"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu."
"Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya."Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab."Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu."Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hampir nggak pernah bertemu. Bicara di telepon pun nggak pernah, Mas. Dia tahu apa tentang aku.""Dia masih anak-anak, Nas.""Ya, dia seharusnya sangat polos. Dia masih berumur tiga tahun saat kita menikah. Aku juga nggak ngrebut mas dari mamanya. Aku juga manut saat mas nggak ingin mempertemukan aku dengannya. Tapi dia bisa bicara seperti itu, siapa yang ngajarin?""Kamu menuduh Mayang? Bahkan dia sangat baik padamu, kan? Mayang nggak mungkin melakukan hal itu?"Mendengar kalimat yang serupa pembelaan ini rasanya makin sakit. Air mata meleleh bak anak sungai di pipi. Aku merasa makin sendiri. Tak ada lagi yang menyayangiku dengan ikhlas dan tulus. Bahkan suamiku sendiri.Mas Yoshi bangkit menghampiriku. Namun aku berdiri dan menjauh. Rasa cinta yang selama ini meluluhkan segalanya hingga membuatku bertahan puluhan purnama, kini tertindas oleh rasa sakit yang menyayat dada. Dia membela anaknya masih bisa kumaklumi, tapi saat dia membela mantannya, aku tak akan terima.Aku tidak butuh lagi rengkuhannya yang menenangkanku seperti biasa.Saat ia hendak mendekat lagi, ponsel di saku celananya berdering. Telepon dari kantor. Kubiarkan dia bicara, sedangkan aku duduk bersandar di meja dapur."Mas harus kembali ke kantor. Sepulang mas kerja, kita bicarakan lagi." Laki-laki ini menunduk hendak menciumku, tapi aku mengelak. Ini juga kali pertama aku menolaknya.Setelah Mas Yoshi pergi. Aku bergegas ke lantai dua. Membereskan barang yang aku punya. Aku makin yakin kalau harus pergi. Kurasa apa yang dilakukan dengan mantan dan anaknya kurang lebih pasti seperti yang kulihat tadi. Bisa jadi lebih dari itu.Hampir satu jam aku berkemas dan mengabaikan semua panggilannya. Bagaimana bisa aku membawa semua barang-barangku. Lalu, salahkah aku pergi diam-diam dari rumah suamiku?Namun tetap tinggal hanya membuatku makin tak waras. Terbayang jelas bagaimana mereka terlihat sangat bahagia dan mesra. Itu yang sempat kulihat.Untungnya hari ini, Mak Ijah belum bisa datang. Jadi tak akan ada yang tahu aku pergi dari rumah.Beberapa barang sudah masuk mobil. Masih tersisa pakaian sedikit di lemari. Lain hari aku akan mengambilnya.Kuambil ponsel dan menghubungi papa."Ada apa, Sa?" Terdengar suara papa. Hanya papa yang memanggilku Sasa. Gadis kecil kesayangannya."Pa, bisa carikan aku tempat tinggal?""Maksudnya?" Papa terkejut."Aku pergi dari rumah. Aku nggak ingin siapapun tahu di mana aku tinggal sekarang. Termasuk Mas Yoshi dan mama.""Kamu ribut sama Yoshi."Kuceritakan semua yang terjadi. Semua tanpa sisa. Tentu saja papa kaget, karena beliau mengira kami baik-baik saja."Jangan ninggalin suami begitu saja, Sa. Kita selesaikan permasalahan ini baik-baik.""Aku sudah lelah disalahkan, Pa. Mama juga mengamuk nanti. Mama pasti akan menyalahkanku. Aku nggak mau ribut.""Terus kalau kamu pergi. Bisa menyelesaikan masalah.""Iya, ini keputusanku. Karena aku sudah mantap ingin bercerai. Aku capek, Pa." Aku menangis."Kamu di mana sekarang?""Aku sudah siap pergi dari rumah. Tinggal berangkat saja ini. Kalau papa nggak mau bantu, aku akan cari tempat sendiri.""Temui papa di depan Hypermart dekat kantor.""Iya, Pa."Ini sebuah keputusan besar yang kuambil sendiri sepanjang hidupku. Tanpa melibatkan siapapun. Biasanya mama yang memutuskan semuanya. Aku hanya robot yang dikendalikan oleh remote control.Sambil nyetir tanganku gemetar. Mata juga terasa pedih. Sampai usia dua puluh lima tahun, aku belum menemukan titik terang dalam hidupku. Apa yang terjadi setelah ini aku siap menghadapi, sendiri.