Share

Part 9 Keputusan Besar 1

(Bukan) Istri Pilihan

- Keputusan Besar

Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.

Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.

Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.

Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari.

Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini.

Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Kemudian dia bercanda riang dengan putrinya.

Sedangkan aku di sini menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaan. Tidak ada seorang istri yang tak sakit hati melihat semua ini. Kenapa mereka tega padaku.

Aku tengah berjuang mengendalikan perasaan. Mengumpulkan kekuatan untuk muncul di depan mereka. Bukankah ini satu kesempatan? Lain waktu belum tentu aku bisa memergoki mereka seperti ini lagi. Aku ingin mencari keyakinan diri, bahwa sebenarnya aku tidak ada artinya apa-apa dihati suamiku.

Tepat disaat baru memulai makan, aku muncul dan mengangetkan mereka. Kupasang senyum seramah mungkin, meski dadaku terasa bergemuruh dan campur aduk.

"Nastasya." Mas Yoshi meletakkan sendoknya.

Mbak Mayang sangat terkejut. Ayunda yang masih kelihatan pucat juga memandangku.

"Apa kabar, Mbak Mayang?" Aku menyalaminya.

Perempuan yang tengah kaget itu menyambut uluran tanganku tanpa menjawab sapaan. Wajahnya tampak kebingungan. Mas Yoshi panik dan si kecil menatapku serius. "Tante, jahat," teriaknya. Aku sampe kaget. Siapa yang mengajari dia berkata seperti itu. Kejahatan apa yang aku lakukan padanya? Kami tidak pernah bertemu hingga melewati batas satu jam. Dia juga belum paham kenapa orang tuanya bercerai. Aku menikah dengan papanya saat Mas Yoshi sudah berstatus duda dan Ayunda baru berumur tiga tahun.

"Ayun, nggak boleh ngomong seperti itu," tegur Mas Yoshi. Yang membuat gadis kecilnya tambah cemberut.

"Dia Tante jahat, Pa."

Dua kali bicara seperti itu, Mbak Mayang hanya diam.

"Padahal kita nggak pernah ngobrol loh, Ayun. Juga nggak pernah bertemu, kan," ucapku sambil menatapnya dengan lembut.

"Maafkan Ayun. Ayo, duduk sini!" ucap Mas Yoshi mempersilakan aku untuk duduk. Aku tahu dia serba salah dan masih terkejut kenapa aku tiba-tiba muncul di sana. Tentu tidak menyangka, bukan?

"Nggak perlu, Mas. Aku nggak akan ganggu kalian. Selamat menikmati hidangan." Selesai bicara aku melangkah pergi dengan perasaan kian tercabik.

"Nastasya!" panggilnya seraya berdiri dan mengejarku.

Aku menuruni eskalator yang tengah berjalan.

"Nas," panggilnya lagi. Dan aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuperhatikan pengunjung di bawah sana yang mulai ramai. Ada beberapa yang memandangi kami.

"Sayang." Dia meraih tanganku.

"PAPA!" teriak Ayunda dari atas. Gadis kecil itu berdiri di pembatas koridor.

"Kembalilah ke sana, Mas. Kehilanganku nggak akan sesakit kehilangan mereka." Kulepaskan cekalan tangannya dan aku melangkah cepat pergi dari sana.

Kebetulan lift tengah terbuka dan aku segera masuk bergabung dengan beberapa pengunjung.

Tergesa aku melangkah ke arah taksi yang masih menungguku. Air mata sudah tumpah saat itu. "Kita pergi, Pak. Antarkan saya pulang ke alamat tadi," suaraku serak.

"Njih, Neng."

Meski penasaran dan iba, bapak itu tetap diam saja. Sementara aku sibuk menyeka air mata. Dan membiarkan ponsel di tas terus berdering.

Ya Allah, ujian apalagi yang aku terima ini. Kupikir Mas Yoshi bisa menjadi tempat ternyamanku setelah tidak pernah kudapatkan itu di rumah besar mama. Kupikir dia mencintai dengan tulus. Tapi ternyata aku salah. Dia orang yang menorehkan luka berbeda.

Bagaimana jika aku bercerai saja? Mengingat satu kata itu membuatku merinding. Aku takut sekali. Pernikahan yang ku gadang-gadang indah, apa mungkin akan berakhir dengan perpisahan? Semakin aku berteriak dalam batin, aku semakin yakin. Pergi adalah jalan terbaik. Selama ini aku sudah membiarkan diriku seperti tak berguna di mata mama dan saudaraku, apa mungkin aku akan membiarkan diriku tak berharga di hadapan suami?

Taksi berhenti di depan rumah. Kukeluarkan beberapa lembar uang, tentu saja melebihi apa yang harus kubayar. "Makasih ya, Pak."

"Kok banyak amat, Neng?" Lelaki itu menunjukkan uang yang kuberikan.

"Nggak apa-apa, Pak. Makasih banyak karena Bapak sudah menunggu saya tadi."

"Sama-sama, Neng. Semoga kalian baik-baik saja."

Aku tersenyum getir mendengar doanya. Kemudian kubuka pintu taksi. Di sambut oleh teriknya sinar matahari musim kemarau ini.

Setengah jam setelah aku sampai rumah, Mas Yoshi tidak menyusul. Yah, aku akhirnya mengerti, siapa yang lebih penting baginya. Aku sudah terbiasa tidak diutamakan, jadi sakit ini masih bisa kukendalikan. Apapun yang terjadi aku tidak akan mengamuk. Sejak kecil aku sudah merasakan bagaimana diatur dan dinomor sekian-kan. Meski sakitnya ini sungguh berbeda. Sekarang aku tidak dibedakan, tapi sedang dikhianati.

Aku mengetik pesan pada Mas Fauzi. Tak mungkin aku telepon, karena dia sedang bekerja.

[Mas Fauzi, aku serius dengan kursus itu. Kalau ada akademi baker aku juga mau. Aku tunggu kabarmu, Mas. Jangan lama-lama ya. Aku ingin segera memulainya.]

Terkirim, tapi belum dibaca. Mungkin dia masih sibuk. Kemudian aku ganti menelepon ibu. Hanya beliau dan Ruli yang teringat dalam benak saat aku hancur seperti ini.

"Assalamu'alaikum, Cantik."

Aku masih seperti anak kecil dihadapan ibu jika ia memanggilku begitu.

"Wa'alaikumsalam, Bu. Aku ganggu, nggak?"

"Enggak. Ibu baru selesai masak dan salat Dhuha."

"Rajinnya ibu. Doain aku nggak?"

"Pastilah, kamu anak ibu yang paling cantik."

Aku tersenyum getir.

"Bu."

"Ada apa?"

"Aku ingin bercerai."

"K-kamu serius?" Beliau kaget.

"Iya. Jangan beritahukan hal ini ke papa sekarang. Nanti saja biar aku sendiri yang ngomong."

"Kamu sudah memikirkan secara matang, Nak?"

"Sudah, Bu." Aku ceritakan apa yang terjadi pagi ini. Aku juga bilang akan mempersiapkan surat untuk mengajukan perceraian. Dari internet, aku bisa mencari tahu apa saja yang dibutuhkan.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mungkin terkesan klise klo alasan bercerai Natasya karena cemburu sama Ayun. tapi wajar toh Ayun juga bersikap seperti itu sama dia. harusnya Mayang mengajarinya sopan santun.
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
emang harus diberikan pelajarqn nih suami begitu.. kalau masih cinta sama masa lalu kenapa harus mulai lembaran baru dengan orang baru
goodnovel comment avatar
margiatty 123
akhir nya karya mbak Lis sudah up d sini........️...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status