(Bukan) Istri Pilihan
- Keputusan BesarAku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari.Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini.Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Kemudian dia bercanda riang dengan putrinya.Sedangkan aku di sini menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaan. Tidak ada seorang istri yang tak sakit hati melihat semua ini. Kenapa mereka tega padaku.Aku tengah berjuang mengendalikan perasaan. Mengumpulkan kekuatan untuk muncul di depan mereka. Bukankah ini satu kesempatan? Lain waktu belum tentu aku bisa memergoki mereka seperti ini lagi. Aku ingin mencari keyakinan diri, bahwa sebenarnya aku tidak ada artinya apa-apa dihati suamiku.Tepat disaat baru memulai makan, aku muncul dan mengangetkan mereka. Kupasang senyum seramah mungkin, meski dadaku terasa bergemuruh dan campur aduk."Nastasya." Mas Yoshi meletakkan sendoknya.Mbak Mayang sangat terkejut. Ayunda yang masih kelihatan pucat juga memandangku."Apa kabar, Mbak Mayang?" Aku menyalaminya.Perempuan yang tengah kaget itu menyambut uluran tanganku tanpa menjawab sapaan. Wajahnya tampak kebingungan. Mas Yoshi panik dan si kecil menatapku serius. "Tante, jahat," teriaknya. Aku sampe kaget. Siapa yang mengajari dia berkata seperti itu. Kejahatan apa yang aku lakukan padanya? Kami tidak pernah bertemu hingga melewati batas satu jam. Dia juga belum paham kenapa orang tuanya bercerai. Aku menikah dengan papanya saat Mas Yoshi sudah berstatus duda dan Ayunda baru berumur tiga tahun."Ayun, nggak boleh ngomong seperti itu," tegur Mas Yoshi. Yang membuat gadis kecilnya tambah cemberut."Dia Tante jahat, Pa."Dua kali bicara seperti itu, Mbak Mayang hanya diam."Padahal kita nggak pernah ngobrol loh, Ayun. Juga nggak pernah bertemu, kan," ucapku sambil menatapnya dengan lembut."Maafkan Ayun. Ayo, duduk sini!" ucap Mas Yoshi mempersilakan aku untuk duduk. Aku tahu dia serba salah dan masih terkejut kenapa aku tiba-tiba muncul di sana. Tentu tidak menyangka, bukan?"Nggak perlu, Mas. Aku nggak akan ganggu kalian. Selamat menikmati hidangan." Selesai bicara aku melangkah pergi dengan perasaan kian tercabik."Nastasya!" panggilnya seraya berdiri dan mengejarku.Aku menuruni eskalator yang tengah berjalan."Nas," panggilnya lagi. Dan aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuperhatikan pengunjung di bawah sana yang mulai ramai. Ada beberapa yang memandangi kami."Sayang." Dia meraih tanganku."PAPA!" teriak Ayunda dari atas. Gadis kecil itu berdiri di pembatas koridor."Kembalilah ke sana, Mas. Kehilanganku nggak akan sesakit kehilangan mereka." Kulepaskan cekalan tangannya dan aku melangkah cepat pergi dari sana.Kebetulan lift tengah terbuka dan aku segera masuk bergabung dengan beberapa pengunjung.Tergesa aku melangkah ke arah taksi yang masih menungguku. Air mata sudah tumpah saat itu. "Kita pergi, Pak. Antarkan saya pulang ke alamat tadi," suaraku serak."Njih, Neng."Meski penasaran dan iba, bapak itu tetap diam saja. Sementara aku sibuk menyeka air mata. Dan membiarkan ponsel di tas terus berdering.Ya Allah, ujian apalagi yang aku terima ini. Kupikir Mas Yoshi bisa menjadi tempat ternyamanku setelah tidak pernah kudapatkan itu di rumah besar mama. Kupikir dia mencintai