Sepulangnya dari kantor, Leana dengan cepat menju ke rumahnya. Mengetuk pintu pelan, sembari menaruh barang-barang belanjaannya di depan pintu. "Kak Lea," ucap Arsen dan langsung memeluk singkat Kakak perempuannya itu. "Ayah sama ibu di dalam, 'kan?" Leana berujar lembut. "Ada Kak, Kebetulan lagi duduk di ruang tamu." Leana tersenyum singkat sebagai respon, tetapi atensinya terus mengamati wajah Arsen. Membuat lelaki remaja itu mengalihkan pandangannya. "Mata kamu sembab, kamu baik-baik aja?" tanya Leana seraya mengusap surai adiknya, sedangkan Arsen hanya mengangguk pelan. "Ayo Kak, udah ditunggu sama Ayah dan Ibu." Arsen mengambil tiga buah kantong plastik yang Leana bawa, lalu tangan yang satunya menuntun sang kakak ke dalam. "Lea, kamu sudah datang?" Bagus menghampiri putrinya dan mengecup singkat kening Leana. "Iya, Ayah." Leana mencium punggung tangan sang ayah, dan beralih mencium punggung tangan ibunya. Walaupun sempat ada penolakan dari wanita paruh baya itu. "Ayo du
Leana mengatur nafasnya perlahan, setelah menerima telepon dari Sania, perempuan itu bergegas pamit kepada keluarganya. Karena tak ingin membuat mama mertuanya semakin murka. "Bu Leana." Leana lagsung menoleh ke sumber suara, terlihat mbok Sumi yang sedang memegang bak kecil berisi air, yang Leana yankini bekas mengompres Elvano. "Malam, Mbok." Mbok Sumi tersenyum sebagai respon. "Bu Leana suka sekali lari -larian, apakah ada sesuatu yang urgent?" tanya mbok Sumi diselingi candaan ringan. "Mau cek keadaannya Mas Elvano, Mbok." Mbok Sumi terdiam sejenak, sebelum membuka suara. "Kebetulan ada Ibu Sania di kamar, Pak Elvano." Leana semakin meremas kedua tangannya. "Baik, Mbok. Saya ke atas dulu, ya." Mbok Sumi mengangguk ringan, lalu melangkah menuju dapur. Leana menghembuskan nafas berat, kali ini dia akan kembali menebalkan rasa sabarnya. Karena pasti Sania akan menyalahkannya. Terlepas dari rasa kesalnya yang masih menumpuk pada Elvano, dan mau seperti apapun Leana menjelaskan j
Pagi harinya, Leana beraktifitas seperti biasa. Karena ini hari minggu, perempuan itu sudah berada di dapur. Mempersiapkan sarapan untuk Elvano dan juga mama mertuanya. "Astaga, saya kira siapa!" Mbok Sumi memegang dadanya, dan Leana hanya tersenyum simpul melihat mbok Sumi serta beberapa asisten rumah tangganya."Pagi semuanya, maaf mengejutkan kalian. Untuk seharian ini saya yang akan menyiapkan menu makanan. Jadi, Mbok Sumi sama yang lainnya bisa kerjakan pekerjaan rumah yang lain." "Pagi, Bu Leana. Baik, Bu. Tetapi apakah tidak apa-apa?" Mbok Sumi kembali memastikan. Leana tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. "Kalau begitu kami permisi, Bu." Melihat anggukan singkat dari sang majikan, mbok Sumi serta beberapa asisiten rumah tangga yang lainnya langsung bergegas pergi. Sedangkan Leana kembali fokus pada hidangan yang dibuatanya. "Lagi apa?" "Eh!" Leana tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang punggunya, terlihat Elvano yang sedang bersedekap dengan wajah bantalnya
"Maksud Mas Elvano apa menanyakan hal seperti itu?" tanya Leana dengan wajah bersemu merah. "Jawab saja, Leana." Elvano menatap Leana serius. Mendengar nada tak sabaran dari pria di hadapannya itu, membuat Leana mengangguk malu. "Iya, Mas. Aku ... telat." "Saya keluar sebentar, kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!" Leana yang ingin bertanya langsung terdiam kala melihat Elvano sudah melangkah pergi.Leana yang masih bingung akan tingkah Elvano hanya mengangat bahu acuh tak acuh, lalu keluar dari kamar pria itu menuju kamarnya. Leana menguap, lalu merebahkan diri pada kasurnya. Aneh sekali memang, padahal masih pagi, dan tak biasanya dia seperti ini."Leana, Leana! Bangun, saya sudah bilang untuk jangan ke mana-mana." Leana yang melihat wajah panik Elvano menjadi terbangun. "Maaf, Mas. Saya mengantuk tadi," ucap perempuan itu serak. Padahal dia baru memejamkan mata, tapi Elvano langsung membangunkannya."Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu cepat pakai ini, jika kamu tidak bis