***L***"Kamu sudah makan?" tanya papa sesaat setelah memelukku. Aku menangis sebentar dalam dekapnya."Belum.""Kita makan dulu.""Enggak, Pa. Aku nggak lapar." Padahal aku belum makan apapun sejak pagi."Makan dulu. Papa nggak akan bantu kamu kalau nggak mau makan."Papa mengajakku masuk sebuah rumah makan Padang. Tempat yang paling dekat dengan Hypermart.Sambil makan aku ceritakan semuanya."Aku ingin cerai, Pa.""Jangan ambil keputusan selagi dalam keadaan emosi.""Aku menahan semua ini sudah lama. Aku hanya cerita sama ibu dan Ruli. Itu pun nggak semuanya."Berulang kali papa meneguk air putih. Menahan kesedihan supaya tidak tumpah menjadi air mata. Kulihat netranya sudah memerah."Papa, bisa kan bantu aku untuk proses perceraian ini. Aku sudah siap menghadapi amukan mama dan menerima statusku sebagai janda."Papa mengangguk-angguk. Aku lega. Dari keluarga, ada yang berpihak padaku. Setelah ini aku akan mempersiapkan diri untuk memulai sesuatu yang baru. Aku akan melanjutkan rencana kursus."Papa akan nyariin tempat tinggal untukmu. Tapi untuk sementara kamu tinggal di hotel dulu sampai papa selesai mencari rumah yang aman buatmu.""Rahasiakan ini dari siapapun, Pa. Hanya papa saja yang tahu. Aku juga nggak akan bawa mobil. Nanti kutinggal saja di kantor papa.""Tapi kamu harus janji nggak akan bertindak macam-macam yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Apapun yang terjadi, papa selalu ada untukmu."Aku mengangguk. Tidak akan aku bertindak sebodoh itu.Selesai makan, papa mengantarku check in di sebuah hotel untuk tiga hari. Semua kebutuhanku dibelikannya di Hypermart tadi."Kamu hati-hati. Ada apapun kabari papa. Tentang kursus yang kamu bilang tadi, nanti saja dimulai setelah papa mendapatkan tempat tinggal untukmu.""Makasih, Pa."Papa pergi, aku di antarkan ke kamar oleh pekerja hotel.Dari ketinggian ini aku bisa melihat kota Surabaya yang panas membara. Bulan Juli yang terik.Tidak menyangka, hari ini hidupku berubah. Sejak membaca pesan Mbak Mayang tadi malam, aku memang sudah kepikiran untuk menguntit mereka dari dekat. Walaupun hanya mengoyak luka makin dalam. Tak mengapa, setidaknya aku tidak hanya menduga-duga saja. Aku melihat itu semua di depan mata.* * *(Bukan) Istri Pilihan - Surprise Ada telepon masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Kujangkau benda pipih yang berpendar di atas tempat tidur."Halo, Pa.""Papa sudah transfer uang ke rekeningmu.""Iya. Sebenarnya aku masih punya uang, Pa." Sebab Mas Yoshi selalu tepat waktu memberikan uang tiap bulannya. "Nggak apa-apa. Papa sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu. Ada dua pilihan. Di apartemen atau perumahan? Papa lebih setuju kalau kamu tinggal di apartemen. Di sana lebih aman, Sa.""Aku ikut saja pilihan, Papa.""Oke. Nanti papa kabari lagi kalau sudah beres dan kamu bisa pindah. Yoshi ada menghubungimu?""Mengirimkan pesan, tapi nggak kubuka. Jam segini dia belum pulang dari kantor."Terdengar papa menghela nafas panjang di seberang."Ya sudah. Kalau ada apa-apa kabari papa.""Iya."Setelah menutup telepon aku segera Salat Asar. Usai salat aku menyibak gorden jendela.Dari balik jendela kaca, aku menatap langit barat yang merona keemasan. Tampak matahari terlihat indah, bula