dengan tulus. Tapi ternyata aku salah. Dia orang yang menorehkan luka berbeda.Bagaimana jika aku bercerai saja? Mengingat satu kata itu membuatku merinding. Aku takut sekali. Pernikahan yang ku gadang-gadang indah, apa mungkin akan berakhir dengan perpisahan? Semakin aku berteriak dalam batin, aku semakin yakin. Pergi adalah jalan terbaik. Selama ini aku sudah membiarkan diriku seperti tak berguna di mata mama dan saudaraku, apa mungkin aku akan membiarkan diriku tak berharga di hadapan suami?Taksi berhenti di depan rumah. Kukeluarkan beberapa lembar uang, tentu saja melebihi apa yang harus kubayar. "Makasih ya, Pak.""Kok banyak amat, Neng?" Lelaki itu menunjukkan uang yang kuberikan."Nggak apa-apa, Pak. Makasih banyak karena Bapak sudah menunggu saya tadi.""Sama-sama, Neng. Semoga kalian baik-baik saja."Aku tersenyum getir mendengar doanya. Kemudian kubuka pintu taksi. Di sambut oleh teriknya sinar matahari musim kemarau ini.Setengah jam setelah aku sampai rumah, Mas Yoshi tidak menyusul. Yah, aku akhirnya mengerti, siapa yang lebih penting baginya. Aku sudah terbiasa tidak diutamakan, jadi sakit ini masih bisa kukendalikan. Apapun yang terjadi aku tidak akan mengamuk. Sejak kecil aku sudah merasakan bagaimana diatur dan dinomor sekian-kan. Meski sakitnya ini sungguh berbeda. Sekarang aku tidak dibedakan, tapi sedang dikhianati.Aku mengetik pesan pada Mas Fauzi. Tak mungkin aku telepon, karena dia sedang bekerja.[Mas Fauzi, aku serius dengan kursus itu. Kalau ada akademi baker aku juga mau. Aku tunggu kabarmu, Mas. Jangan lama-lama ya. Aku ingin segera memulainya.]Terkirim, tapi belum dibaca. Mungkin dia masih sibuk. Kemudian aku ganti menelepon ibu. Hanya beliau dan Ruli yang teringat dalam benak saat aku hancur seperti ini."Assalamu'alaikum, Cantik."Aku masih seperti anak kecil dihadapan ibu jika ia memanggilku begitu."Wa'alaikumsalam, Bu. Aku ganggu, nggak?""Enggak. Ibu baru selesai masak dan salat Dhuha.""Rajinnya ibu. Doain aku nggak?""Pastilah, kamu anak ibu yang paling cantik."Aku tersenyum getir."Bu.""Ada apa?""Aku ingin bercerai.""K-kamu serius?" Beliau kaget."Iya. Jangan beritahukan hal ini ke papa sekarang. Nanti saja biar aku sendiri yang ngomong.""Kamu sudah memikirkan secara matang, Nak?""Sudah, Bu." Aku ceritakan apa yang terjadi pagi ini. Aku juga bilang akan mempersiapkan surat untuk mengajukan perceraian. Dari internet, aku bisa mencari tahu apa saja yang dibutuhkan."Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu.""Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya. "Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab. "Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu. "Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hamp
(Bukan) Istri Pilihan - Surprise Ada telepon masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Kujangkau benda pipih yang berpendar di atas tempat tidur."Halo, Pa.""Papa sudah transfer uang ke rekeningmu.""Iya. Sebenarnya aku masih punya uang, Pa." Sebab Mas Yoshi selalu tepat waktu memberikan uang tiap bulannya. "Nggak apa-apa. Papa sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu. Ada dua pilihan. Di apartemen atau perumahan? Papa lebih setuju kalau kamu tinggal di apartemen. Di sana lebih aman, Sa.""Aku