Share

Part 10 Keputusan Besar 2

"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu."

"Makasih banyak, Bu."

"Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu."

"Aku akan memulai secepatnya."

"Iya."

"Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya.

"Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.

Aku tak menjawab.

"Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."

Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun.

"Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu.

"Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi."

"Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hampir nggak pernah bertemu. Bicara di telepon pun nggak pernah, Mas. Dia tahu apa tentang aku."

"Dia masih anak-anak, Nas."

"Ya, dia seharusnya sangat polos. Dia masih berumur tiga tahun saat kita menikah. Aku juga nggak ngrebut mas dari mamanya. Aku juga manut saat mas nggak ingin mempertemukan aku dengannya. Tapi dia bisa bicara seperti itu, siapa yang ngajarin?"

"Kamu menuduh Mayang? Bahkan dia sangat baik padamu, kan? Mayang nggak mungkin melakukan hal itu?"

Mendengar kalimat yang serupa pembelaan ini rasanya makin sakit. Air mata meleleh bak anak sungai di pipi. Aku merasa makin sendiri. Tak ada lagi yang menyayangiku dengan ikhlas dan tulus. Bahkan suamiku sendiri.

Mas Yoshi bangkit menghampiriku. Namun aku berdiri dan menjauh. Rasa cinta yang selama ini meluluhkan segalanya hingga membuatku bertahan puluhan purnama, kini tertindas oleh rasa sakit yang menyayat dada. Dia membela anaknya masih bisa kumaklumi, tapi saat dia membela mantannya, aku tak akan terima.

Aku tidak butuh lagi rengkuhannya yang menenangkanku seperti biasa.

Saat ia hendak mendekat lagi, ponsel di saku celananya berdering. Telepon dari kantor. Kubiarkan dia bicara, sedangkan aku duduk bersandar di meja dapur.

"Mas harus kembali ke kantor. Sepulang mas kerja, kita bicarakan lagi." Laki-laki ini menunduk hendak menciumku, tapi aku mengelak. Ini juga kali pertama aku menolaknya.

Setelah Mas Yoshi pergi. Aku bergegas ke lantai dua. Membereskan barang yang aku punya. Aku makin yakin kalau harus pergi. Kurasa apa yang dilakukan dengan mantan dan anaknya kurang lebih pasti seperti yang kulihat tadi. Bisa jadi lebih dari itu.

Hampir satu jam aku berkemas dan mengabaikan semua panggilannya. Bagaimana bisa aku membawa semua barang-barangku. Lalu, salahkah aku pergi diam-diam dari rumah suamiku?

Namun tetap tinggal hanya membuatku makin tak waras. Terbayang jelas bagaimana mereka terlihat sangat bahagia dan mesra. Itu yang sempat kulihat.

Untungnya hari ini, Mak Ijah belum bisa datang. Jadi tak akan ada yang tahu aku pergi dari rumah.

Beberapa barang sudah masuk mobil. Masih tersisa pakaian sedikit di lemari. Lain hari aku akan mengambilnya.

Kuambil ponsel dan menghubungi papa.

"Ada apa, Sa?" Terdengar suara papa. Hanya papa yang memanggilku Sasa. Gadis kecil kesayangannya.

"Pa, bisa carikan aku tempat tinggal?"

"Maksudnya?" Papa terkejut.

"Aku pergi dari rumah. Aku nggak ingin siapapun tahu di mana aku tinggal sekarang. Termasuk Mas Yoshi dan mama."

"Kamu ribut sama Yoshi."

Kuceritakan semua yang terjadi. Semua tanpa sisa. Tentu saja papa kaget, karena beliau mengira kami baik-baik saja.

"Jangan ninggalin suami begitu saja, Sa. Kita selesaikan permasalahan ini baik-baik."

"Aku sudah lelah disalahkan, Pa. Mama juga mengamuk nanti. Mama pasti akan menyalahkanku. Aku nggak mau ribut."

"Terus kalau kamu pergi. Bisa menyelesaikan masalah."

"Iya, ini keputusanku. Karena aku sudah mantap ingin bercerai. Aku capek, Pa." Aku menangis.