Yoshi menelepon Pak Bastian. Namun tidak dijawab juga. Ingin menelpon Ruli, Yoshi juga tidak tahu nomernya. Dia mana peduli dengan teman istrinya. Namun saat masih bersama Mayang, dia kenal beberapa teman sosialita wanita itu. Bahkan mereka sering mengadakan acara kumpul bersama dengan mengajak pasangan masing-masing. Circle pertemanan Mayang dan Anastasya jauh berbeda.Setelah diam beberapa saat, Yoshi melangkah keluar kamar. Mengambil kunci mobil kemudian pergi ke rumah Bu Eri. Wanita yang paling dekat dengan Anastasya.Bu Eri dan Fauzi kaget dengan kedatangan Yoshi yang tengah mencari istrinya. "Anas nggak datang ke sini, Nak Yoshi," kata Bu Eri. Wanita itu tidak bilang kalau tadi siang, Anastasya sempat meneleponnya. Ia juga ingat apa yang diomongkan tadi, kalau Anastasya ingin bercerai. Berarti permasalahan mereka memang sudah fatal sampai Anastasya pergi dari rumah.Fauzi juga tidak mengatakan kalau sore tadi sempat berkomunikasi dengan adik tirinya untuk membahas tentang kursu
(Bukan) Istri Pilihan - Harga Diri "Apa maksudnya?" Mas Yoshi menegakkan duduknya dan wajahnya mulai tegang."Saya ingin bercerai, Pak. Karena suami saya sepertinya ingin balikan dengan mantannya. Mungkin dia menyesal telah menikahi saya. Karena mantan istrinya jauh lebih sempurna. Dia kelihatan lebih nyaman dengan mantan. Mereka juga punya anak, sedangkan dengan saya tidak ada anak. Pernahlah. Lagian saya ini bukan ibu tiri yang baik."Aku berhenti sebentar. Menarik napas panjang untuk melonggarkan tenggorokan. Semalaman aku tak bisa tidur demi memikirkan apa yang ingin kukatakan hari ini."Apa-apaan, Nastasya.""Bapak, jangan menyela dulu. Biar bapak tahu alasan apa yang membuat saya menggugat cerai. Saya sudah cukup lama hanya diam dan mengalah. Lama-lama saya hanya sebagai tempat persinggahan saja. Tempat pelarian disaat dia sedang patah hati. Sekarang hubungan mantan itu membaik, mantan istrinya juga perempuan baik-baik tentunya. Mereka juga memiliki putri yang cantik dan shole
"Aku tahu kok, Mas menyesal bercerai dengan Mbak Mayang. Ternyata dia nggak berselingkuh. Kalau kalian masih saling mencintai, aku ikhlas kok, Mas. Urus saja perceraian kita dengan cepat. Mas, bisa balikan lagi dan menebus rasa bersalah."Kenapa aku nggak cari pengacara lain? Karena aku ingin Mas sendiri yang menyelesaikan urusan kita. Biar nggak diketahui orang lain. Biar mereka tahunya setelah kita sah bercerai. Jangan bawa aku pulang. Aku nggak ingin pulang. Aku sudah pergi dari sana, aku nggak akan kembali."Pada saat itu ponsel Mas Yoshi yang ada di cup holder berdering. Jelas kulihat kalau nama Mbak Mayang tertera di sana. Untuk apa jam kerja begini dia menelepon. Apa urusan anak lagi? Memang perlu bertanggungjawab pada anak-anak meski sudah bercerai. Tapi apa harus sejauh ini. Apa perempuan itu tidak tahu bagaimana menjaga perasaan pasangan mantannya. Dia perempuan terpelajar, loh."Mas, turunkan aku di depan saja."Mas Yoshi tidak menanggapi. Mobil terus melaju di kepadatan l
(Bukan) Istri Pilihan- Bangkit, Nastasya Author's POV"Papa, sembunyikan di mana Nastasya? Bisa-bisanya Papa mendukung dia untuk cerai?" Bu Mega sewot malam itu. Sepulangnya sang suami dari mengantarkan Anastasya."Papa nggak nyembunyiin Sasa. Dia nggak melakukan salah apa-apa kenapa harus disembunyikan. Kayak residivis saja. Sasa hanya butuh tempat untuk berlindung dan menenangkan diri.""Pantesan dia besar kepala karena Papa mendukungnya. Papa, memfasilitasi Nastasya menggugat cerai Yoshi, kan?"Pak Bastian menarik napas dalam-dalam. Tiga puluh dua tahun ia menikahi Bu Mega. Luar dalam semuanya dia sangat paham. Kalau ada reward untuk suami paling sabar. Dia lah yang akan memegang pialanya sepanjang zaman.Siapapun yang paham bagaimana rumah tangga mereka, mengatakan Pak Bastian lelaki paling nerimo dan sabar. Kalau lelaki lain, Bu Mega pasti sudah ditinggalkan sejak dulu. Kurang sabar apa dia sebagai suami. Malah ada yang bilang, Pak Bastian ini type suami yang berada di bawah ke