ikut saja pilihan, Papa.""Oke. Nanti papa kabari lagi kalau sudah beres dan kamu bisa pindah. Yoshi ada menghubungimu?""Mengirimkan pesan, tapi nggak kubuka. Jam segini dia belum pulang dari kantor."Terdengar papa menghela nafas panjang di seberang."Ya sudah. Kalau ada apa-apa kabari papa.""Iya."Setelah menutup telepon aku segera Salat Asar. Usai salat aku menyibak gorden jendela.Dari balik jendela kaca, aku menatap langit barat yang merona keemasan. Tampak matahari terlihat indah, bula
Yoshi menelepon Pak Bastian. Namun tidak dijawab juga. Ingin menelpon Ruli, Yoshi juga tidak tahu nomernya. Dia mana peduli dengan teman istrinya. Namun saat masih bersama Mayang, dia kenal beberapa teman sosialita wanita itu. Bahkan mereka sering mengadakan acara kumpul bersama dengan mengajak pasangan masing-masing. Circle pertemanan Mayang dan Anastasya jauh berbeda.Setelah diam beberapa saat, Yoshi melangkah keluar kamar. Mengambil kunci mobil kemudian pergi ke rumah Bu Eri. Wanita yang paling dekat dengan Anastasya.Bu Eri dan Fauzi kaget dengan kedatangan Yoshi yang tengah mencari istrinya. "Anas nggak datang ke sini, Nak Yoshi," kata Bu Eri. Wanita itu tidak bilang kalau tadi siang, Anastasya sempat meneleponnya. Ia juga ingat apa yang diomongkan tadi, kalau Anastasya ingin bercerai. Berarti permasalahan mereka memang sudah fatal sampai Anastasya pergi dari rumah.Fauzi juga tidak mengatakan kalau sore tadi sempat berkomunikasi dengan adik tirinya untuk membahas tentang kursu
(Bukan) Istri Pilihan - Harga Diri "Apa maksudnya?" Mas Yoshi menegakkan duduknya dan wajahnya mulai tegang."Saya ingin bercerai, Pak. Karena suami saya sepertinya ingin balikan dengan mantannya. Mungkin dia menyesal telah menikahi saya. Karena mantan istrinya jauh lebih sempurna. Dia kelihatan lebih nyaman dengan mantan. Mereka juga punya anak, sedangkan dengan saya tidak ada anak. Pernahlah. Lagian saya ini bukan ibu tiri yang baik."Aku berhenti sebentar. Menarik napas panjang untuk melonggarkan tenggorokan. Semalaman aku tak bisa tidur demi memikirkan apa yang ingin kukatakan hari ini."Apa-apaan, Nastasya.""Bapak, jangan menyela dulu. Biar bapak tahu alasan apa yang membuat saya menggugat cerai. Saya sudah cukup lama hanya diam dan mengalah. Lama-lama saya hanya sebagai tempat persinggahan saja. Tempat pelarian disaat dia sedang patah hati. Sekarang hubungan mantan itu membaik, mantan istrinya juga perempuan baik-baik tentunya. Mereka juga memiliki putri yang cantik dan shole
"Aku tahu kok, Mas menyesal bercerai dengan Mbak Mayang. Ternyata dia nggak berselingkuh. Kalau kalian masih saling mencintai, aku ikhlas kok, Mas. Urus saja perceraian kita dengan cepat. Mas, bisa balikan lagi dan menebus rasa bersalah."Kenapa aku nggak cari pengacara lain? Karena aku ingin Mas sendiri yang menyelesaikan urusan kita. Biar nggak diketahui orang lain. Biar mereka tahunya setelah kita sah bercerai. Jangan bawa aku pulang. Aku nggak ingin pulang. Aku sudah pergi dari sana, aku nggak akan kembali."Pada saat itu ponsel Mas Yoshi yang ada di cup holder berdering. Jelas kulihat kalau nama Mbak Mayang tertera di sana. Untuk apa jam kerja begini dia menelepon. Apa urusan anak lagi? Memang perlu bertanggungjawab pada anak-anak meski sudah bercerai. Tapi apa harus sejauh ini. Apa perempuan itu tidak tahu bagaimana menjaga perasaan pasangan mantannya. Dia perempuan terpelajar, loh."Mas, turunkan aku di depan saja."Mas Yoshi tidak menanggapi. Mobil terus melaju di kepadatan l
