alana.  

“Ndra! Suster dari tadi menunggu kamu turun dari mobil. Kenapa masih melamun? Kamu tidak jadi masuk ke rumah itu?” 

Andra terhenyak dari lamunannya. Ia melihat ke samping. Ternyata pintu mobil sudah di buka dari luar, dan sebuah kursi roda tersedia di bawah untuk menampung tubuh kekar Andra. 

Andra mengangguk. Lalu kemudian ia turun dengan dibantu oleh Nita dan perawatnya. Andra menatap rumahnya yang nampak sepi, sunyi dari luar. Perasaan tidak enak seketika menyergap hatinya begitu saja. 

‘Mungkin Alana sedang tidur siang. Jadi rumahnya terlihat sepi.’ batin Andra.

Kursi roda itu didorong oleh perawat untuk mendekati pintu. Dengan mudahnya pintu yang tidak dikunci itu terbuka. Lantas mereka masuk ke dalamnya.

“Alana! Alana! Kamu di mana sayang? Aku pulang!” 

Nita memutar bola matanya jengah mendengar panggilan Andra pada istrinya.

Di sisi lain, Andra mengerutkan kening karena tidak ada sahutan dari Alana.

Dia pun meminta pada suster untuk mendorongnya ke kamar. 

Namun begitu tiba, manik matanya melihat beberapa benda yang nampak berserakan di atas tempat tidur.

Dengan cepat Andra mendorong kursi rodanya sendiri untuk mendekat. 

“Alana!” napasnya tercekat. Andra rasanya ingin mati saat ini juga. Ia tidak menyangka dengan apa yang ia lihat saat ini.

Sebuah dokumen surat cerai yang sudah ditandatangani oleh Alana kini berada dalam genggamannya.

Bahkan, buku nikah mereka sudah berserakan dalam keadaan robek di atas kasur.

Juga ada selembar surat yang mana tulisan tangannya sangat Andra kenali. Itu tulisan tangan Alana.

[ Andra. Maaf aku pergi tanpa pamit. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya bilang sama kamu. Aku sudah tidak sanggup hidup sama kamu, Ndra. Aku bosan hidup susah dan hanya mengandalkan gajimu yang kurang untuk menutupi kebutuhan kita. Apalagi sekarang kaki kamu lumpuh. Hidup kita pasti akan semakin susah.] 

[Untuk itu aku memilih menyerah dengan pernikahan ini. Aku jatuh hati pada lelaki lain. Dan dia berjanji akan memenuhi kebutuhanku dan memberikan semua yang aku mau. Maaf, Ndra. Terimakasih untuk cinta kamu selama ini. Tolong tandatangani surat cerai kita karena aku sudah tidak mencintai kamu lagi.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status