"Kamu di mana sekarang?"

"Aku sudah siap pergi dari rumah. Tinggal berangkat saja ini. Kalau papa nggak mau bantu, aku akan cari tempat sendiri."

"Temui papa di depan Hypermart dekat kantor."

"Iya, Pa."

Ini sebuah keputusan besar yang kuambil sendiri sepanjang hidupku. Tanpa melibatkan siapapun. Biasanya mama yang memutuskan semuanya. Aku hanya robot yang dikendalikan oleh remote control.

Sambil nyetir tanganku gemetar. Mata juga terasa pedih. Sampai usia dua puluh lima tahun, aku belum menemukan titik terang dalam hidupku. Apa yang terjadi setelah ini aku siap menghadapi, sendiri.

***L***

"Kamu sudah makan?" tanya papa sesaat setelah memelukku. Aku menangis sebentar dalam dekapnya.

"Belum."

"Kita makan dulu."

"Enggak, Pa. Aku nggak lapar." Padahal aku belum makan apapun sejak pagi.

"Makan dulu. Papa nggak akan bantu kamu kalau nggak mau makan."

Papa mengajakku masuk sebuah rumah makan Padang. Tempat yang paling dekat dengan Hypermart.

Sambil makan aku ceritakan semuanya.

"Aku ingin cerai, Pa."

"Jangan ambil keputusan selagi dalam keadaan emosi."

"Aku menahan semua ini sudah lama. Aku hanya cerita sama ibu dan Ruli. Itu pun nggak semuanya."

Berulang kali papa meneguk air putih. Menahan kesedihan supaya tidak tumpah menjadi air mata. Kulihat netranya sudah memerah.

"Papa, bisa kan bantu aku untuk proses perceraian ini. Aku sudah siap menghadapi amukan mama dan menerima statusku sebagai janda."

Papa mengangguk-angguk. Aku lega. Dari keluarga, ada yang berpihak padaku. Setelah ini aku akan mempersiapkan diri untuk memulai sesuatu yang baru. Aku akan melanjutkan rencana kursus.

"Papa akan nyariin tempat tinggal untukmu. Tapi untuk sementara kamu tinggal di hotel dulu sampai papa selesai mencari rumah yang aman buatmu."

"Rahasiakan ini dari siapapun, Pa. Hanya papa saja yang tahu. Aku juga nggak akan bawa mobil. Nanti kutinggal saja di kantor papa."

"Tapi kamu harus janji nggak akan bertindak macam-macam yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Apapun yang terjadi, papa selalu ada untukmu."

Aku mengangguk. Tidak akan aku bertindak sebodoh itu.

Selesai makan, papa mengantarku check in di sebuah hotel untuk tiga hari. Semua kebutuhanku dibelikannya di Hypermart tadi.

"Kamu hati-hati. Ada apapun kabari papa. Tentang kursus yang kamu bilang tadi, nanti saja dimulai setelah papa mendapatkan tempat tinggal untukmu."

"Makasih, Pa."

Papa pergi, aku di antarkan ke kamar oleh pekerja hotel.

Dari ketinggian ini aku bisa melihat kota Surabaya yang panas membara. Bulan Juli yang terik.

Tidak menyangka, hari ini hidupku berubah. Sejak membaca pesan Mbak Mayang tadi malam, aku memang sudah kepikiran untuk menguntit mereka dari dekat. Walaupun hanya mengoyak luka makin dalam. Tak mengapa, setidaknya aku tidak hanya menduga-duga saja. Aku melihat itu semua di depan mata.

* * *

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
dan inilah akhirnya batas kesabaran Natasya.. berpisah dari pada hidup di keluarga yg toxic
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
semoga benarĀ² pisah deh kalau suaminya masih ga berubah juga... kamu berharga Nas dan berhak bahagia
goodnovel comment avatar
Yelloe Duassatu
keputusan yg bagus pergi dari rumah biar gk selalu dibohongi sama suami dan mulai kursus masak biar bisa membuktikan sama mamahmu kamu.juga bisa sukses dg membuka usaha resto atau apapun sesuai bakat yg kamu punya....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status