(Bukan) Istri Pilihan- Bangkit, Nastasya Author's POV"Papa, sembunyikan di mana Nastasya? Bisa-bisanya Papa mendukung dia untuk cerai?" Bu Mega sewot malam itu. Sepulangnya sang suami dari mengantarkan Anastasya."Papa nggak nyembunyiin Sasa. Dia nggak melakukan salah apa-apa kenapa harus disembunyikan. Kayak residivis saja. Sasa hanya butuh tempat untuk berlindung dan menenangkan diri.""Pantesan dia besar kepala karena Papa mendukungnya. Papa, memfasilitasi Nastasya menggugat cerai Yoshi, kan?"Pak Bastian menarik napas dalam-dalam. Tiga puluh dua tahun ia menikahi Bu Mega. Luar dalam semuanya dia sangat paham. Kalau ada reward untuk suami paling sabar. Dia lah yang akan memegang pialanya sepanjang zaman.Siapapun yang paham bagaimana rumah tangga mereka, mengatakan Pak Bastian lelaki paling nerimo dan sabar. Kalau lelaki lain, Bu Mega pasti sudah ditinggalkan sejak dulu. Kurang sabar apa dia sebagai suami. Malah ada yang bilang, Pak Bastian ini type suami yang berada di bawah ke
Iseng aku membuka akun media sosial yang kubuat dengan nama samaran. Dan ... wow, ini membuatku terkejut. Ternyata postingan cup cake waktu itu mendapatkan respon yang luar biasa. Bahkan follower-ku naik drastis. MasyaAllah. Berbagai komentar positif memenuhi postingan. Banyak yang memuji karena sebagai orang yang belajar secara otodidak, aku bisa membuat karya yang lumayan.Begini saja sudah sangat membahagiakan. Aku kembali bangkit dan menuju pantry. Menyiapkan masakanku tadi untuk kufoto. Setelah mengganti wadah yang lebih bagus, aku mengambil gambar dari segala sisi sampai aku merasa puas dan sempurna. Kembali ku-upload foto masakan itu. Sekarang aku tahu caranya untuk bahagia. Aku tersenyum, lantas masuk kamar. Persiapan untuk mandi, agar aku tidak terlewat untuk melihat sunset di balkon apartemen sore ini. Sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaanku sehari-hari.Ketika tengah wudhu setelah selesai mandi, aku baru ingat. Sejauh ini aku belum absen salat. Kenapa aku tidak menstrua
(Bukan) Istri Pilihan - Morning Sickness Anastasya's POV Kenapa dia mau menundanya. Bukankah lebih cepat selesai, lebih baik. Apa yang Mas Yoshi inginkan sebenarnya?Apa dia mendapatkan tekanan dari orang tuanya yang merupakan teman terbaiknya mama, agar tidak bercerai. Ah, mereka tahu apa tentang pernikahan ini. Dari luar tampak baik-baik saja, tapi mereka tidak tahu bagaimana aku menahan ini sekian lama.Kadang lihat pasangan tersenyum pada teman perempuannya saja sudah membuat hati terasa tercubit. Lalu bagaimana denganku. Meski semuanya karena alasan anak. Apa yang mereka lakukan bukan kategori perselingkuhan? Apa aku kurang sabar, kurang pengertian? Okelah, mungkin mereka menganggapku memang seperti itu. Tapi aku tahu sampai mana kekuatanku. Lihatlah tanpa batasan waktu, mereka dengan leluasa saling berkomunikasi. Terus apa aku harus tetap diam, seolah tidak punya harga diri."Hei, kok melamun?" tegur ibu yang membuatku kaget."Apa alasannya dia menunda sidang, Bu?""Mungkin