Iseng aku membuka akun media sosial yang kubuat dengan nama samaran. Dan ... wow, ini membuatku terkejut. Ternyata postingan cup cake waktu itu mendapatkan respon yang luar biasa. Bahkan follower-ku naik drastis. MasyaAllah. Berbagai komentar positif memenuhi postingan. Banyak yang memuji karena sebagai orang yang belajar secara otodidak, aku bisa membuat karya yang lumayan.Begini saja sudah sangat membahagiakan. Aku kembali bangkit dan menuju pantry. Menyiapkan masakanku tadi untuk kufoto. Setelah mengganti wadah yang lebih bagus, aku mengambil gambar dari segala sisi sampai aku merasa puas dan sempurna. Kembali ku-upload foto masakan itu. Sekarang aku tahu caranya untuk bahagia. Aku tersenyum, lantas masuk kamar. Persiapan untuk mandi, agar aku tidak terlewat untuk melihat sunset di balkon apartemen sore ini. Sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaanku sehari-hari.Ketika tengah wudhu setelah selesai mandi, aku baru ingat. Sejauh ini aku belum absen salat. Kenapa aku tidak menstrua
(Bukan) Istri Pilihan - Morning Sickness Anastasya's POV Kenapa dia mau menundanya. Bukankah lebih cepat selesai, lebih baik. Apa yang Mas Yoshi inginkan sebenarnya?Apa dia mendapatkan tekanan dari orang tuanya yang merupakan teman terbaiknya mama, agar tidak bercerai. Ah, mereka tahu apa tentang pernikahan ini. Dari luar tampak baik-baik saja, tapi mereka tidak tahu bagaimana aku menahan ini sekian lama.Kadang lihat pasangan tersenyum pada teman perempuannya saja sudah membuat hati terasa tercubit. Lalu bagaimana denganku. Meski semuanya karena alasan anak. Apa yang mereka lakukan bukan kategori perselingkuhan? Apa aku kurang sabar, kurang pengertian? Okelah, mungkin mereka menganggapku memang seperti itu. Tapi aku tahu sampai mana kekuatanku. Lihatlah tanpa batasan waktu, mereka dengan leluasa saling berkomunikasi. Terus apa aku harus tetap diam, seolah tidak punya harga diri."Hei, kok melamun?" tegur ibu yang membuatku kaget."Apa alasannya dia menunda sidang, Bu?""Mungkin
Tak terasa air mataku menetes. Rumitnya hidupku. Aku tidak bisa membenci papa yang telah menduakan mama, tapi aku juga tidak bisa membenci ibu yang telah menjadi wanita kedua. Bu Eri yang selalu ada untukku selama ini. Beliau sangat tulus.Di duakan. Empat tahun ini aku merasakan itu semua. Aku diberi nafkah lahir batin, tapi hanya sekedar pemenuhan tanggungjawab Mas Yoshi pada seorang istri. Sakit bukan? Apa ini yang juga dilakukan papa pada mama?"Kamu baikin simpanan papamu, apa kamu nggak tahu bagaimana sakitnya hati mama kandungmu sendiri?" teriak mama suatu hari.Ingin rasanya kujawab. "Kenapa Mama bertanya seperti itu? Apa Mama juga tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang selalu disisihkan." Namun kalimat itu hanya menyekat di tenggorokan. Meski separah apapun dia memakiku, aku tidak pernah balik menjawab. Disaat seorang laki-laki tidak mampu menunjukkan jati dirinya dihadapan istri sendiri, tidak punya kuasa membuat keputusan, lalu apa bisa disebut masih memiliki harga diri?