"Permisi, Pak Elvano, Bu Sania. Maaf mengganggu, ada keluarga Bu Leana di depan." Sania serta Elvano yang sedari tadi terlibat pembicaraan menoleh ke sumber suara. "Suruh menunggu sebentar, Mbok. Dan langsung arahkan ke ruang tamu, ya." Mbok Sumi dengan sigap mengikuti inetruksi dari sang majikan. "Kamu tidak ingin membangunkan Leana, Vano?" lanjutnya. Elvano menggeleng. "Biarkan saja, Ma. Dia butuh istirahat total."Terdengar lenguhan pelan dari arah Leana berbaring, membuat Elvano dengan sigap menuju kasurnya. "Leana, kamu butuh sesuatu?" tanya pria itu langsung, dan mendapat gelengan singkat dari sang empu."Tidak, Mas. Terima kasih," ucap perempuan itu serak."Leana, ada keluarga kamu di bawah. Mau ikut menemui mereka atau bagaimana?" Sania berujar datar, menatap Leana malas. "Saya ikut ke bawah saja, Ma." Leana bangkit dari tidurnya, lalu mengubah posisinya menjadi duduk pada pinggir kasur. "Istirahat saja, nanti orang tua kamu saya suruh ke sini," timpal Elvano, yang langsung
Dua hari kemudian, Elvano serta Leana kembali mendatangkan dokter keluarganya. Untuk menanyakan beberapa hal yang membuatnya berpikir sedari kemarin. "Jadi, yang Pak Elvano alami beberapa hari yang lalu adalah kehamilan simpatik." "Kehamilan simpatik?" tanya Elvano serta Leana di saat yang bersamaan.Dokter cantik itu tersenyum simpul, lalu kembali membenarkan kacamata yang bertengger pada hidung bangirnya sebelum menjawab, "Betul, faktornya karena rasa empati Pak Elvano kepada Bu Leana begitu besar." Baik Elvano maupun Leana hanya bisa terdiam mendengar penjelasan dari sang dokter. "Untuk hamil muda seperti ini sebaiknya Bu Leana jangan terlalu stres dan lelah, dukungan dari suami serta lingkungan sekitarnya juga sangat diperlukan." "Baik." Elvano berucap tegas, melirik singkat pada Leana yang memasang wajah serius saat menyimak penjelasan sang dokter. "Dan sebelum saya pergi, ada yang mau saya bicarakan dengan Pak Elvano." Elvano pun hanya mengangguk mengikuti dokter keluarganya
Jujur saja pertanyaan yang Cila layangkan siang tadi membuat Leana berpikir keras. Bahkan dia tak mampu menjawabnya, dan berakhir dengan kedatangan Elvano ke kamarnya. "Leana, kenapa belum tidur? Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?" tanya Elvano sembari mendekat ke arah kasurnya, kacamata yang bertengger pada hidung bangirnya membuat Elvano semakin terlihat menawan."Tidak, Mas. Saya hanya ingin──" Leana menggantungkan ucapannya, meremas kedua tangan, gugup."Ingin apa, Leana? Jangan pernah menahannya. JIka saya mampu pasti akan saya berikan." Lihat, bagaimana Leana tidak akan jatuh hati pada sosok rupawan ini, Jika Elvano memperlakukannya secara berlebih sepereti ini terus."Saya mengidam." Leana menunduk dalam. "Ngidam apa? Ayo sebutkan." Elvano menyorot Leana dengan raut tak sabaran, terlihat binar bahagaia pada netra tajam itu. "Saya, em ...." Leana menatap Elvano malu-malu. "Saya mau kita menggunakan panggilan 'aku kamu' mulai sekarang." Setelah mengutarakan keinginannya, dia l
"Van, hari ini ada dinner di luar. Kamu ikut, 'kan?" Elvano menatap Zion sekilas, lalu menggeleng singkat. " Leana sedang hamil muda, kasihan jika ditinggal sendiri. Apalagi dia sedang manja-manjanya beberapa hari ini." Air yang baru saja Zion teguk langsung menyembur begitu saja. Pria itu terbatuk, nafasnya terngah. Setelah berdehem serta menormalkan deru nafasnya, Zion menatap Elvano dalam. "Van, jangan bilang kamu sudah cinta sama istri kamu sendiri?" celetuknya dengan seringai menggoda."Dia istri saya, bukankah hal wajar?" Zion menganga mendengar balasan singkat itu, dia melangkah mendekat──meneliti raut Elvano yang tak terlihat bercanda. "Luar biasa! Leana mampu membuat kamu move on dari Sasmita dalam waktu beberapa bulan saja?!" Zion berseru heboh, membuat Elvano memutar bola mata malas. "Jangan sebut nama dia lagi," timpal Elvano datar. "Kenapa memanganya? Kamu masih kepikiran sama──" "Stop, oke? Lebih baik selesaikan jadwal hari ini, saya juga akan pulang cepat." Zi