Beranda / Rumah Tangga / (Bukan) Istri Pilihan / Part 9 Keputusan Besar 1

Share

Part 9 Keputusan Besar 1

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-22 14:47:07

(Bukan) Istri Pilihan

- Keputusan Besar

Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.

Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.

Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.

Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari.

Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini.

Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Kemudian dia bercanda riang dengan putrinya.

Sedangkan aku di sini menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaan. Tidak ada seorang istri yang tak sakit hati melihat semua ini. Kenapa mereka tega padaku.

Aku tengah berjuang mengendalikan perasaan. Mengumpulkan kekuatan untuk muncul di depan mereka. Bukankah ini satu kesempatan? Lain waktu belum tentu aku bisa memergoki mereka seperti ini lagi. Aku ingin mencari keyakinan diri, bahwa sebenarnya aku tidak ada artinya apa-apa dihati suamiku.

Tepat disaat baru memulai makan, aku muncul dan mengangetkan mereka. Kupasang senyum seramah mungkin, meski dadaku terasa bergemuruh dan campur aduk.

"Nastasya." Mas Yoshi meletakkan sendoknya.

Mbak Mayang sangat terkejut. Ayunda yang masih kelihatan pucat juga memandangku.

"Apa kabar, Mbak Mayang?" Aku menyalaminya.

Perempuan yang tengah kaget itu menyambut uluran tanganku tanpa menjawab sapaan. Wajahnya tampak kebingungan. Mas Yoshi panik dan si kecil menatapku serius. "Tante, jahat," teriaknya. Aku sampe kaget. Siapa yang mengajari dia berkata seperti itu. Kejahatan apa yang aku lakukan padanya? Kami tidak pernah bertemu hingga melewati batas satu jam. Dia juga belum paham kenapa orang tuanya bercerai. Aku menikah dengan papanya saat Mas Yoshi sudah berstatus duda dan Ayunda baru berumur tiga tahun.

"Ayun, nggak boleh ngomong seperti itu," tegur Mas Yoshi. Yang membuat gadis kecilnya tambah cemberut.

"Dia Tante jahat, Pa."

Dua kali bicara seperti itu, Mbak Mayang hanya diam.

"Padahal kita nggak pernah ngobrol loh, Ayun. Juga nggak pernah bertemu, kan," ucapku sambil menatapnya dengan lembut.

"Maafkan Ayun. Ayo, duduk sini!" ucap Mas Yoshi mempersilakan aku untuk duduk. Aku tahu dia serba salah dan masih terkejut kenapa aku tiba-tiba muncul di sana. Tentu tidak menyangka, bukan?

"Nggak perlu, Mas. Aku nggak akan ganggu kalian. Selamat menikmati hidangan." Selesai bicara aku melangkah pergi dengan perasaan kian tercabik.

"Nastasya!" panggilnya seraya berdiri dan mengejarku.

Aku menuruni eskalator yang tengah berjalan.

"Nas," panggilnya lagi. Dan aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuperhatikan pengunjung di bawah sana yang mulai ramai. Ada beberapa yang memandangi kami.

"Sayang." Dia meraih tanganku.

"PAPA!" teriak Ayunda dari atas. Gadis kecil itu berdiri di pembatas koridor.

"Kembalilah ke sana, Mas. Kehilanganku nggak akan sesakit kehilangan mereka." Kulepaskan cekalan tangannya dan aku melangkah cepat pergi dari sana.

Kebetulan lift tengah terbuka dan aku segera masuk bergabung dengan beberapa pengunjung.

Tergesa aku melangkah ke arah taksi yang masih menungguku. Air mata sudah tumpah saat itu. "Kita pergi, Pak. Antarkan saya pulang ke alamat tadi," suaraku serak.

"Njih, Neng."

Meski penasaran dan iba, bapak itu tetap diam saja. Sementara aku sibuk menyeka air mata. Dan membiarkan ponsel di tas terus berdering.

Ya Allah, ujian apalagi yang aku terima ini. Kupikir Mas Yoshi bisa menjadi tempat ternyamanku setelah tidak pernah kudapatkan itu di rumah besar mama. Kupikir dia mencintai dengan tulus. Tapi ternyata aku salah. Dia orang yang menorehkan luka berbeda.

Bagaimana jika aku bercerai saja? Mengingat satu kata itu membuatku merinding. Aku takut sekali. Pernikahan yang ku gadang-gadang indah, apa mungkin akan berakhir dengan perpisahan? Semakin aku berteriak dalam batin, aku semakin yakin. Pergi adalah jalan terbaik. Selama ini aku sudah membiarkan diriku seperti tak berguna di mata mama dan saudaraku, apa mungkin aku akan membiarkan diriku tak berharga di hadapan suami?

Taksi berhenti di depan rumah. Kukeluarkan beberapa lembar uang, tentu saja melebihi apa yang harus kubayar. "Makasih ya, Pak."

"Kok banyak amat, Neng?" Lelaki itu menunjukkan uang yang kuberikan.

"Nggak apa-apa, Pak. Makasih banyak karena Bapak sudah menunggu saya tadi."

"Sama-sama, Neng. Semoga kalian baik-baik saja."

Aku tersenyum getir mendengar doanya. Kemudian kubuka pintu taksi. Di sambut oleh teriknya sinar matahari musim kemarau ini.

Setengah jam setelah aku sampai rumah, Mas Yoshi tidak menyusul. Yah, aku akhirnya mengerti, siapa yang lebih penting baginya. Aku sudah terbiasa tidak diutamakan, jadi sakit ini masih bisa kukendalikan. Apapun yang terjadi aku tidak akan mengamuk. Sejak kecil aku sudah merasakan bagaimana diatur dan dinomor sekian-kan. Meski sakitnya ini sungguh berbeda. Sekarang aku tidak dibedakan, tapi sedang dikhianati.

Aku mengetik pesan pada Mas Fauzi. Tak mungkin aku telepon, karena dia sedang bekerja.

[Mas Fauzi, aku serius dengan kursus itu. Kalau ada akademi baker aku juga mau. Aku tunggu kabarmu, Mas. Jangan lama-lama ya. Aku ingin segera memulainya.]

Terkirim, tapi belum dibaca. Mungkin dia masih sibuk. Kemudian aku ganti menelepon ibu. Hanya beliau dan Ruli yang teringat dalam benak saat aku hancur seperti ini.

"Assalamu'alaikum, Cantik."

Aku masih seperti anak kecil dihadapan ibu jika ia memanggilku begitu.

"Wa'alaikumsalam, Bu. Aku ganggu, nggak?"

"Enggak. Ibu baru selesai masak dan salat Dhuha."

"Rajinnya ibu. Doain aku nggak?"

"Pastilah, kamu anak ibu yang paling cantik."

Aku tersenyum getir.

"Bu."

"Ada apa?"

"Aku ingin bercerai."

"K-kamu serius?" Beliau kaget.

"Iya. Jangan beritahukan hal ini ke papa sekarang. Nanti saja biar aku sendiri yang ngomong."

"Kamu sudah memikirkan secara matang, Nak?"

"Sudah, Bu." Aku ceritakan apa yang terjadi pagi ini. Aku juga bilang akan mempersiapkan surat untuk mengajukan perceraian. Dari internet, aku bisa mencari tahu apa saja yang dibutuhkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nuraini Aini
......🩷🩷🩷
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Sakitnya disini didalam hatiku, tetapi ujungnya .........air mata tidak bisa dibendung
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mungkin terkesan klise klo alasan bercerai Natasya karena cemburu sama Ayun. tapi wajar toh Ayun juga bersikap seperti itu sama dia. harusnya Mayang mengajarinya sopan santun.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 146 Cinta yang Indah 2

    Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 145 Cinta yang Indah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 144 Akad Nikah 2

    Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 143 Akad Nikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 142 Kita Akan Menikah 2

    "Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 141 Kita Akan Menikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status